Perbandingan Model Pengujian Konstitusional Antara Indonesia Dengan Amerika Serikat


Saiful Abdullah, S.H., M.H.
Abstract
The attendance of the Constitutional Court in line with Indonesia as a state of law that uphold the establishment of a democratic and constitutional life. Democratization and constitutionalism are part of the spirit in the life of nation and state. The attendance of the Constitutional Court is within the framework of creating a democratic government, checks and balances, and as an institution that has the authority to conduct judicial control of the implementation of the State.
Keynote : checks and balances, Comparative of constoitutional review model, Constitutional
    Court


A.  PENDAHULUAN
Keberadaan MK adalah sejalan dengan Indonesia sebagai Negara hukum yang menjunjung tinggi terwujudnya kehidupan yang demokratis dan konstitusional. Demokratisasi dan konstitusionalisme adalah merupakan bagian dari semangat dalam kehidupan berbangsa dan bernegara. Untuk dapat mewujudkan hal tersebut, maka adanya perubahan terhadap sistem ketatanegaraan atau konstitusi merupakan suatu keniscayaan. Salah satunya adalah adanya lembaga baru dalam sistem ketatanegaraan kita yaitu MK. Kehadiran lembaga MK ini adalah dalam kerangka menciptakan pemerintahan yang demokratis, check and balances, dan sebagai lembaga yang memiliki kewenangan untuk melakukan control yudisial terhadap penyelenggaraan Negara.
Dalam perkembangan gagasan pengujian konstitusional (constitutional review), dalam berbagai Negara mengalami suatu perkembangan yang sangat pesat dengan tahapan-tahapan yang beragam dan berbeda antar satu Negara dengan Negara lainnya. Hal ini tentu saja tidak terlepas dari politik  dalam berbagai Negara tersebut. Ada yang melembagakan fungsi pengujian konstitusional itu dalam bentuk lembaga yang mandiri bernama Mahkamah Konstitusi, ada pula yang mengaitkan fungsi pengujian kepada lembaga yang sudah ada, misalnya Mahkamah Agung. Ada pula yang memberikan tugas dalam menjalankan fungsi pengujian konstitusional kepada lembaga-lembaga atau badan-badan khusus, misalnya badan pengadilan yang sudah ada. Disamping itu juga, ada Negara-negara yang tidak dapat menerima adanya fungsi pengujian semacam itu sama sekali.
Hans Kelsen menyatakan bahwa pelaksanaan konstitusional tentang legislasi dapat secara efektif dijamin hanya jika suatu organ selain badan legislatif diberikan tugas untuk menguji apakah suatu produk hukum itu konstitusional atau tidak, dan tidak memberlakukannya jika menurut organ ini produk hukum tersebut tidak konstitusional. Untuk itu dapat diadakan organ khusus seperti pengadilan khusus yang disebut mahkamah konstitusi (constitutional court), atau kontrol terhadap konstitusionalitas undang-undang (judicial review) diberikan kepada pengadilan biasa, khususnya mahkamah agung. Organ khusus yang mengontrol tersebut dapat menghapuskan secara keseluruhan undang-undang yang tidak konstitusional sehingga tidak dapat diaplikasikan oleh organ lain. Sedangkan jika sebuah pengadilan biasa memiliki kompetensi menguji konstitusionalitas undang-undang, mungkin hanya dalam bentuk menolak untuk menerapkannya dalam kasus konkret ketika menyatakan bahwa undang-undang tersebut tidak konstitusional sedangkan organ lain tetap diwajibkan menerapkannya[1]. George Jellinek pada akhir abad ke-19 mengembangkan gagasan agar kewenangan judicial review tersebut diterapkan di Austria, seperti yang telah diterapkan oleh John Marshal di Amerika. Pada tahun 1867, Mahkamah Agung Austria mendapatkan kewenangan menangani sengketa yuridis terkait dengan perlindungan hak-hak politik berhadapan dengan pemerintah.
Pemikiran Kelsen yang telah diungkapkan di atas, mendorong dibentuknya suatu lembaga yang diberi nama Verfassungsgerichtshoft atau Mahkamah Konstitusi (Constitutional Court) yang berdiri sendiri di luar Mahkamah Agung, sehingga model ini sering disebut sebagai “The Kelsenian Model[2]. Gagasan ini diajukan ketika Kelsen diangkat sebagai anggota lembaga pembaharu Konstitusi Austria (Chancelery) pada tahun 1919 – 1920 dan diterima dalam Konstitusi Tahun 1920. Inilah Mahkamah Konstitusi pertama di dunia. Model ini menyangkut hubungan antara prinsip supremasi konstitusi (the principle of the supremacy of the Constitution) dan prinsip supremasi parlemen (the principle of the supremacy of the Parliament). Mahkamah konstitusi ini melakukan pengujian baik terhadap norma-norma yang bersifat abstrak (abstract review) dan juga memungkinkan pengujian terhadap norma kongkrit (concrete review). Pengujian biasanya dilakukan secara a posteriori, meskipun tidak menutup kemungkinan dilakukan pengujian a priori.[3]
Pengalaman-pengalaman di berbagai Negara tentu saja memperlihatkan bahwa tradisi yang mereka ikuti tidak sama dari satu Negara ke Negara lainnya. Tulisan ini bertujuan mengkaji hal-hal yang berkaitan dengan model pengujian konstitusional atau judicial review dalam sistem ketatanegaraan antara Indonesia dengan Negara Amerika Serikat.

B. PEMBAHASAN
1.    Beberapa Model Pengujian Konstitusional
Di berbagai Negara sejarah institusi, pengujian konstitusional (constitutional review) mengalami perkembangan yang sangat pesat. Ada yang melembagakan fungsi pengujian konstitusional itu secara mandiri dan ada pula yang mengaitkan fungsi pengujian konstitusional itu kepada lembaga yang sudah ada yaitu Mahkamah Agung, serta ada pula yang terkait dengan fungsi badan-badan yang sudah ada. Berbagai macam model pengujian konstitusional itu menggambarkan bahwa metode dan prosedur dalam pengujian itu banyak macam dan coraknya.
Kewenangan menguji (constitutional review) dalam pelaksanaannya adalah meliputi semua produk legislative (legislative act) yang merupakan perangkat hukum yang mempunyai kedudukan tertinggi dalam setiap sistem politik dibawah UUD. Kewenagan pengujian konstitusional semacam ini dipusatkan hanya pada satu-satunya lembaga yang diberi kewenangan khusus sebagai lembaga penafsir konstitusi (the soul and the highest interpreter of the constitution).
Melihat pada besarnya peran dan fungsi serta kedudukan sistem pengujian konstitusional dalam sistem ketatanegaraan suatu Negara, maka di beberapa Negara di bentuk lembaga tersendiri yang bersifat diluar cabang-cabang kekuasaan public yang sudah ada dan Negara pertama yang melakukan hal itu adalah Austria yang membentuk Mahkamah Konstitusi (Verfassungsgerichtsshoft) yang keberadaannya tersendiri diluar Mahkamah Agung. Model pengujian konstitusional Austria ini berbeda dengan model pengujian yang berkembang di Negara Amerika Serikat. Negara Paman Sam inilah sebenarnya sebagai Negara pelopor dalam hal pengujian konstitusional di dunia. Di Amerika Serikat yang dilatar belakangi tradisi hukum “common law” dalam sistem kelembagaannya, model pengujian konstitusional tidak terpisah dari lembaga Mahkamah Agung atau lazim kita kenal dengan sebutan “The Guardian of American Constitution”.
2.   Model Pengujian Konstitusional Indonesia menurut UUD 1945
Pada awal bergulirnya era reformasi pada tahun 1998, dimulailah babak baru dalam sistem ketatanegaraan kita Indonesia, salah satunya ditandai dengan lahirnya lembaga baru dalam sistem kehakiman sebagai lembaga yudisial, yaitu lembaga Mahkamah Konstitusi atau “Constitutional Court”. Fenomena baru lembaga ini diatur sepenuhnya dalam UUD 1945 amandemen. Keberadaan lembaga MK ini diharapkan tidak hanya sekedar merubah paradigma struktur ketatanegaraan Indonesia atau sistem pemerintahan, melainkan diharapkan mampu menjadi lembaga penyeimbang atau lembaga pengawas yang meampu melaksanakan prinsip checks and balances, dan disamping itu bahwa lembaga MK mempunyai kewenangan mengawasi terhadap penyelenggaraan Negara atau pemerintahan. Di Indonesia, pengujian konstitusional ini kemudian dikenal dengan “Judicial Review”.
Peristilahan “judicial review” dapat dibedakan dengan istilah “constitutional review” atau pengujian konstitusional. Pembedaan dilakukan sekurang-kurangnya karena dua alasan. Pertama, “constitutional review” selain dilakukan oleh hakim dapat pula dilakukan oleh lembaga selain hakim atau pengadilan, tergantung kepada lembaga mana UUD memberikan kewenangan untuk melakukannya. Kedua, dalam konsep “judicial review” terkait pula pengertian yang lebih luas objeknya, misalnya mencakup soal legalitas peraturan di bawah Undang-Undang terhadap Undang-Undang, sedangkan “constitutional review” hanya menyangkut pengujian konstitusionalitasnya, yaitu terhadap UUD.
Konsep “constitutional review” itu dapat dilihat sebagai hasil perkembangan gagasan modern tentang sistem pemerintahan demokratis yang didasarkan atas ide-ide negara hukum (rule of law), prinsip pemisahan kekuasaan (separation of powers), serta perlindungan dan pemajuan hak asasi manusia (the protection of fundamental rights). Dalam sistem ‘constitutional review’ itu tercakup 2 (dua) tugas pokok. Pertama, menjamin berfungsinya sistem demokrasi dalam hubungan perimbangan peran atau interplay antara cabang kekuasaan legislatif, eksekutif, dan lembaga peradilan (judiciary).
Dengan kata lain, “constitutional review” dimaksudkan untuk mencegah terjadinya pendayagunaan kekuasaan oleh satu cabang kekuasaan sedemikian rupa sehingga cabang kekuasaan lainnya; Kedua, melindungi setiap individu warga negara dari penyalahgunaan kekuasaan oleh lembaga negara yang merugikan hak-hak fundamental mereka yang dijamin dalam konstitusi.
Di dunia saat ini, sejarah institusi yang berperan melakukan kegiatan “constitutional review” berkembang pesat melalui tahap-tahap pengalaman yang beragam di setiap negara. Ada yang melembagakan fungsi pengujian konstitusional itu dalam lembaga yang tersendiri bernama Mahkamah Konstitusi. Ada pula yang mengaitkan fungsi pengujian itu kepada lembaga yang sudah ada, yaitu Mahkamah Agung. Ada pula yang memberikan tugas untuk menjalankan fungsi pengujian itu kepada badan-badan khusus dalam kerangka lembaga-lembaga lain seperti badan-badan pengadilan yang sudah ada; dan ada pula yang tidak menerima adanya fungsi pengujian semacam itu sama sekali. Pengalaman di berbagai negara di dunia memperlihatkan bahwa tradisi yang mereka ikuti tidak sama dari satu negara ke negara yang lain.
Bagi Indonesia kehadiran lembaga MK ini dimulai dan muncul pada saat adanya perdebatan tentang impeachment yang mengiringi perdebatan pemberhentian Presiden Abdurrahman Wahid, oleh karena itu maka Pasal 7A dan Pasal 7B UUD 1945 tentang pemberhentian Presiden terpisah dengan rumusan Pasal 24 C ayat (1) UUD 1945 mengenai kewenangan MK[4].
Adanya perubahan mendasar dalam sistem ketatanegaraan dalam perspektif UUD 1945 yang ditandai dengan lahirnya lembaga MK, menunjukkan adanya keseriusan pemerintah dalam melembagakan MK sebagai lembaga yang mempunyai kewenangan pengujian konstitusional yang sekaligus menjadi lembaga control atau pengawas terhadap penyelenggaraan Negara atau pemerintahan atau sebagai lembaga yang mengemban prinsip checks and balances. Asas atau prinsip checks and balances yang melahirkan lembaga MK dimaksudkan berfungsi untuk menegakkan konstitusionalisme, karena pada satu pihak hukum harus dapat membatasi kekuasaan (agar tidak menjadi sewenang-wenang), dan pada pihak lain bahwa kekuasaan merupakan suatu jaminan bagi berlakunya hukum, oleh karena hukum bukanlah merupakan kaidah-kaidah yang dengan sendirinya mempunyai kekuatan berlaku.
Disisi lain, bahwa dengan lahirnya lembaga MK menjadi titik balik tumbuh dan berkembangnya negara hukum modern, yang mengusung prinsip perlindungan segenap bangsa, mensejahterakan dan mencerdaskan bangsa dan ikut serta dalam perdamaian atau ketertiban dunia yang merdeka, bersatu berdaulat adil dan makmur.
Berangkat dari gambaran tersebut diatas, maka dapat penulis simpulkan bahwa kehadiran lembaga MK menurut UUD 1945 tidak hanya berfungsi sebagai lembaga yang mempunyai kewenangan menguji undang-undang, tetapi juga berfungsi sebagai pengawal konstitusi, sebagai penafsir konstitusi, sebagai penegak demokrasi, dan sebagai penjaga hak asasi manusia (HAM). Untuk lebih jelasnya bagaimana dan seperti apa struktur, fungsi dan kedudukan lembaga MK dalam sistem ketatanegaraan Indonesia dalam perspektif UUD 1945, penulis jelaskan pada sub bab pembahasan berikut ini.
3.    Fungsi Mahkamah Konstitusi
Gagasan pembentukan lembaga MK adalah tidak lain merupakan dorongan dalam penyelenggaraan kekuasaan dan system ketatanegaraan Indonesia yang lebih baik. Menurut Fatkhurohman, et al. (2004) bahwa paling tidak ada 4 (empat) hal yang melatarbelakangi dan menjadi pijakan dalam pembentukan lembaga MK, yaitu :
a.       Merupakan implikasi dari paham konstitusionalisme
b.      Mekanisme check and balances
c.       Penyelenggaraan Negara yang bersih dan
d.      Prinsip demokrasi dan perlindungan terhadap hak asasi manusia[5].
Dalam UUD 1945 dan Undang-undang Nomor 24 Tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi, tidak terdapat rumusan tentang fungsi MK, tetapi dalam Penjelasan Umum UU MK tersebut dijelaskan bahwa fungsi MK adalah untuk mewujudkan Negara hukum dan demokrasi.
Berdasarkan pada fungsi lembaga MK tersebut, ada beberapa unsur tentang penegakan konstitusi atau konstitusionalisme yang sangat relevan kaitannya dengan fungsi MK yang dikemukakan oleh Andrews sebagaimana dikutip oleh Abdul Latif (2007), yaitu :
a.       The general goals of society or general acceptance of the same philosophy of government (kesepakatan tentang tujuan atau cita-cita bersama tentang pemerintahan) ;
b.      The rule of law or the basis of government (kesepakatan tentang Negara hukum sebagai landasan pemerintahan atau penyelenggaraan negara) ;
c.       The form of institutions and procedures (kesepakatan tentang bentuk institusi-institusi dan prosedur-prosedur ketatanegaraan)[6].
Dari pemahaman tersebut, maka fungsi MK dalam system ketatanegaraan Indonesia dalam perspektif UUD 1945, dapat dilakukan melalui penedekatan dimaksud. Dan hal ini dapat terwujud manakala fungsi MK sejalan dengan tujuan Negara sebagai cita hukum yang telah digariskan dalam Pembukaan dan diaktualisasikan ke dalam UUD 1945, sebagai kesepakatan bersama sebagaimana yang telah disebutkan diatas.
Dari penjelasan yang telah dipaparkan diatas, menunjukkan bahwa fungsi MK adalah untuk menegakkan konstitusi atau UUD 1945 sebagai supreme dalam system ketatanegaraan Indonesia. Fungsi penegakan konstitusionalisme adalah selain pembatasan kekuasaan juga untuk mengatur hubungan antara warga Negara dan organ Negara, agar kekuasaan pemerintahan berjalan dengan tertib. Oleh karena itu, tujuan hukum adalah untuk mencapai kedamaian dengan mewujudkan kepastian dan keadilan di dalam masyarakat, salah satunya melalui pengujian konstitusionalitas undang-undang terhadap UUD guna untuk menegakkan konstitusi (sebagaimana diamanahkan kepada lembaga MK).
Disamping fungsi-fungsi sebagaimana tersebut diatas, dalam konteks fungsi MK untuk mewujudkan Negara hukum demokratis, maka terdapat beberapa fungsi lain sebagai berikut : Fungsi sebagai penafsir konstitusi, Fungsi sebagai penjaga hak asasi manusia, Fungsi sebagai pengawal konstitusi, Fungsi sebagai penegak demokrasi.
4.   Model Pengujian Konstitusional Negara Amerika Serikat
Tradisi Amerika Serikta sebagai Negara yang mewarisi tradisi hukum common law, Amerika Serikta tidak memerlukan lembaga tersendiri seperti halnya yang berlaku dalam Eropa Kontinental, misalnya Indonesia. Di America Serikat fungsi lembaga MK langsung melekat dan menjadi kewenangan Mahkamah Agung (supreme court) yang disebut dengan “The Guardian of American Constitution”. Hal ini didasarkan pada beberapa alasan : (a). bahwa kekuasaan untuk melakukan pengujian konstitusional itu langsung berada dan melekat pada Mahkamah Agung itu sendiri, oleh karenanya di Amerika Serikat, kewenagan yang demikian disebut dengan “The Guardian of American Constitution”. (b). bahwa doktrin atau ajaran dalam pengujian konstitusional yang dikembangkan adalah dilakukan oleh semua pengadilan biasa melalui prosedur yang dinamakan dengan “Pengujian Terdesentralisasi” atau pengujian yang tersebar dan diperiksa di pengadilan biasa (Pengadilan yang ada di Negara bagian/Mahkamah Agung Federal). Dengan kata lain, bahwa pengujian konstitusional itu tidak bersifat institusional sebagai perkara khusus yang berdiri sendiri, melainkan termasuk di dalam perakara umum yang diperiksa oleh hakim dalam semua lapisan pengadilan yang ada.
Disisi lain, bahwa Negara Amerika Serikat sebagai Negara yang menganut tradisai Common Law dalam sistem peradilannya tidak membedakan anatara perkara atau sengketa hukum public dengan perkara atau sengketa hukum privat, sehingga tidak memerlukan pengadilan khusus untuk menangani perkarara-perkara hukum ketatanegaraan. Sistem ini dapat dikatakan konsisten dalam menerapkan salah satu prinsip unsure Negara hukum (Rule of Law), yaitu prinsip persamaan di depan hukum.

5.    Kewenangan Mahkamah Agung Amerika Serikat
Kewenangan Mahkamah Agung termuat dalam Konstitusi Amerika Serikat yang termuat dalam Pasal III, terdiri dari 3 (tiga) hal, sebagai berikut :
a.       Memuat ketentuan dasar bahwa kekuasaan kehakiman berada dalam sebuah Mahkamah Agung dan badan-badan peradilan lain dibawah kekuasaan Mahkamah Agung, dimana peradilan-peradilannya yang lebih rendah tersebut dapat dibentuk dan dibubarkan oleh Kongres sesuai dengan kebutuhan dari waktu ke waktu.
b.      Memuat ketentuan mengenai jurisdiksi kekuasaan kehakiman dalam sistem ketatanegaraan Amerika. Pasal III bagian 2, bahwa ketentuan pokok dari kekuasaan kehakiman adalah bahwa kekuasaan kehakiman memiliki jurisdiksi yang meliputi semua perkara, (yang menyangkut pelaksanaan) dalam hukum dan perangkat hukum lainnya, perkara yang timbul dari Konstitusi ini, perakara yang menyangkut perundang-undangan Amerika Serikat, serta traktat yang telah atau akan dibuat pihak yang diberi kewenanagan berdasarkan konstitusi ini. Adapun perkara dimaksud adalah sebagai berikut :
1)      semua perkara yang melibatkan duta besar, pejabat setingkat menteri, dan pejabat konsuler (negara lain) ;
2)    semua perkara yang menyangkut jurisdiksi di wilayah pantai, laut, dan perkapalan ;
3)     semua perselisihan dimana Amerika Serikat menjadi salah satu pihaknya ;
4)    semua perselisihan anatara dua atau lebih Negara bagian dengan warga Negara bagian lain ;
5)     perselisihan antara penduduk di Negara bagian yang berbeda, natara penduduk di Negara bagian yang sama yang menyangkut sengketa tanah di Negara bagian lain, serta antara Negara bagian dengan Negara asing, penduduk atau subyek hukum di Negara asing.
c.       Memuat tentang pasal-pasal yang dapat dikategorikan sebagai tindak pidana pengkhianatan terhadap Negara, yang terdiri dari tindakan berperang terhadap Amerika Serikat termasuk Negara-negara bagiannya, tindakan tunduk terhadap musuh Amerika serikat, memberikan bantuan dan kenyamanan bagi musuh. Dimana tidak ada seorang pun yang dapat dikenakan tuduhan tindak pidana pengkhianatan terhadap Negara ini tanpa adanya kesaksian dua saksi dalam perkara yang sama, atau pengakuan di pengadilan terbuka. Sementara dalam kewenangan menyatakan hukuman atas tindak pidana dimaksud ini diberikan kepada Kongres, yang hukumannya hanya bisa dikenakan selama orang yang bersangkutan masih hidup.
Berdasarkan pada penjelasan sebagaimana tersebut diatas, berkaitan dengan perbandingan model-model pengujian konstitusional dalam sistem ketatanegaraan antara Indonesia dengan Negara Amerika Serikat, berikut ini penulis akan menjelaskan hal-hal yang berhubungan dengan persamaan maupun perbedaan diantara keduanya, sebagai berikut :















NO
PERBEDAAN
PERSAMAAN
1
Secara hirarki atau struktur kelembagaan kekuasaan kehakiman berkaitan dengan pengujian konstitusionaldalam sistem ketatanegaraan antara Indonesia dengan Amerika Serikat adalah berbeda. Di Indonesia, lembaga pengujian konstitusional adalah lembaga yang mandiri, terpisah dari lembaga Mahkamah Agung tetapi tetap berada dalam lingkungan kekuasaan kehakiman. Lembaga ini kemudian dikenal dengan lembaga MK. Sedangkan di Amerika Serikat, lembaga pengujian konstitusional tidak terpisah dari Mahkamah Agung dan kewenangannya melekat di dalamnya (tidak mengenal istilah Mahkamah Konstitusi), hal ini dikarenakan bahwa Amerika Serikat dipengaruhi oleh tradisi hukum Common Law, yang tidak memerlukan lembaga tersendiri tau berdiri sendiri diluar Mahkamah Agung.

Bahwa kedua lembaga tersebut MK dan Mahkamah Agung adalah mempunyai fungsi yang sama yaitu, fungsi pengujian konstitusional dalam sistem ketatanegaraannya masing-masing.

2
Bahwa fungsi pengujian konstitusional bagai Negara Amerika Serikat yang diberikan kepada Mahkamah Agung pada dasarnya tidak tercantum dalam Konstitusi dan amandemen-amandemenya Amerika Serikat. Sedangkan bagi Indonesia adanya lembaga pengujian konstitusional yang diberikan kepada lembaga MK diatur dalam UUD 1945 dan undang-undang khusus yaitu Undang-undang Nomor 24 Tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi.

Bahwa keberadaan fungsi pengujian konstitusional ini dimaksudkan sebagai lembaga control terhadap penyelenggaraan Negara atau pemerintahan agar tidak terjadi kesewenang-wenangan dalam menjalankan kekuasaan Negara. Dan hal ini juga merupakan bagian dari prinsip Negara hukum demokratis yang menjunjung tinggi hukum dan kedaulatan rakyat, serta hak asasi manusia.






C.    PENUTUP
Bahwa berdasarkan ketentuan Pasal 24C ayat (1) dan (2) UUD 1945, maka ada beberapa hal terkait dengan kewenangan MK sebagai lembaga pengujian konstitusional, yaitu: menguji undang-undang terhadap UUD;  memutus sengketa kewenangan lembaga Negara yang kewenangannya diberikan undang-undang ; memutus pembubaran partai politik; memutus perselisihan tentang hasil pemilihan umum; memberi putusan atas pendapat DPR mengenai dugaan bahwa Presiden dan/atau Wakil Presiden telah melakukan pelanggaran hukum. Sedangkan yang menjadi fungsi dari lembaga MK dalam sistem ketatanegaraan Indonesia berdasarkan UUU 1945 adalah sebagai berikut: Bahwa lembaga MK berfungsi membangun dan mewujudkan Negara hukum Indonesia yang demokratis melalui pelaksanaan fungsinya untuk menegakkan konstitusi dan konstitusionalisme; Fungsi sebagai penafsir konstitusi; Fungsi sebagai penjaga hak asasi manusia; Fungsi sebagai pengawal konstitusi; Fungsi sebagai penegak demokrasi.
Sedangkan kewenangan konstitusional Mahkamah Agung dalam sistem ketatanegaraan Amerika Serikat berdasarkan “The Guardian of American Constitution”, adalah: Memuat ketentuan dasar bahwa kekuasaan kehakiman berada dalam sebuah Mahkamah Agung dan badan-badan peradilan lain dibawah kekuasaan Mahkamah Agung, dimana peradilan-peradilannya yang lebih rendah tersebut dapat dibentuk dan dibubarkan oleh Kongres sesuai dengan kebutuhan dari waktu ke waktu; Memuat ketentuan mengenai jurisdiksi kekuasaan kehakiman dalam sistem ketatanegaraan Amerika. Pasal III bagian 2, bahwa ketentuan pokok dari kekuasaan kehakiman adalah bahwa kekuasaan kehakiman memiliki jurisdiksi yang meliputi semua perkara, (yang menyangkut pelaksanaan) dalam hukum dan perangkat hukum lainnya, perkara yang timbul dari Konstitusi ini, perakara yang menyangkut perundang-undangan Amerika Serikat, serta traktat yang telah atau akan dibuat pihak yang diberi kewenanagan berdasarkan konstitusi ini; Memuat tentang pasal-pasal yang dapat dikategorikan sebagai tindak pidana pengkhianatan terhadap Negara, yang terdiri dari tindakan berperang terhadap Amerika Serikat termasuk Negara-negara bagiannya, tindakan tunduk terhadap musuh Amerika serikat, memberikan bantuan dan kenyamanan bagi musuh. Dimana tidak ada seorang pun yang dapat dikenakan tuduhan tindak pidana pengkhianatan terhadap Negara ini tanpa adanya kesaksian dua saksi dalam perkara yang sama, atau pengakuan di pengadilan terbuka. Sementara dalam kewenangan menyatakan hukuman atas tindak pidana dimaksud ini diberikan kepada Kongres, yang hukumannya hanya bisa dikenakan selama orang yang bersangkutan masih hidup. Adapun Mahkamah Agung dalam sistem ketatanegaraan Amerika Serikat berfungsi sebagai pengujian materiil terhadap peraturan perundang-undanga; Fungsi menginterpretasikan konstitusi ini kemudian berkembang menjadi kewenangan untuk menyelesaikan sengketa kewenangan antar lembaga Negara yang kewenangannya diberikan berdasarkan konstitusi Amerika Serikat.


DAFTAR PUSTAKA
Abdul Latief, Mahkamah Konstitusi dalam Upaya Mewujudkan Negara Hukum Demokratis, Kreasi Total Media Yogyakarta, 2007
Ralph C.Chandler, Richard A. Enslen, and Peter G. Renstrom, The Constitutional Law Dictionary, volume 2, dalam Jimly Asshiddiqie, Model-model Pengujian Konstitusional di Bergai Negara, Konstitusi Press, Jakarta, 2005
Fatkfurohman, et.al. Memahami Keberadaan Mahkamah Konstitusi di Indonesia, Penerbit PT. Citra Aditia Bhakti, Bandung, 2004
Abdul Hakim G.M. “Mahkamah Konstitusi : Perspektif Politik dan Hukum”, Kompas, 24 September 2002.
Abdul Mukti Fadjar, Hukum Konstitusi dan Mahkamah Konstitusi, Penerbit Konstitusi Press, Jakarta, 2006
Hans Kelsen, General Theory of Law and State, Russel & Russel, New York, 1973.
Dahlan Thaib, Implementasi Sistem Ketatanegaraan menurut UUD 1945, Penerbit Liberty, Yogyakarta, 1993.
Jimly Asshiddiqie, Model – Model Pengujian Konstitusional di berbagai Negara, Penerbit Konstitusi Press, Jakarta, 2005
 Zakaria Bangun, Sistem Ketatanegaraan Indonesia Pasca Amandemen UUD 1945, Konstitusi dan Babakan Konstitusi Indonesia, Penerbit Bina Media Perintis, Medan, 2007
Kusnardi et al, Susunan Pembagian Kekuasaan Menurut Sistem Undang-undang Dasar
Jimly Asshiddiqie dan Mustafa Fakhry, Mahkamah Konstitusi: Kompilasi Ketentuan UUD, UU dan Peraturan di 78 Negara, (Jakarta: Pusat Studi Hukum Tata Negara FH UI dan Asosiasi Pengajar HTN dan HAN Indonesia, 2002


[1]   Hans Kelsen, General Theory of Law and State, (New York: Russell & Russell, 1961), hal 157.
[2]   Disebut juga dengan “the centralized sistem of judicial review”. Lihat Arend Lijphart, Patterns of Democracy: Government Forms and Performance in Thirty-Six Countries, (New Heaven and London: Yale University Press, 1999), hal. 225.
[3]   Jimly Asshiddiqie, Model-Model Pengujian Konstitusional di Berbagai Negara, (Jakarta: Konstitusi Press, 2005), hal. 28, 29, 64 – 66, 108 dan 109.
[4] Pasal 7 A berbunyi : “Presiden dan/atau Wakil Presiden dapat diberhentikan dalam masa jabatannya oleh Majelis Permusyawaratan Rakyat atas usul Dewan Perwakilan Rakyat, baik apabila terbukti telah melakukan pelanggaran hukum…………..”. dan Pasal 7 B berbunyi : “ bahwa usul pemberhentian Presiden dan/atau Wakil Presiden dapat diajukan oleh DPR kepada MPR dengan terlebih dahulu mengajukan permintaan kepada MK untuk memeriksa, mengadili dan meutus pendapat DPR………………..”
[5] Fatkfurohman, et.al. Memahami Keberadaan Mahkamah Konstitusi di Indonesia, Penerbit PT. Citra Aditia Bhakti, Bandung, 2004, hal, 77.
[6] Abdul Latief, Mahkamah Konstitusi dalam Upaya Mewujudkan Negara Hukum Demokratis, Kreasi Total Media Yogyakarta, 2007, hal, 128.

Komentar

Postingan Populer