RESUME BUKU HUKUM LINGKUNGAN DI INDONESIA. PENULIS : PROF. DR. TAKDIR RAHMADI, S.H., LLM PENERBIT : JAKARTA : RAJAWALI PERS, 2013
BAB I
LATAR BELAKANG PENGEMBANGAN HUKUM
LINGKUNGAN
A.
Masalah-masalah
Lingkungan sebagai Pendorong
Penggundulan
lahan hutan, lahan kritis, menipisnya lapisan ozon, pemanasan global tumpahan
minyak di laut, ikan mati di anak sungai karena zat-zat kimia, dan punahnya
species tertentu adalah beberapa contoh dari masalah-masalah lingkungan hidup.
Dalam literatur masalah-masalah lingkungan dapat dikelompokkan kedalam tiga
bentuk yaitu pencemaran lingkungan (pollution), pemanfaatan lahan secara salah
(land misuse) dan pengurasan atau habisnya sumber daya alam (natural resource
depeletion). Akan tetapi, jika dilihat dari perspektif hukum yang berlaku di
Indonesia, masalah-masalah lingkungan hanya dikelompokan ke dalam dua bentuk,
yakni pencemaran lingkungan (environmental pollution) dan perusakan lingkungan
hidup.
Pembedaan
masalah lingkungan hidup ke dalam dua bentuk dapat dilihat Undang-Undang Nomor
4 Tahun 1982 Tentang Ketentuan-Ketentuan Pokok Pengelolaan Lingkungan Hidup
(UULH) yang kemudian dicabut oleh UU NO 23 tahun 1997 tentang Pengelolaan
Lingkungan Hidup (UUPLH).
Dalam
buku ini, pengertian pencemaran lingkungan adalah sebagaimana dirumuskan dalam
pasal 1 butir 12 Undang-Undang Nomor 23 Tahun 1997, yakni :
Masuknya
atau dimasukkannya makhluk hidup, zat, energi, dan/ atau komponen lain ke dalam
lingkungan hidup oleh kegiatan, sehingga kualitasnya turun sampai ke tingkat
tertentu yang menyebabkan lingkungan hidup tidak berfungsi lagi sesuai dengan
peruntukannya.
Pengertian
perusakan lingkungan sebagaimana dirumuskan dalam Pasal 1 butir 14, yaitu:
Tindakan
yang menimbulkan perubahan langsung atau tidak langsung terhadap sifat fisik
dan/ atau hayati yang mengakibatkan lingkungan hidup tidak berfungsi lagi dalam
menunjang pembangunan berkelanjutan.
Dampak
negatif dari menurunnya kualitas lingkungan hidup baik karena terjadinya
pencemaran atau terkurasnya sumber daya alam adalah timbulnya ancaman atau
dampak negatif terhadap kesehatan, menurunnya nilai estetika, kerugian ekonomi
(economic cost), dan terganggunya sistem alami (natural system).
B.
Faktor-faktor
Penyebab Terjadinya Masalah Lingkungan
Berdasarkan sudut pandang para sarjana,
setidak-tidaknya ada lima faktor yang melatarbelakangi timbulnya
masalah-masalah lingkungan, yakni teknologi, penduduk, ekonomi politik dan tata
nilai yang berlaku.
C.
Lahirnya
Kesadaran Lingkungan dan Kebijaksanaan Pembangunan Berwawasan di Tingkat Global
dan Regional
1.
Konferensi
PBB tentang Lingkungan Hidup
Konferensi ini menghasilkan sebuah
dokumen yaitu Deklarasi tentang Lingkungan Hidup Manusia – yang juga disebut
sebagai Deklarasi Stockholm – yang dianggap sebagai sumber bagi pengembangan
hukum lingkungan. Konferensi itu juga menetapkan bahwa tanggal 5 Juni sebagai
“Hari Lingkungan Hidup Sedunia”.
2.
Konferensi
PBB tentang Lingkungan Hidup dan Pembangunan
Pada tahun 1983 Majelis Umum PBB
membentuk sebuah badan, yaitu the World
Commission on Environment and Development (WCED) yang diketuai oleh Perdana
Menteri Norwegia, Gro Harlem Brutland. Kemudian diselenggarakan Konferensi di
Rio de Janeiro, Brasil 1992. Deklarasi tersebut tentang Lingkungan Hidup dan
Pembangunan yang juga disebut sebagai the
Earth Charter merupakan “soft-law
agreements”, yang memuat 27 prinsip. Beberapa unsur penting konsep
pembangunan berkelanjutan adalah:
a. Prinsip
kedaulatan dan tanggung jawab negara
b. Prinsip
keadilan antargenerasi
c. Prinsip
keadilan intragenerasi
d. Prinsip
keterpaduan antara perlindungan lingkungan hidup dan pembangunan
e. Prinsip
tanggung jawab bersama tetapi berbeda
f. Prinsip
tindakan pencegahan
g. Prinsip
bekerja sama dan bertetangga baik dan kerja sama internasional
h. Prinsip
keberhati-hatian
i.
Prinsip pencemaran membayar
j.
Prinsip demokrasi dan peran serta
masyarakat
3.
Association
of Southeast Asian Nations (ASEAN)
Kesadaran
bangsa-bangsa si Asia Tenggara untuk melaksanakan perlindungan dan pelestarian
lingkungan hidup ditandai dengan adanya beberapa kerja sama antara mereka.
Kerja sama itu antara lain dapat dilihat melalui “Tripartite Agreement” dan Deklarasi Manila. “Tripartite Agreement” adalah kesepakatan antara Indonesia,
Malaysia dan Singapura mengenai pencegahan dan penanggulangan pencemaran laut
di Selat Malaka dan Selat Singapura. Kesepakatan itu telah menghasilkan suatu
penataan lalu lintas laut di ke dua selat itu, sebagaimana dituangkan dalam “Indonesia-Malaysia-Singapura (IMS) Traffic
Separation Scheme, Rules and Recomendations”.
Setelah
Deklarasi Manila, negara-negara ASEAN pada tahun 1976 telah menyusun ASEAN
Contingensy Plan. Ruang lingkup dari ASEAN Contingency Plan adalah pengendalian
dan mitigasi terhadap pencemaran laut karena tumpahan minyak. Tujuannya adalah
untuk melembagakan langkah-langkah yang tepat dalam pengendalian pencemaran
laut.
Negara-negara
ASEAN juga telah menyusun “Rencana Tindak” (Action Plan). Sasaran utama dari
Rencana Tindak ini adalah pengembangan dan perlindungan lingkungan laut dan
kawasan dan kawasan pesisir bagi kemajuan, kesejahteraan dan kesehatan generasi
sekarang dan masa mendatang.
D.
Pengertian
dan Pembidangan Hukum Lingkungan
Hukum
lingkungan merupakan sebuah cabang dalam disiplin ilmu hukum yang berkaitan
dengan pengaturan hukum terhadap perilaku atau kegiatan-kegiatan subjek hukum
dalam pemanfaatan dan perlindunngan sumber daya alam. Dengan demikian, hukum
lingkungan tidak senantiasa berkaitan dengan pengaturan perlindungan lingkungan
hidup dalam arti pelestarian lingkungan, tetapi juga berkaitan dengan
pemanfaatan atau penggunaan sumber daya alam seperti air, tanah, laut, hutan,
bahan tambang.
Substansi
hukkum lingkungan yang mencakup sejumlah ketentuan-ketentuan hukum tentang dan
berkaitan dengan upaya-upaya mencegah dan mengatasi masalah-masalah lingkungan
hidup. Van den Berg membagi hukum lingkungan ke dalam lima bidang, yakni: hukum
bencana, hukum kesehatan lingkungan, hukum tentang sumber daya alam, atau hukum
tentang sumber daya alam atau hukum konservasi, hukum tentang pembagian
pemakaian ruang, hukum perlindungan lingkungan.
Hukum
penyelesaian sengketa lingkungan terdiri atas ketentuan-ketentuan hukum
penyelesaian sengketa melalui proses peradilan dan tata cara penyelesaian sengketa
di luar proses peradilan. Beberapa pokok bahasan dalam hukum penyelesaian
sengketa lingkungan, antara lain, berkaitan dengan hukum acara di Pengadilan
Umum dan Pengadilan Tata Usaha Negara, hak gugat, gugatan perwakilan,
pembuktian, pertanggungjawaban perdata, negosiasi dan mediasi lingkungan.
Hukum
konservasi sumber daya alam hayati mencakup ketentuan-ketentuan hukum yang
berkaitan dengan izin pengembilan sumber daya alam, kriteria baku kerusakan
lingkungan, perlindungan tentang pemanfaatan sumber daya alam, sanksi-sanksi
hukum administari pidana yang berkaitan dengan pengambilan dan pemanfaatan
sumber daya alam.
E.
Posisi Hukum Lingkungan Dalam Konteks Ilmu
Hukum
Sebagai
sebuah disiplin dalam ilmu hukum, hukum lingkungan mempunyai karakteristik yang
khas terutama jika dikaitkan dalam penempatannya kedalam bidang-bidang hukum
publik dan privat yang lazim dikenal dalam studi ilmu hukum. Kekhasan hukum
lingkungan terletak pada substansinya atau kepentingan-kepentingan yang
tercakup di dalamnya sangat luas dan beragam sehingga hukum lingkungan tidak
dapat ditempatkan pada salah satu di antara kedua bidang hukum, yaitu hukum
publik dan privat.
Drupsteen,
seorang sarjana berkebangsaan Belanda, melihat hukum lingkungan sebagai bidang
studi hukum yang mengandung segi-segi hukum pemerintahan (bestuur recht), hukum
perdata, hukum pidana sehingga dikenal adanya hukum lingkungan perdata dan
hukum lingkungan pidana. Akan tetapi, jika dibandingkan segi hukum apakah yang
paling dominan di antara ketiga segi hukum itu, maka menurut Drupsteen, segi
hukum administrasi yang paling dominan. Dengan kata lain, Drupsteen memandang
bahwa hukum lingkunngan sebagian besar memuat ketentuan-ketentuan hukum
administrasi. Pandangan ini tampaknya didasarkan pada fakta bahwa pemerintah
mempunyai peran penting dalam perumusan kebijakan pengelolaan lingkungan hidup
dan implementasi kebijakan pengelolaan lingkungan hidup.
F.
Teori-teori
Pengembangan Hukum Lingkungan
Dalam
kepustakaan asing dapat ditemukan empat teori model atau model tentang
bagaimmana pengembangan hukum lingkungan sebaiknya dilakukan. Keempat teori itu
adalah:
1.
Pengembangan
Hukum Lingkungan Berdasarkan Teori Pendekatan Ekonomi
Posner
(2001), salah seorang sarjana penganjur terkemuka teori pendekatan ekonomi
terhadap hukum, berpandangan bahwa teori pendekatan ekonomi terhadap hukum
semestinnya menjadi landasan dan acuan bagi pengembangan dan analisis terhadap
hukum pada umumnya. Dalam konteks penerapannya ke dalam hukum lingkungan, teori
pendekatan ekonomi sangat dipengaruhi oleh asumsi-asumsi dasar ilmu ekonomi
yang memandang masalah-masalah lingkungan bersumber dari dua hal, yaitu
kelangkaan sumber daya alam dan kegagalan pasar.
Kelangkaan
sumber daya alam menjadi sumber permasalahan dalam kehidupan manusia. Manusia
mengandalkan sumber daya alam untuk dapat memenuhi keinginannya. Masalahnya
adalah bahwa sumber daya alam tidak mungkin memenuhi semua keinginan manusia,
oleh sebab itu perlu ada kebijakan dari pemerintah tentang alokasi pemanfaatan
sumber daya alam. Kebijakan alokasi yang baik adalah kebijakan yang dapat
memaksimmalkan kepuasan atau keinginan orang perorangan.
Bagi
para penganjur pendekatan ekonomi terhadap hukum lingkungan misalkan pencemaran
lingkungan dipandang semata-mata sebagai bentuk eksternaliti akibat pasar tidak
memasukan seluruh unsur biaya yang semestinya dimasukan ke dalam harga dari
produk yang bersangkutan. Jadi eksternalitas semata-mata dipandang sebagai
akibat kegagalan pasar.
Oleh sebab itu, pengaturan hukum lingkungan
hanya dapat dibenarkan apabila hukum lingkungan berfungsi sebagai upaya
rasional untuk memperbaiki kegagalan pasar dalam mengalokasikan penggunaan
sumber daya alam secara efisien atau untuk mencapai pendistribusian kekayaan
secara lebih adil.
Teori
pendekatan ekonomi juga dilengkapi dengan metode pengambilan keputusan yang
bebas nilai, yaitu analisis biaya dan manfaat. Dengan metode pengambilan
keputusan yang bebas nilai dan objektif, para pejabat pengambil keputusan
diharapkan mampu membuaat keputusan-keputusan atau kebijakan-kebijakan secara
rasional dan objektif serta terhindar dari pertimbangan subjektif dan
nilai-nilai pribadinya.
2.
Pengembanga
Hukum Lingkungan Berdasarkan Teori Hak
Pengembangan
hukum lingkungan berdasarkan teori hak dipengaruhi pleh filsafat moral atau etika.
Aliran filsafat ini menganggap perbuatan yang menimbulkan pencemaran dan
perusakan lingkungan merupakan perbuatan jahat (evils) sehingga masyarakat atau
negara wajib menghukum perbuatan semacam itu. Teori hak ini juga mencakup dua
aliran pemikiran, yaitu libertarianisme di satu sisi dan aliran pemikiran
tentang hak-hak hewan (animal rights) di sisi lain.
Bagi
libertarianisme, jika sebuah sistem hukum mengakui keberadaan hak atas
lingkungan hidup, maka hak itu berfungsi sebagai pelindung bagi perorangan
pemegang hak untuk menolak keputusan-keputusan atau kebijakan-kebijakan
pemerintah yang bertentangan atau mengancam hak atas lingkungan hidup, meskipun
keputusan atau kebijakan pemerintah secara ekonomi dianggap efisien.
Beberapa
sarjana mengusulkan perlunya membangun etika ekologis dan perlindungan hak-hak
hewan sebagai dasar bagi hukum dan kebijakan lingkungan hidup. Aldo Leopold
mengusulkan perlunya konsep etika tanah (land etic), yaitu aturan perilaku
untuk melindungi komunitas yang tidak saja terdiri atas manusia, tetapi juga
mencakup tanah, air, tumbuh-tumbuhan, dan hewan. Sebuah kebijakan dianggap baik
apabila tidak mengancam integritas, stabilitas, dan keindahan komunitas.ndengan
demikian Leopold menginginkan adanya perlakuan yang sama terhadap semua makhluk
sebagai bagian dari komunitas etik.
3.
Pengembangan
Hukum Lingkungan Berdasarkan Teori Paternalisme
Teori
Paternalisme mengandung arti bahwa negara memainkan peran sebagai bapak atau
orang tua dalam membimbing perilaku anak-anaknya. Secara kiasa negara dipandang
sebagai bapak atau orang tua, sedangkan warga negara dipandang sebagai
anak-anak. Dan seseorang melakukan sesuatu berdasarkan kesukaan, tanpa perduli
hal tersebut bersifat negatif atau positif. Secara analogis persoalan perilaku
merokok dan perilaku pengendara mobil dapat diterapkan kedalam konteks hukum
lingkungan. Jika setiap orang diberi kebebasan untuk berbuat menurut apa yang
dikehendakinya (preferences), maka lingkungan hidup akan terancam.
Perilaku
individual manusia sering kali dilatarbelakangi oleh berbagai motif subjektif
yang tidak sesuai dengan tujuan-tujuan kehidupan bersama dalam masyarakat atau
negara. Dengan demikian diperlukan berbagai peraturan perundang-undangan
lingkungan yang dimaksudkan untuk mencegah perbuatan-perbuatan yang tidak saja
merugikan dirinya, tetapi juga merugikan masyarakat secara keseluruhan, serta
mengubah atau mengarahkan kesukaan warga demi kebaikan masyarakat secara
keseluruhan. Agar pendekatan paternalisme tidak melanggar kebebasan dan hak
individual, pengaturan hukum atau kebijakan yang dibangun atas dasar teori
paternalisme diperlukan keterbukaan institusi-institusi pemerintah dan
individu-individu memiliki akses dalam proses politik yang menghasilkan
kebijakan paternalisme negara.
4.
Pengembangunan
Hukum Lingkungan Berdasarkan Teori Nilai Kebijakan Publik
Teori
nilai kebijakan publik menjelaskan, bahwa pertukaran pandangan atau musyawarah
mufakat di antara berbagai pemangku kepentingan dapat menjadi dasar bagi
pembuatan keputusan yang rasional. Pertukaran pandangan dilandasi oleh sifat
keterbukaan pemikiran, kejujuran, ketersediaan untuk mendengar kritik, dan
penghargaan atas pandangan-pandangan pihak yang berbeda menjadi dasar
pengambilan keputusan bersama. Menurut teori nilai kebijakan publik,
wakil-wakil dari berbagai pemangku kepentingan dalam proses legalisasi harus
mampu mengatasi benturan kepentingan dengan cara menempatkan kepentingan
bersama di atas konstituen mereka.
BAB II
PENGATURAN AZAS, HAK DAN KEWAJIBAN,
KEWENANGAN, DAN INSTRUMEN DALAM PENGELOLAAN LINGKUNGAN HIDUP
A.
Pengembangan
Peraturan Perundang-undangan Lingkungan
1.
Peraturan
Perundang-undangan Lingkungan Klasik
Konvensi-konvensi
internasional, putusan-putusan pengadilan Internasional sebelum Deklarasi
Stockholm 1972 dipandang sebagai rezim hukum lingkungan internasional klasik,
sedangkan konvensi-konvensi internasional dan putusan-putusan Pengadilan
Internasional setelah Deklarasi Stockholm dipandang sebagai rezim hukum
lingkungan modern. Perbedaan pokok antara rezim hukum lingkungan klasikdengan
rezim hukum lingkungan modern adalah terletak pada ruang lingkup dan
pendekatannya. Rezim hukum lingkungan klasik berisikan ketentuan-ketentuan yang
melindungi kepentingan sektoral, sedangkan ketentuan-ketentuan hukum lingkungan
modern berdasarkan lintas sektoral atau komprehensive integral.
Peraturan
perundang-undangan di bidang lingkunan hidup itu dapat dikelompokan dalam
sembilan sektor usaha pemerintah pusat dan daerah, yaitu:
Kependudukan/permukiman, Pertanian, Kehutanan, Kehewanan, Perikanan, Perairan,
Pertambangan, Perindustrian, dan Kesehatan/Radiasi.
2.
Sejarah
Singkat Pembentukan Undang-Undang Nomor 4 Tahun 1982
UU
Nomor 4 tahun 1982 tentang ketentuan-ketentuan pokok pengelolaan lingkunan
hidup (UULH) memang tidak lagi berlaku karena telah digantikan oleh UU No. 23
Tahun 1997 dan kemudian digantikan oleh UU Nomor 23 tahun 1997 (UULH 1997) juga
dinyatakan tidak berlaku oleh UU No. 32 Tahun 2009 tentang Perlindungan dan
Pengelolaan Lingkungan Hidup (LN tahun 2009, No 140), tetapi dalam buku ini
UULH 1982 perlu dibahas secara singkat karena undang-undang itu merupakan
undang-undang tentang lingkungan hidup pertama digunakan di Indonesia setelah
munculnya kesadaran global dan nasional tentang arti penting pengelolaan
lingkungan. Selain itu, UULH 1982 dapat dipandang seebagai undang0undang
tentang pengelolaan lingkungan hidup pada masa modern karena memuat
konsep-konsep dan instrumen-instrumen pengelolaan lingkungan hidup, misalkan
mutu lingkungan hidup dan analisis mengenai dampak lingkungan yang tidak
ditemukan dalam perundang-undangan klasik.
3.
Dari
Undang-Undang Nomor 4 Tahun 1982 ke Undang-Undang Nomor 23 Tahun 1997 ke
Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2009
UULH
1982 merupakan sumber hukum formal tingkat undang-undang yang pertama dalam
konteks hukum lingkungan modern di Indonesia.
UULH 1982 memuat ketentuan-ketentuan hukum yang menandai lahirnya suatu
bidang hukum baru, yakni hukum lingkungan karena ketentuan-ketentuan itu
mengandung konsep –konsep yang sebelumnya tidak dikenal dalam bidang hukum.
Disamping
itu, ketentuan-ketentuan UULH 1982 memberikan landasan bagi kebijakan
pengelolaan lingkungan hidup. Setelah UULH tahun 1982 berlaku selama sebelas
tahun ternyata oleh para pengambil kebijakan di pemerintah, khususnya di
lingkungan Kantor Menteri Negara Lingkungan Hidup dan BAPEDAL, berpandangan,
bahwa kegagalan dari kebijakan
pengelolaan lingkungan hidup di Indonesia akibat kelemahan penegakan
hukum UULH 1982. Oleh karena itu pemerintah menyempurnakan UULH tersebut pada
tahun 1997.
Perkembangan
terbaru adalah pemerintah mengundangkan UU No. 32 Taun 2009 tentang
Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup (LN Tahun 2009 No.140) yang
menggantikan UULH 1997. UU ini secara normatif dan politik merupakan produk
dari hak inisiatif DPR RI. Tetapi secara empiris peran Eksekutif, khususnya
Kementrian Lingkungan Hidup sangat penting mempersiapkan RUUPPLH.
Setidaknya
ada 4 alasan mengapa UULH 1997 perlu digantikan oleh UU yang baru, yaitu;
a. UUD
1945 setelah perubahan secara tegas menyataka bahwa pembangunan ekonomi
nasional diselenggarakan berdasarkan prinsip pembangunan berkelanjutan dan
berwawasan lingkungan.
b. Kebijakan
otonomi daerah dalam penyelenggaraan pemerintah NKRI telah membawa perubahan
hubungan dan kewenangan antara pemerintah dan pemerintah daerah termasuk di
bidang perilndungan lingkungan hidup.
c. Pemanasan
global yang semakin meningkat mengakibatkan perubahan iklim sehingga
memperparah penurunan kualitas lingkungan hidup.
d. UULH
1997 sebagaimana 1982 memiliki celah-celah kelemahan normatif, terutama
kelemahan kewenangan penegakan hukum administratif yang dimiliki Kementrian
Lingkungan Hidup dan kewenangan penyidikan penyidik pejabat pegawai negeri
sipil sehingga perlu penguatan dengan mengundangkan sebuah undang-undang baru
guna peningkatan penegakan hukum.
B.
Konsep
Pengelolaan Lingkungan Hidup dan Beberapa Pengertian Konsep Dalam Undang-Undang
Nomor 32 Tahun 2009.
Berbeda
dengan Undang-Undang pnedahulunya yang hanya menggunakan istilah Pengelolaah
Lingkungan Hidup pada penamaannya, UU No.32 Tahun 2009 diberi nama Perlindungan dan Pengelolaan
Lingkungan Hidup. Dibandingkan dengan UULH 1982 dan UULH 1997, UPPLH memuat bab
dan pasal lebu=ih banyak. UUPPLH terdiri atas XVII bab dan 127 pasal. UUPPLH
memuat rumusan pengertian tentang konsep-konsep yang digunakan dalam batang
tubuh undang-undang tersebut sebanyak 39 sebagaimana dirumuskan dalam pasal 1. Beberapa
konsep atau istilah baru yang dirumuskan dalam UUPLH dan tidak ditemukan dalam
UULH 1997 maupun UULH 1982 adalah kajian lingkungan hidup strategis, disingkat
KLHS, kerusakan lingkungan hidup, perubahan iklim, bahan berbahaya dan beracun,
pengelolaan limbah B3, dumping, audit lingkungan hidup, ekorefion, kearifan
lokal, masyarakat hukum adat, instrumen ekonomi, ancaman serius, izin
lingkungan.
Kajian
lingkungan hidup strategis (KLHS) adalah “ rangkaian analisis sistematis,
menyeluruh dan partisipatif untuk memastikan bahwa prinsip pembangunan
berkelanjutan telah menjadi dasar dan terintegrasi dalam pembangunan suatu
wilayah dan/atau kebijakan, rencana dan/atau program.”
Pengertian
perubahan iklim dirumuskan dalam pasal 1 butir 19 yaitu “berubahnya iklim yang
diakibatkan langsung atau tidak langsung oleh aktifitas manusia sehingga
menyebabkan perubahan komposisi atmosfer secara global dan selain itu juga
berupa perubahan komposisi atmosfer secara global dan selain itu juga berupa
perubahan variabilitas iklim ilamiah yang teramati pada kurun waktu yang dapat
dibandingkan.”
Pengertian
lingkungan hidup sebagaimana dirumuskan Pasal 1 butir 1 adalah : “kesatuan
ruang dengan semua benda, daya, keadaan, dan makhluk hidup, termasuk manusia
dan perilakunya yang mempengaruhi alam itu sendiri, kelangsungan perikehidupan
dan kesejahteraan manusia serta makhluk hidup lain.”
Pengertian
pembangunan berkelanjutab, sebagaimana dirumuskan dalam pasal 1 butir 3 UUPPLH,
adalah “ upaya sadar dan terncana, yang memadukan lingkungan hidup sosial,
ekonomi ke dalam strategi pembangunan untuk menjamin keselamatan, kemampuan
kesejahteraan dan mutu hidup generasi masa kini dan masa mendatang.”
Pengertian
ekosistem sebagaimana dirumuskan dalam pasal 1 butir 5 adalah “ tatanan unsur
lingkungan hidup yang merupakan kesatuan utuh menyeluruh dan saling
mempengaruhi dalam membentuk keseimbangan, stabilitas dan produktivitas
lingkungan hidup.”
Pengertian
pelestarian fungsi lingkungan hidup dirumuskan dalam Pasal 1 butir 7, yaitu;
“kemampuan lingkungan hidup untuk mendukung perikehidupan manusia, makhluk
hidup lain dan keseimbangan antar keduanya.” Selanjutnya, konsep daya tampung
lingkungan hidup dirumuskan sebagai berikut “ kemampuan lingkungan hidup untuk
menyerap zat, energi, dan/atau komponen lain yang masuk atau dimasukan
kedalamnya.” Konsep daya dukung lingkungan berguna dalam kaitannya dengan
pengendalian pencemaran lingkungan hidup. Pengertian sumber daya alam
dirumuskan Pasal 1 ayat 9 UUPPLH adalah, “unsur lingkungan hidup yang terdiri
atas sumber daya alam,, baik hayati maupun non-hayati yang secara keseluruhan
membentuk kesatuan ekosistem”.
C.
Asas
dan Tujuan Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup
1.
Asas
UUPPLH
didasarkan pada 14 asas, yaitu:
1. Tanggung
jawab negara
2. Kelestarian
dan keberlanjutan
3. Keserasian
dan keseimbangan
4. Keterpaduan
5. Manfaat
6. Kehati-hatian
7. Keadilan
8. Ekoregion
9. Keanekaragaman
hayati
10. Pencemar
membayar
11. Partisipatif
12. Kearifan
lokal
13. Tata
kelola pemerintahan yang baik
14. Otonomi
daerah
UUPPLH
memuat lebih banyak asas dibandingkan UULH 1997 yang hanya memuat 3 asas
pengelolaan lingungan hidup, yaitu asas
tanggung jawab negara, asas berkelanjutan, dan asas manfaat. Pengertian atau makna dari ketiga asas ini
tidak ditemukan dalam UULH. Dalam UULH 1982 pengelolaan lingkungan hidup
“berasaskan pelestarian kemampuan lingkungan yang serasi dan seimbang untuk
menunjang pembangunan yang berkesinambungan bagi peningkatan kesejahteraan
manusia.
2.
Tujuan
Pasal
3 UUPPLH memuat tujuan perlindungan dan pengelolaan lingkungan hidup, yaitu:
1. Melindungi
wilayah NKRI
2. Menjamin
keselamatan, kesehatan dan kehidupan manusia
3. Menjamin
kelangsungan makhluk hidup dan kelestarian ekosistem
4. Menjaga
kelestarian fungsi lingkungan hidup
5. Mencapai
keserasian, keselarasan dan keseimbangan lingkungan hidup
6. Menjamin
terpenuhinya keadilan generasi masa kini dan generasi masa depan
7. Menjamin
pemenuhan dan perlindungan hak atas lingkungan hidup sebagian dari hak asasi
manusia
8. Mengendalikan
pemanfaatan sumber daya alam secara bijaksana
9. Mewujudkan
pembangunan berkelanjutan
10. Mengantisipasi
isu lingkungan global
D. Hak-hak
dan kewajiban
1. Pengakuan
atas hak-hak lingkungan hidup
Bauik
UUPPLH, UULH 1997 dan UULH 1982 sama-sama memuat hak setiap orang dalam
kaitannya dengan lingkungan hidup. Tetapi jika dibandingkan antara ketiganya,
UUPPLH memuat hak-hak lebih banyak daripada UULH 1997 dan UULH 1982. Ada 8 hak
yang diakui dalam UUPPLH yaitu :
1. Hak
atas lingkungan hidup yang baik dan sehat sebagai hak asasi manusia
2. Hak
mendapat pendidikan linngkungan hidup
3. Hak
akses informasi
4. Hak
akses partisipasi
5. Hak
mengajukan usul atau keberatan terhadap rencana usaha atau kegiatan yang
diperkirakan dapat menimbulkan dampak terhadap lingkungan hidup
6. Hak
untuk berperan dalam perlindungan dan pengelolaan lingkungan hidup
7. Hak
untuk melakukan pengaduan akibat dugaan pencemaran atau kerusakan lingkungan
hidup
8. Hak
untuk tidak dapat dituntut secara pidana dan perdata dalam memperjuangkan
hak-hak atas lingkungan hidup yang baik dan sehat
Diantara
ke 8 hak itu adalah hak substantif dan hak prosedural. Hak ataslingkungan hidup
yang baik dan sehat merupakan hak substantif, sedangkan hak akses informasi,
akses partisipasi, hak berperan dalam perlingdungan dan pengelolaan lingkungan
termasuk kedalam hak-hak prosedural. Perkembangan penting dan baru adalah hak
yang dirumuskan dalam pasal 66 UUPPLH, yaitu hak setiap orang untuk tidak dapat
dituntut secara perdata dan pidana. Penegasan pengakuan atas keberadaan hak
untuk tidak dituntut dilatarbelakangi oleh adanya kasus warga yang melaporkan terjadinya
pencemaran lingkungan justru kemudian dituntut telah melakukan pencemaran.
Fakta ini tentu dapat membuaat orang enggan untuk menyuarakan hak-haknya dan
terjadinya masalah lingkungan karena ia dapat dijadikan sasaran penuntutan atau
gugatan.
UULH
1997 mengakui adanya 3 jenis hak lingkungan hidup yaitu : hak atas lingkungan
hidup yang baik dan sehat, hak atas informasi lingkungan hidup dan hak untuk
berperan dalam pengelolaan lingkungan hidup. Sebaliknya, dalam UULH 1982 tidak
ditemukan adanya hak atas informasi lingkungan hidup.
2.
Kewajiban-Kewajiban
Dalam Pengelolaan Lingkungan Hidup
UUPPLH
menciptakan kewajiban-kewajiban sebagai berikut :
a. Kewajiban
memelihara kelestarian fungsi lingkungan hidup serta mengendalikan pencemaran
dan/ atau kerusakan lingkungan hidup. (Pasal 67)
b. Kewajiban
bagi pelaku usaha untuk memberikan informasi yang terkait dan pengelolaan
lingkungan hidup secara benar, akurat, terbuka dan tepat waktu/ (Pasal 68 Butir
B),
c. Kewajiban
bagi pelaku usaha untuk menjaga keberlanjutan lingkungan hidup ( Pasal 68 Butir
C),
d. Kewajiban
bagi pelaku usaha untuk menaati ketentuan baku mutu lingkungan hidup (Pasal 68
Butir C).
E.
Kewenangan
pemerintah dalam pengelolaan lingkungan hidup
Dalam
UUPPLH tidak lagi menggunakan konsep kewenangan negara, tapi kewenangan
pemerintah yang dibedakan atas pemerintah, pemerintah propinsi, pemerintah
kabupaten/kota. Perubahan konsep ini tampaknya didasarkan pada pertimbangan
bahwa konsep negara lebih luas karena mencakup pemerintah, teritorial dan warga
negara. Negara dijalankan oleh pemerintah sebagai sebuah organisasi kekuasaan negara.
Kewenangan
pemerintah pada 3 tingkatan diformulasikan lebih rinci meliputi, diantaranya :
1. Menetapkan
kebijakan nasional
2. Menetapkan
norma-norma, standar, prosedur, dan kriteria.
3. Menetapkan
dan melaksanakan kebijakan mengenai RPPLH nasional.
4. Menetapkan
dan melaksanakan kebijakan mengenai KLHS.
5. Menetapkan
dan melaksanaka kebijakan mengenai UKL_UPL.
Kewenangan
pemerintah, mengenai pemerintah kabupaten/kota yang dirumuskan secara rinci
sebagaimana dirumuskan dalam pasal 63 ayat (1), (2) dan (3) UUPPLH pada
dasarnya tidak tepat. Semestinya rumusan normatif dalam tingkatan UU bersifat
abstrak, tetapi cukup mencakup kenyataan empiris yang ingin dijangkau. Lagipula
penyebutan sejumlah kewenangan secara rinci tersebut ada yang tidak efisien,
misalkan penyebuttan kewenangan penegakan hukum. Kalaupun kewenangan penegakan
hukum itu tidak disebutkan dalam UUPPLH, pemerintah sudah semestinya memiliki
kewenangan penegakan hukum karena kewenangan itu sudah inhern dengan pemerintah
sesuai dengan teori-teori dalam ilmu negara atau ilmu politik, bahwa kewenanga
penegakan hukum itu ada pada pemerintah sebagai salah satu unsur dari terbentuknya
negara disamping terbentuknya negara disamping wilayan dan warga.
F.
Kelembagaan
Pengelolaan Lingkungan Hidup
1.
Instansi-instansi
Sektoral
UUPPLH
tidak mengubah skema pemebagian pengelolaan lingkungan hidup sebagaimana diatur
dalam UU sebelumnya, baik UULH 1982 maupun UULH 1997. Skema kelembagaan
pengelolaan lingkungan hidup berdasarkan UUPPLH adalah bahwa
kementrian-kementrian sektoral seperti Kementrian Perindustrian, Kementrian
Kehutanan, Kementrian Sumber Daya Mineral, Kementrian Sumber Daya Mineral,
Kementrian Pertanial dan lainnya tetap memiliki kewenangan pengelolaan
lingkungan hidup dalam batas kewenangan mereka sebagaimana ditetapkan dalam UU
sektoral mereka, sedangkan Kementrian Lingkungan Hidup melaksanakan tugas
koordinasi di samping tugas-tugas pengelolaan lingkungan dalam batas-batas yang
ditetapkan dalam UUPPLH.
2.
Kementrian
Lingkungan Hidup
Kepres
No.28 Tahun 1978 tanggal 2 September 1978 telah menetapkan kedudukan, tugas
pokok, fungsi dan Tata Kerja dari tiga Menteri Negara yaitu Menteri Negara
Penertiban Aparatur Negara, Menteri Negara Pengawasan Pembangunan dan
Lingkungan Hidup, Menteri Negara Riset dan Teknologi. Pasal 1 ayat 3
menyebutkan tugas pokok menteri Negara Pembangunan dan Lingkungan Hidup
(MENPLH), yaitu mengendalikan pengawasan pelaksanaan pembangunan dan mengenai
hal-hal yang berhubungan dengan pegembangan lingkungan hidup. Dari bunyi
konsiderans dapat diketahui perbedaan antara MENKLH dan BAPEDAL dalam hal tugas
dan fungsinya,jika MENKLH menjalankan tugas dalam mengkoordinasikanpelaksanaan
pengelolaan lingkungan hidup dan merumuskan kebijaksanaan pengelolaan
lingkungan hidup pada umumnya, maka BAPEDAL menjalankan tugas operasional
pengendalian dampak lingkungan hidup. BAPEDAL berkedudukan dibawah dan
bertanggungjawab langsung kepada Presiden dan dipimpin oleh seorang Kepala.
Tugas pokok BAPEDAL adalah membantu Presiden dalam melaksanakan pengendalian
dampak lingkungan yang meliputi upaya pencegahan kerusakan, penanggulangan
dampak serta pemulihan kualitas lingkungan sesuai dengan peraturan
perundang-undangan yang berlaku (pasal 2 Kepres No.23 Tahun 1990).
3.
Kelembagaan
di Provinsi dan Kabupaten/Kota
Ketentuan
tentang kewenangan dan kelembagaan di daerah dapat diketahui dari rumusan pasal
12 ayat (1) UULH 1997 yang menyatakan :
Untuk
mewujudkan keterpaduan dan keserasian pelaksanaan kebijaksanaa nasional tentang
pengelolaan lingkungan hidup, pemerintah berdasarkan peraturan
perundang-undangan dapat :
a. Melimpahkan
wewenang tertentu pengelolaan lingkungan hidup kepada perangkat di wilayah;
b. Mengikutsertakan
peran pemerintah daerah untuk membantu pusat dalam pelaksanaan pengelolaan
lingkungan hidup di daerah.
Berdasarkan
Kepres NO. 77 Tahun 1994, tiap pemerintah dapat membentuk BAPEDAL Daerah
(seterusnya disingkat BAPEDALDA) BAPEDALDA provinsi merupakan perangkat daerah
yang bertugas membantu Gubernur dalam melakukan pembinaan dan koordinasi
pelaksanaan pengendalian dampak lingkungan oleh BAPEDALDA-BAPEDALDA
kabupaten/kota di wilayah provinsi yang bersangkutan.
Pemerintah
provinsi memiliki kewenangan di bidang pengelolaan sebatas pada bidang yang
didelegasikan oleh pemerintah kepada pemerintah provinsi. Oleh sebab itu,
disetiap provinsi dibentuk Komisi Amdal untuk memeriksa dan memutus kalayakan
dokumen-dokumen Amdal untuk kegiatan-kegiatan usaha yang izin usahanya
dikeluarkan oleh Gubernur.
4.
Tingkat
Kabupaten/Kota
Pada
masa sebelum berlakunya UU No. 22 Tahun 1999 kemudian diganti oleh UU No. 32
Tahun 2004, Pemerintah Kabupaten/kota hanya berwenang mengeluarkan izin Hinder
Ordonansi yang merupakan produk zaman Belanda. Pada tahun 1999 untuk merespons
tuntutan daerah agar diwujudkan desentralisasi yang nyata dan luas oleh
pemerintah telah mengundangkan UU No. 22 Tahun 1999 tentang pemerintah daerah. Selain
itu, perlu diperhatikan pula perkembangan relatif baru menyangkut kelembagaan
dengan keluarnya PP No. 8 Tahun 2003 tentang Pedoman Organisasi Perangkat
Daerah.
G.
Instrumen
Pengelolaan Lingkungan Hidup
Pasal
14 UUPPLH menyebutkan instrumen-instrumen pencegahan pencemaran dan kerusakan
lingkungan hidup yang pada dasarnya adalah juga sebagai instrumen pengelolaan
lingkungan hidup karena pengelolaan lingkungan hidup dimaksudkan juga untuk
mencegah dan mengatasi masalah pencemaran dan kerusakan lingkungan hidup.
Instrumen-instrumen yang disebut dalam Pasal 14 UUPPLH adalah:
1. Kajian
lingkungan hidupstrategis (KLHS)
2. Tata
ruang
3. Baku
mutu lingkungan hidup
4. Kriteria
baku kerusakan lingkungan hidup
5. Amdal
6. UKL-UPL
7. Perizinan
8. Instrumen
ekonomi
9. Peraturan
perUUan berbasis lingkungan hidup
10. Anggaran
berbasis lingkungan hidup
11. Analisis
risiko lingkungan hidup
12. Audit
lingkungan hidup
Dari
ke-12 instrumen itu dapat dibedakan atas instrumen kebijakan yang bersifat
makro seperti KLHS, tata ruang, peraturan perUUan dan anggaran berbasis
lingkungan dan instrumen-instrumen untuk individual kegiatan seperti perizinan,
Amdal, UKL-UPL. Baku mutu merupakan instrumen yang berfungsi makro dan mikro
kegiatan, misalkan untuk baku mutu ambien bersifat makro sedangkan baku mutu
limbah bersifat individu.
1.
Rencana
Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup (RPPLH)
Pasal
5 UUPPLH mengamanatkan agar pelaksanaan pegelolaan lingkungan hidup dilakukan
melalui inventarisasi lingkungan hidup, penetapan wilayah ekoregion dan
penyusunan Rencana Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup (RPPLH). RPPLH
terdiri atas RPPLH nasional dibuat oleh Menteri Lingkungan Hidup berdasarkan
inventarisasi nasional, RPPLH provinsi dibuat berdasarkan RPPLH nasional,
inventarisasi tingkat pulau/kepulauan dan inventarisasi tingkat ekoregion,
RPPLH tingkat kabupaten/kota dibuat berdasarkan RPPLH provinsi, inventarisasi
tingkat pulau/kepulauan dan inventarisasi tingkat ekoregion. Menurut ketentuan
UPPLH, RPPLH menjadi dasar penyusunan dan dimuat dalam rencana pembangunan
jangkaa menengah. Hal ini juga membuktikan bahwa secara normatif, UUPPLH telah
mengintegrasikan upaya pembangunan dengan pengelolaan lingkungan hidup
sebagaimana menjadi ciri dari pembangunan berkelanjutan.
2.
Kajian
Lingkungan Hidup Strategis
Pengertian
Kajian Lingkungan Hidup (KLHS) sebagaimana dirumuskan dalam pasal 1 butir 10
UUPPLH adalah “rangkaian analisis sistematis, menyeluruh danpartisipatif untuk
memastikan bahwa prinsip pembangunan berkelanjutan telah menjadi dasar dan
terintegrasi dalam pembangunan suatu wilayah dan/kebijakan , rencana
dan/program.”
3.
Baku
Mutu Lingkungan Hidup
Pengertian
baku mutu lingkungan hidup adalah ukuran batas atau kadar makhluk hidup, zat
energi atau komponen lain yang ada atau harus ada dan/atau unsur pencemar yang
ditenggang keberadannya dalam suatu sumber daya tertentu sebagai unsur
lingkungan hidup.” Baku mutu lingkungan hidup merupakan instrumen untuk mengukur terjadinya
pencemaran lingkungan.
4.
Kriteria
Baku Kerusakan Lingkungan Hidup
Pengertian
kriterian baku buku mutu lingkungan hidup sebagaimana dirumuskan dalam pasal 1
butir 15 adalah “ukuran batas perubahan sifat fisik,kimia, dan/atau hayati
lingkungan hidup yang dapat ditenggang oleh lingkungan hidup untuk dapat tetap
melestarikannya.” Kriteria baku kerusakan lingkungan hidup merupakan instrumen
untuk menetukan terjadinya kerusakan lingkungan hidup.
5.
Analisis
Mengenai Dampak Lingkungan
a.
Pengertian
Amdal
merupakan suatu upaya atau pendekatan untuk mengkaji apakah kegiatan
pemanfaatan atau pengolahan sumber daya alam atau kebijakan pemerintah akan dan
dapat menimbulkan dampak terhadap lingkungan hidup.
b.
Komisi
Penilaian Amdal
Berbeda dari UULH 1982 maupun UULH 1997 yang tidak
mengatur soal Komisi Amdal, UUPPLH mangatur Komisi Amdal walau hanya secara
umum saja. Berdasarkan UUPPLH, Komisi Komisi Penilaian Amdal yang dibentuk oleh
Menteri Lingkungan Hidup, gubernur dan bupati/walikota bertugas menilai
kelayakan dokumen Amdal. Berdasarkan Pasal 29 ayat (2) UUPPLH, Anggota Komisi
Penilai Amdal wajib memiliki lisensi dari Menteri Lingkungan Hidup, Gubernur,
Bupati/Walikota sesuai dengan lingkup kewenangannya.
Berdasarkan Pasal 30 ayat (1) UUPPLH,
keanggotaan Komisi Penilai Amdal terdiri atas wakil dari unsur-unsur berikut :
a. Instansi
lingkungan hidup
b. Instansi
teknis terkait
c. Pakar
di bidang pengetahuan yang terkait dengan jenis usaha dan/atau kegiatan yang
sedang dikaji
d. Pakar
di bidang terkait dengan dampak yang timbul dari suatu usaha dan/atau kegiaitan
yang sedang dikaji
e. Wakil
dari masyarakat yang berpotensi terkena dampak
Komisi
penilai Amdal pada ketiga tingkatan dibantu oleh tim teknis yang terdiri atas
pakar independen yang melakukan kajian teknis. Diperlukannya tim teknis karena
pada faktanya orang-orang yang duduk dalam keanggotaan Komisi Penilai Amdal
sering kali para pejabat struktural di tingkat Kabupaten/Kota yang tidak punya
cukup waktu untuk membaca dokumen.
c.
UKL
dan UPL
setiap
usaha yang tidak termasuk dalam kriteria wajib Amdal wajib memiliki Upaya
Pengelolaan Lingkungan (UKL) dan Upaya Pemantauan Lingkungan (UPL). Terdapat
pengkategorian terhadap sebuah kegiata yang membuktikan betapapun kecilnya
sebuah kegiatan usaha berkemungkinan untuk menimbulkan masalah lingkunngan.
Ketentuan lebih lajut tentang pelaksanaan UKL-UPL serta surat pernyataan
kesanggupan pengelolaan dan pemantauan lingkungan diatur dalam peraturan
Menteri Lingkungan Hidup.
d.
Hubungan
antara Amdal , UKL dan UPL dengan izin Lingkungan
Sejak
berlakunya UUPPLH, Amdal tidak lagi menjadi persyaratan untuk memperoleh izin
usaha, tetapi sebagai prasyarat untuk memperoleh izin lingkungan sebagaimana
dinyatakandalam pasal 37 ayat (1). Demikian pula UKL dan UPL merupakan
prasyarat untuk memperoleh izin lingkungan. Bahkan pejabat memberi izin
lingkungan yang menerbitkan izin lingkungan tanpa dilengkapi dengan Amdal atau
UKL dan UPL dapat diancam pidana sebagaimana dirumuskan dalam pasal 111 UUPPLH.
e.
Instansi
yang Berwenang dan Instansi yang Bertanggung Jawab
Instansi
yang berwenang adalah Menteri Sektoral yang berwenang memberikan keputusan izin
usaha atau kegiatan misalkan Menteri Perindustrian untuk kegiatanindustri,
Menteri Kehutanan untuk kegiatan pemanfaatan hutan. Instansi yang bertanggung
jawab adalah instansi yang berwenang memberi keputusan tentang kelayakan
lingkungan dari setiap rencana kegiatan. Instansi ynag bertanggung jawab untuk
tingkat nasional adalah Kementrian Lingkungan Hidup sedangkan untuk tingkat
daerah adalah Gubernur.
f.
Prosedur
Penilaian Amdal
Ada
17 tata laksana penyusunan dan penilaian dokumen Amdal, diantaranya sebagai
berikut :
1. Pemrakarsa
menyusun KA yang didasarkan pada pedoman yang ditetapkan oleh Kepala Instansi
yang membidangi pengendalian dampak lingkungan hidup.
2. Pemrakarsa
menyampaikan KA di tingkat pusat kepada instansi yang bertanggung jawab
BAPEDAL/Kementerian Lingkungan Hidup melalui Komisi Penilai Tingkat Pusat dan
di Daerah kepada Gubernur melalui Komisi Penilai Tingkat Daerah.
3. KA
dinilai oleh Komisi Penilai dengan jangka waktu paling lama 75 hari kerja dan
jika dalam waktu tersebut Komisi Penilai tidak mengeluarkan keputusan, maka
instansi yang bertanggung jawab dianggap menerima KA
g.
Keterlibatan
Masyarakat Dalam Amdal
Pelibatan
masyarakat dalam proses Amdal tidak diatur dalam UULH 1997 karena memang UULH
1997 tidak mengatur secara rinci soal Amdal. Pasal 33 ayat 1 PP No. 27 Tahun
1999 mewajibkan instansi bertanggung jawab dan pemrakarsa untuk mengumumkan
rencana kegiatan yang terkena wajib Amdal. Dalam jangka waktu 30 hari kerja
sejak pengumuman, warga masyarakat yang berkepentingan berhak mengajukan saran,
pendapat, dan tanggapan secara tertulis tentang rencana kegiatan itu kepada
instansi yang bertanggung jawab. Instansi yang bertanggung jawab wajib
mempertimbangkan dan mengkaji saran dan pendapat dari masyarakat. Tata cara dan
bentuk pengumuman dan cara penyampaian pendapat dan tanggapan masyarakt
ditetapkan oleh instansi yang bertanggung jawab.
6.
Izin
Lingkungan
Izin
merupakan instrumen hukum administrasi yang dapat digunakan oleh pejabat
pemerintah yang berwenang untuk mengatur cara-cara pengusaha menjalankan
usahanya. Dalam sistem UUPPLH 2009 terdapat berbagai jenis izin yang dapat
dikategorikan sebagai perizinan di bidang pengelolaan lingkungan atas dasar
kriteria bahwa izin-izin tersebut dimaksudkan atau berfungsi untuk pencegahan
pencemaran atau gangguan lingkungan, pencegahan perusakan lingkungan akibat
pengambilan sumber daya alam dan penataan ruang.
7.
Audit
Lingkungan
Dengan
adanya audit lingkungan, unsur pimpinan suatu usaha dapat memperoleh informasi tentang
keefektifan atau tidaknya manajemen lingkungan badan usaha yang dipimpinnya.
Definisi
audit lingkungan menurut Kep Men LH No.
42/11/94 adalah suatu alat manajemen yang meliputi evaluasi secara sistematis,
terdokumentasi, periodik dan objektif tentang bagaimana organisasi, sistem
manajemen dan peralatan dengan tujuan memfasilitasi kontrol manajemen terhadap
pelaksanaan uoaya pengelolaan lingkungan dan pengkajian pentaatan terhadap
peraturan perUUan tentang pengelolaan lingkungan.
Audit
lingkungan dalam UUPPLH yang ditemukan dalam Pasal 48 hingga Pasal 5 yang
bersifat sukarela. Sedangkan dalam UULH 1997 dapat bersifat wajib sebagaimana
diatur dalam Pasal 29 ayat (1), (2) dan (3).
8.
Instrumen
Ekonomi Lingkungan Hidup
Dalam
UUPPLH pengaturan instrumen ekonomi terdapat dalam dua pasal dengan beberapa
ayat, yaitu Pasal 42 dan 43. Pemerintah saat ini sedang mempersiapkan Peraturan
Pemerintah tentang Instrumen Ekonomi Lingkungan. Dalam draf PP ini antara lain
mengatur pelaksanaan dari kompensasi lingkungan, implementasi internalisasi
biaya lingkungan, kewajiban pemegang izin lingkungan untuk penyediaan dana
jaminan pemulihan lingkungan, dana tanggap darurat penanggulangan pencemaran
dan/atau kerusakan lingkungan hidup, penerapan pajak, retribusi dan subsidi lingkungan.
9.
Analisis
Risiko Lingkungan
Dalam
UUPPLh analisis resiko lingkungan diatur hanya dalam satu pasal, yaitu pasal
47. Badan yang saat ini telah menggunakan analisis risiko lingkungan adalah
pelepasan dan peredaran Produk Rekayasa Genetik.
BAB
III
PENGATURAN
PENGENDALIAN PENCEMARAN LINGKUNGAN HIDUP
A. Pengantar
Pencemaran
lingkungan hidup dapat terjadi dalam bentuk pencemaran air (sungai dan danau),
pencemaran laut, pencemaran udara dan kebisingan. Salah satu dari beberapa
sumber pencemaran laut, sebagaimana ditetapkan dalam the Third United Nation Convention on the Law of the Sea (UNLOS
III), adalah kegiatan di daratan. Sumber pencemaran air dari daratan terdiri
dari kegiatan sektor industri, kegiatan sektor pertanian, permukiman atau
perkotaan.limbah dari sumber-sumber ini masuk kedalam saluran air, sungai-sungai
dan akhirnya berakhir ke lautan sehingga dapat menimbulkan pencemaran laut.
B.
Baku
Mutu Lingkungan Hidup
Pengertian
BMLH dirumuskan dalam pasal 1 angka 13 UUPPLH yaitu ukuran batas atau kadar
makhluk hidup, zat, energi atau komponen yang ada atau harus ada dan/atau unsur
pencemar yang ditenggang adanya dalam suatu sumber daya tertentu sebagai unsur
lingkungan hidup.
Baku
mutu limbah cair atau baku mutu air limbah untuk beberapa kegiatan atau sumber
telah dituangkan dalam keputusan Menteri Negara Lingkungan Hidup, diantaranya
yaitu:
1. Kep
Men LH No. 51 /MenLH/10/1995 bagi kegiatan industri
2. Kep
Men LH No. 52 /MenLH/10/1995 bagi kegiatan hotel
3. Kep
Men Lh No. 58/MenLH/10/1995 bagi kegiatan rumah sakit
C.
Perizinan
Pengendalian Pencemaran Lingkungan Sebelum Berlaku UUPPLH
Dalam
bab ini perlu diuraikan izin lingkungan sebagaimana diamanatkan oleh Pasal 123
UUPPLH : segala izin di bidang pengelolaan lingkungan hidup yang telah
dikeluarkan menteri, gubernur, atau bupati/walikota sesuai dengan kewenangannya
wajib diintegrasikan dalam izin lingkungan paling lama 1 tahun sejak
undang-undang ini ditetapkan. Izin-izin lingkungan terbut meliputi :
1. Izin
usaha industri
2. Izin
lokasi
3. Izin
Hinder Ordonantie (HO)
4. Izin
pembuangan air limbah
5. Izin
pemanfaatan air limbah untuk aplikasi pada tanah
6. Izin
dumping
7. Izin
pengoprasian pengolahan limbah bahan berbahaya dan beracun (B3)
D.
Izin
Pengendalian Pencemaran Lingkungan Berdasarkan UUPPLH
Yang
dimaksud izin pengendalian pencemaran lingkungan dalam buku ini adalah izin
lingkungan yang dirumuskan dalam pasal 1 butir 35 UUPPLH, tetapi berbatas pada
izin yang memuat persyaratan-persyaratan lingkungan yang diberlakukan atas
kegiatan-kegiatan yang dapat menimbulkan pencemaran lingkungan.
E.
Pengendalian
Pencemaran Air
Upaya
pengendalian pencemaran air di Indonesia mula-mula diatur dalam PP No. 20 Tahun
1990.pada tanggal 14 Desember 2001 Pemerintah telah mengundangkan PP No. 82
tentang Pengen Pengelolaan Kualitas Air dan Pengendalian Pencemarab Air yang
mencabut berlakunya PP No. 20 Tahun 1990.
F.
Pengendalian
Pencemaran Udara
Pengendalian
pencemaran udara diatur dalam sejumlah perangkat hukum, yaitu PP No. 41 Tahun
1999 tentang Pengendalian Pencemaran udara (LN Tahun 1999 No. 86) dan PP No. 4
Tahun 2001 tentang Pengendalian Kerusakan dan/atau Pencemaran Lingkungan Hidup
yang Berkaitan Dengan Kebakaran Hutan dan/atau Lahan (LN Tahun 2001 No. 10).
BAB IV
PENGATURAN PEMANFAATAN
SUMBER DAYA ALAM DAN PENGENDALIAN PERUSAKAN LINGKUNGAN HIDUP
A.
Pengantar
Ketentuan-ketentuan
hukum yang mengatur pengelolaan, termasuk di dalamnya perlindungan terhadap
sumber daya alam dapat ditemui pada beberapa peraturan-peraturan
perundang-undangan. Beberapa perangkat hukum yang akan dibahas disini adalah tentang
pengelolaan hutan, konservasi sumber daya alam hayati, perlindungan air, sumber
daya hayati kelautan, sumber daya ikan.
B.
Pengelolaan
Hutan
UU
No. 41 Tahun 1999 merumuskan pengertian Hutan sebagai berikut “Hutan ialah
suatu kesatuan ekosistem berupa hamparan lahan berisi sumber daya alam hayati
yang didominasi pepohonan dalam persekutuan alam lingkungannya yang satu sama
lainnya r=tidak dapt dipisahkan.”
Pemanfaatan
hutan pada kawasan hutan produksi dapat terjadi antara lain dalam bentuk
kegiatan-kegiatan berikut : pemanfaatan kawasan, pemanfaatan jasa lingkungan,
pemanfaatan hasil hutan kayu, pemanfaatan hasil hutan bukan kayu, pemungutan
hasil hutan kayu, dan pemungutan hasil hutan bukan kayu, kegiatan-kegiatan ini
memerlukan izin yaitu :
a. Izin
usaha pemanfaatan kawasan
b. Izin
pemanfaatan jasa lingkungan pada kawasan hutan produksi
c. Izin
usaha pemanfaatan hasil hutan kayu
d. Izin
pemanfaatan hasil hutan bukan kayu
e. Hak
pengusahaan tanaman industri
Rehabilitasi
hutan dan lahan dilakukan dengan tujuan untuk memulihkan, mempertahankan dan
meningkatkan fungsi hutan dan lahan sehingga fungsi daya dukung, produktifitas,
sistem penyangga kehidupan dapat terjaga. Bentuk-bentuk rehanilitasi hutan
adalah reboisasi, penghijauan, pemeliharaan, pengayaan tanaman atau penerapan
teknik konservasi tanah secara vegetatif dan sipil teknis pada lahan kritis dan
tidak produktif.
C.
Konservasi
Sumber Daya Alam Hayati dan Ekosistemnya
Konservasi
sumber daya alam dan ekosistemnya berasaskan pelestarian kemampuan dan
pemanfaatan sumber daya alam hayati dan ekosistemnya secara serasi dan
seimbang” (Pasal 2). Tujuan konservasi sumber daya alam hayati dan ekosistemnya
sebagaimana dinyatakan dalam Pasal 3 UU No. 5 Tahun 1990 adalah mengusahakan
terwujudnya kelestarian sumber daya alam hayati serta keseimbangan ekosistemnya
sehingga dapat lebih mendukung upaya peningkatan kesejahteraan masyarakat dan
mutu kehidupan manusia.
D.
Perlindungan
Sumber Daya Alam Hayati di Laut
Pengaturan
sumber daya alam hayati di laut terdapat dalam UU No. 5 Tahun 1983 tentang zona
ekonomi eksklusif indonesia dan PP No. 15 Tahun 1984 tentang pengelolaan sumber
daya alam hayati si ZEE Indonesia. Konservasi mengandung pengertian adanya
usaha pemanfaatan terhadap sumber daya alam hayati laut, tetapi juga adanya
usaha untuk mencegah terjadinya pengirasan sumber daya alam sehingga sumber
daya alam tetap tersedia. Tentang perizinan penangkapan ikan di ZEE Indonesia
diatur dalam Bab IV PP No. 15 Tahun 1984.
E.
Perlindungan
Sumber Daya Ikan
Tentang
perlindungan sumber daya ikan dapat ditemui dalam UU No. 9 Tahun 1985 tentang
perikanan. UU ini berisikan tentang ketentuan-ketentaun tentang pengelolaan,
pemanfaatan, pembinaan dan pengembangan sumber daya ikan di dalam wilayah
perikanan Indonesia, penyerahan urusan dan tugas pembantuan di bidang
perikanan.
F.
Pengelolaan
Sumber Daya Air
Ada
berbagai faktor penyebab terancamnya sumber-sumber air tawar, pertama
pencemaran atmosfer bumi mengakin=batkan terjadinya pemanasan permukaan bumi.
Kedua, pembabatan hutan, terutama di kawasan hutan lindung yang mengakibatkan
tidak adanya resapan air.
UU
No. 7 Tahun 2004 tentang sumber daya air (L.N. Tahun 2004 No. 32) terdiri atas
100 pasal yang disistematisasikan ke dalam 18 bab. Sebagaimana UU lain yang
berkaitan dengan sumber daya alam UU No. 7 Tahun 2004 tentang sumber daya air
mendasarkan pada konsep penguasaan negara atas sumber daya air.
BAB V
PENEGAKAN HUKUM LINGKUNGAN DAN
PENYELESAIAN SENGKETA LINGKUNGAN
A.
Pengertian
dan Lingkup Penegakan Hukum Lingkungan
Hukum
lingkungan adalah sebuah bidang cabang hukum yang memiliki kekhasan yang oleh
Drupsteen disebut sebagai bidang hukum fungsional, yaitu didalamnya terdapat
unsur-unsur hukum administrasi, hukum pidana dan hukum perdata.
B.
Hukum
Lingkungan Administrasi
1.
Pengawasan
Di
dalam UUPPLH, pengawasan diatur dalam pasal 71 hingga pasal 74. Selain terdapat
persamaan, juga ditemukan perbedaan ketentuan-ketentuan tentang pengawasan
antara UULH 1997 dengan UUPPLH. Kemenenterian Lingkungan Hidup sedang
menyiapkan dan membahas RPP tentang Pengawasan dan Sanksi Administratif. Dalam
UU No. 41 Tahun 1999 tentang kehutanan dapat ditemukan ketentuan tentang
pengawasan di bidang kehutanan sebagaimana dirumuskan dalam pasal 59-64. Dalam
UU No. 7 Tahun 2004 tentang sumber daya air dapat ditemukan ketentuan tentang
pengawasan dalam pasal 75. Pasal 75 ayat (2) menyebutkan bahwa pemerintah dan
pemerintah daerah sesuai dengan wewenang dan tanggung jawab melaksanakan
pengawasan terhadap seluruh proses dan hasil pelaksanaan pengelolaan sumber
daya air pada setiap wilayah sungai dengan melibatkan masyarakat
.
2.
Sanksi-sanksi
Hukum Lingkungan Administrasi
Sanksi
hukum administrasi adalah sanksi-sanksi hukum yang dapat dijatuhkan oleh
pejabat pemerintah tanpa melalui proses pengadilan terhadap seseorang atau
kegiatan usaha yang melanggar ketentuan hukum lingkungan administrasi. UUPPLH
memuat empat jenis sanksi hukum administrasi, sebagaimana tercantum dalam pasal
76 ayat (2) yaitu teguran tertulis, paksaan pemerintah, pembekuan izin
lingkungan dan pencabutan izin lingkungan. UUPPLH memuat teguran tertulis
sedangkan UULH 1997 tidak memuat sanksi tertulis.
3.
Penegakan
Hukum Lingkungan Melalui Gugatan Tata Usaha Negara
Di
Indonesia pada umumnya Gugatan Tata Usaha Negara yang diperkirakan tidak
sejalan atau bertentangan dengan peraturan perundang-undangan lingkungan
diajukan oleh Lembaga Swadaya Masyarakat, seperti dalam kasus Wahana Lingkungan
Hidup Indonesia (WALHI) lawan Sekretaris Jenderal Departemen Pertambangan dan
Energi si Pengadilan Tata Usaha Negara Jakarta dengan nomor putusan
600/6115/SJT/1995. Gugatan ini diajukan pada masa berlakunya UULH 1982.
C.
Hukum
Lingkungan Hidup Pidana
1.
Delik
Lingkungan Hidup
Delik
lingkungan adalah perintah dan larangan undang-undang kepada subjek hukum yang
jika dilanggar diancam dengan penjatuhan sanksi-sanksi pidana, antara lain
pemenjaraan dan denda, dengan tujuan untuk melindungi lingkungan hidup secara
keseluruhan maupun unsur-unsur dalam lingkungan hidup seperti satwa, lahan,
udara, dan air serta manusia.
Sanksi
pidana di dalam hukum lingkungan mencakup dua macam kegiatan, yakni perbuatan
mencemari lingkungan dan perbuatan merusak lingkungan. Dalam sistem hukum
Indonesia, sanksi-sanksi yang digunakan pada pelaku mencemari lingkungan dan
perbuatan merusak lingkungan terdapat dalam sejumlah UU yaitu : UU No. 32 Tahun
2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup (UUPPLH), UU No. 5
Tahun 1994 tentang Perindustrian, dan UU No. 5 Tahun 1990tentang Konservasi
Sumber Daya Alam Hayati dan Ekosistemnya dan UU No. 41 tahun 1999 tentang
Kehutanan.
2.
Delik
Lingkungan Hidup Dalam UU Nomor 32 Tahun 2009
Rumusan
ketentuan piidana dalam UU No. 32 Tahun 2009 (UUPPLH) merupakan pengembangan
dan revisi terhadap rumusan ketentuan pidana dalam UULH 1997 dan UULH 1982.
Jika UULH 1982 hanya memuatrumusan ketentuan pidana yang bersifat materiil,
maka UULH 1997 memuat rumusan delik materiil dan juga delik formil. Delik
materiil adalah delik atau perbuatan yang dilarang oleh hukum yang dianggap
sudah terpenuhi apabila perbuatan itu telah menimbulkan akibat. Delik formil
adalah delik atau perbuatan yang dilarang oleh hukum yang sudah dianggap
sempurna atau terpenuhi begitu perbuatan itu dilakukan tanpa mengharuskan
adanya akibat dari perbuatan.
3.
Sanksi
Pidana Dalam UU No. 5 Tahun 1990
Sanksi
pidana dalam UU No. 5 Tahun 1990 terdapat dalam Pasal 40, yang berbunyi sebagai
berikut :
1) Barang
siapa dengan sengaja melakukan pelanggaran terhadap ketentuan sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 19 ayat (1) dan Pasal 33 ayat (1) dipidana dengan pidana
penjara paling lama sepuluh tahn dan denda paling banyak Rp.200.000.000,00
2) Barang
siapa dengan sengaja melakukan pelanggaran terhadap ketentuan sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 21 ayat (1) dan ayat (2) serta Pasal 33 ayat (3) dipidana
penjara paling lama 5 tahun dan denda paling banyak Rp100.000.000,00
3) Barangsiapa
karena kelalaiannya melakukan pelanggaran terhadap ketentuan sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 19 ayat (1) dan Pasal 33 ayat (1) dipidana dengan pidana
kurungan paling lama 1 tahun dan denda paling banyak Rp.100.000.000,00
4) Barangsiapa
karena kelalaiannya melakukan pelanggaran terhadap ketentuan sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 21 ayat (1) dan ayat (2) serta pasal 33 ayat (3) dipidana
dengan pidana kurungan paling lama 1 tahun dan denda paling banyak Rp
50.000.000,00
4.
Sanksi
Pidana Dalam UU No. 5 Tahun 1984
Sanksi
pidana UU No. 5 tentang perindustrian terdapat dalam pasal 27. Berdasarkan
pasal 27 ayat (1), sanksi pidana penjara selama-lamanyanya 10 tahun dan atau
denda sebanyak-banyaknya Rp. 100.000.000,00 dapat dikenakan kepada mereka yang
dengan sengaja telah melanggar ketentuan Pasal 21 UU No. 5 Tahun 1984. Menurut
Pasal 27 ayat 2, sanksi pidana kurungan selama-lamanya 1 tahun dan denda
sebanyak-banyaknya Rp 1.000.000,00 dapat dikenakan kepada mereka yang karena
kelalaian telah melanggar ketentuan Pasal 27 ayat (1).
5.
Sanksi
Pidana Dalam UU No. 41 Tahun 1999
Ketentuan
yang berupa larangan-larangan yang dapat diancam pidana dengan sanksipidana
yang dirumuskan dalam pasal 38 ayat (4), Pasal 50 ayat (1), (2), dan (3) UU
No.41 Tahun 1999 sedangkan ancaman pidananya disebutkan dalam pasal 78. UU No
41 Tahun 1999 juga menganut pertanggungjawaban korporasi. Bahkan UU No. 41
Tahun 1999 memuat rumusan yang lebih maju dibandingkan UU No.23 Tahun 1997. UU
No. 41 Tahun 1999 dengan tegas menyabutkan, bahwa pengurus badan usaha, abik
secara sendiri-sendiri maupun bersama-sama dapat dijatuhkan hukuman pidana yang
diperberat sepertiga dari ancaman yang dijatuhkan. Sebaliknya UU No.23 Tahun
1997, para pengurus badan usaha tidak dengan sendirinya dapat dituntut jika
mereka memenuhi unsur sebagai pemimpin atau pemberi perintah dalam perbuatan
terlarang.
D.
Penegakan
Hukum Lingkungan Melalui Gugatan Perdata
Di
Indonesia, gugatan perdata sebagai sarana penegakan hukum lingkungan juga
dilakukan berdasarkan konsep perbuatan melawan hukum sebagaimana dirumuskan
dalam pasal 1365 BW. Gugatan perdata sebagai upaya penegakan hukum lingkungan
pertama kali dilakukan oleh WALHI melawan PT IIU, Menteri perindustrian,
Menteri Kehutanan, Menteri Dalam Negeri, Menteri Lingkungan Hidup dan Gubernur
Privinsi Sumatra Utara di Pengadilan Negeri Jakarta Pusat.
Selain
gugatan perdata sebagai sarana penegakan hukum dilakukan oleh warga atau LSM
juga dapat dilakukan oleh pemerintah. Dalam UULH 1997, kewenangan pemerintah
melakukan gugatan perrdata diatur dalam Pasal 37 ayat (2), sedangkan dalam
UUPPLH kewenangan itu dirumuskan dalam Pasal 90 ayat (1).
E.
Penyelesaian
Sengketa Lingkungan Hidup
Sengketa
lingkungan hidup adalah perselisihan antara dua pihak atau lebih yang timbul
sehubungan dengan pemanfaatan sumber daya alam. Sumber daya alam disamping
memberikan manfaat juga dapat menimbulkan kerugian pada kelompok lain. Sengketa
lingkungan berkisar pada kepentingan-kepentingan yang bersifat ekonomi,
misalnya hilangnya mata pencaharian dan pemerosotan kualitas atau nilai ekonomi
atau kebendaan, dan juga berkaitan dengan kepentingan-kepentingan non ekonomi
sifatnya. Misalnya terganggunya kesehatan, kegiatan rekreasional, keindahan dan
kebersihan lingkungan.
F.
Penyelesaian
Sengketa Lingkungan Hidup Berdasarkan UU Nomor 32 Tahun 2009
Sebagian
besar ketentuan-ketentuan penyelesaian sengketa lingkungan UUPPLH mengadopsi
ketentuan-ketentuan dalam UULH 1997. Penyelesaian sengketa lingkungan hidup
dalam UUPPLH diatur dalam Pasal 87 hingga Pasal 93. Menurut UUPPLH penyelesaian
sengketa lingkungan hidup dapat ditempuh secara seukarela melalui dua pilihan
mekanisme, yaitu mekanisme proses pengadilan dan mekanisme di luar pengadilan.
Jika para pihak telah sepakat untuk memilih mekanisme diluar pengadilan, maka
gugatan keperdataan melalui pengadilan hanya dapat ditempuh jika mekanisme di
luar pengadilan dinyatakan tidak
berhasil oleh salah satu pihak atau para pihak.
1.
Penyelesaian
Sengketa Melalui Pengadilan
Penyelesaian
sengketa lingkungan hidup melalui pengadilan bermula dari adanya gugatan dari
pihak yang merasa dirugikan terhadap pihak lain yang dianggap penyebab kerugian
itu. UUPPLH menyediakan dua bentuk tuntutan yang dapat diajukan oleh penggugat,
yaitu meminta ganti rugi dan meminta tergugat untuk melakukan tindakan
tertentu.
2.
Gugatan
Perwakilan
UULH
1997 maupun UUPPLH mengenal gugat perwakilan kelompok. UULH 1997 memuat
pengertian dari gugatan perwakilan, sebagaimana dirumuskan dalam penjelasan
Pasal 37 ayat (1) adalah hak kelompok kecil masyarakat untuk bertindak mewakili
masyarakat dalam jumlah besar yang dirugikan atas dasar kesamaan permasalahan
fakta, hukum dan tuntutan. Jadi, menurut konsep gugatan perwakilan kelompok
terdapat dua unsur penggugat yaitu (1) wakil kelompok yang jumlahnya kecil,
mungkin satu atau beberapa orang dan (2) anggota kelompok yang mungkin
jumlahnya puluhan, ratusan atau ribuan. Sebaliknya UUPPLH tidak memuat
pengertian atau gugatan perwakilan kelompok baik dalam batang tubuh maupun penjelasan
Pasal.
Meski
UULH 1997 mengakui keberadaan gugatan perwakilan dan juga memuat pengertiannya,
tetapi tidak mengatur lebih lanjut bagaimana cara gugatan perwakilan ini
diajuka ke pengadilan, sedangkan hukum acara yang berlaku tidak mengatur hal
itu.
3.
Peran
Saksi Ahli Dalam Pembuktian Perkara Lingkungan Hidup
Saksi
ahli dalam proses pengadilan kasus-kasus lingkungan diperlukan untuk
memperjelas hal-hal berikut :
a. Hubungan
sebab akibat aktivitas dengan peristiwa pencemaran dan perusakan lingkungan
hidup
b. Teknologi
pengendali pencemaran
c. Pelanggaran
baku mutu, kriteria baku perusakan lingkungan
d. Kerugian
e. Ganti
kerugian
4.
Pilihan
Penyelesaian Sengketa Lingkungan Hidup
Bentuk-bentuk
penyelesaian sengketa adalah sebagai berikut :
a. Negosiasi
adalah suatu cara penyelesaian sengketa dimana para pihak yang berbeda
kepentingan mengadakan perundingan langsung, tanpa perantaraan atau bantuan
pihak lain. Para pihak mengadakan tawar-menawar tentang bentuk penyelesaian
sengketa.
b. Konsiliasi
adalah cara penyelesaian sengketa dimana para pihak meminta bantuan dari pihak
lain yang netral guna membantu para pihak yang bersengketa dalam mencarikan
bentuk penyelesaian sengketa.
c. Mediasi
adalah cara penyelesaian sengketa di mana para pihak meminta bantuan dari pihak
lain yang netral guna membantu pihak yang bersengketa dalam mencari bentuk
penyelesaian sengketa. Pihak ketiga itu tidak mempunyai kewenangan untuk
mengambil suatu putusan, tetapi hanya berwenang memberikan bantuan atau aran
yang berhubungan dengan soal-soal prosedural dan substansial. Dengan demikian,
putusan akhir tetap di tangan para pihak yang bersengketa.
d. Arbitrasi
adalah cara penyelesaian sengketa di mana para pihak yang bersangkutan
menyerahkan pertiakaian mereka itu kepada pihak lain yang netral guna
mendapatkan keputusan yang menyelesaikan sengketa.
e. Pencari
fakta adalah cara penyelesaian sengketa di mana para pihak menyerahkan
pertiakaian mereka kepada pihak lain yang biasanya terdiri dari para pakar
untuk mencari fakta yang berkaitan dengan sengketa. Para pencari fakta
mempunyai kewenangan untuk memberikan rekomendasi tentang cara penyelesaian
sengketa yang bersangkutan.
Akan
tetapi, menurut Simkin secara konseptual tidak ada perbedaan pokok antara
konsiliasi, mediasi dan pencari fakta. Menurut Simkin, dalam pengertian yang
lebih luas, definisi mediasi meliputi pula konsiliasi dan pencarian fakta,
perbedaan pokok hanya dapat dilihat antara mediasi dengan arbitrasi. Dalam
proses mediasi, seorang mediator tidak mempunyai kewenangan untuk membuat
keputusan guna menyelesaikan sengketa.
Sebaliknya
dalam proses arbitrasi, seorang arbitor mempunyai kewenangan untuk emmbuat
suatu keputusan guna menyelesaikan pokok sengketa.
ijin kopi untuk tugas ya mbak. terimaksih sangat membantu sekali
BalasHapusmakasi Lenny, Lenny baik deh.....
BalasHapuskak bantu ak ya kak ,aku ada tugas nih soal sejarah hukum lingkungan hidup di indonesia .tolong kakak yg cantik dan manis baik hati ini mohon kesedian nya tolong bantu saya ini email saya nanangnovrian@gmail.com
BalasHapusterimakasih yaaa :) sangat membantu
BalasHapusKomentar ini telah dihapus oleh pengarang.
BalasHapus