RESUME BUKU HUKUM LINGKUNGAN DI INDONESIA. PENULIS : PROF. DR. TAKDIR RAHMADI, S.H., LLM PENERBIT : JAKARTA : RAJAWALI PERS, 2013




BAB I

LATAR BELAKANG PENGEMBANGAN HUKUM LINGKUNGAN

A.    Masalah-masalah Lingkungan sebagai Pendorong
Penggundulan lahan hutan, lahan kritis, menipisnya lapisan ozon, pemanasan global tumpahan minyak di laut, ikan mati di anak sungai karena zat-zat kimia, dan punahnya species tertentu adalah beberapa contoh dari masalah-masalah lingkungan hidup. Dalam literatur masalah-masalah lingkungan dapat dikelompokkan kedalam tiga bentuk yaitu pencemaran lingkungan (pollution), pemanfaatan lahan secara salah (land misuse) dan pengurasan atau habisnya sumber daya alam (natural resource depeletion). Akan tetapi, jika dilihat dari perspektif hukum yang berlaku di Indonesia, masalah-masalah lingkungan hanya dikelompokan ke dalam dua bentuk, yakni pencemaran lingkungan (environmental pollution) dan perusakan lingkungan hidup.
Pembedaan masalah lingkungan hidup ke dalam dua bentuk dapat dilihat Undang-Undang Nomor 4 Tahun 1982 Tentang Ketentuan-Ketentuan Pokok Pengelolaan Lingkungan Hidup (UULH) yang kemudian dicabut oleh UU NO 23 tahun 1997 tentang Pengelolaan Lingkungan Hidup (UUPLH).
Dalam buku ini, pengertian pencemaran lingkungan adalah sebagaimana dirumuskan dalam pasal 1 butir 12 Undang-Undang Nomor 23 Tahun 1997, yakni :
Masuknya atau dimasukkannya makhluk hidup, zat, energi, dan/ atau komponen lain ke dalam lingkungan hidup oleh kegiatan, sehingga kualitasnya turun sampai ke tingkat tertentu yang menyebabkan lingkungan hidup tidak berfungsi lagi sesuai dengan peruntukannya.

Pengertian perusakan lingkungan sebagaimana dirumuskan dalam Pasal 1 butir 14, yaitu:
Tindakan yang menimbulkan perubahan langsung atau tidak langsung terhadap sifat fisik dan/ atau hayati yang mengakibatkan lingkungan hidup tidak berfungsi lagi dalam menunjang pembangunan berkelanjutan.
Dampak negatif dari menurunnya kualitas lingkungan hidup baik karena terjadinya pencemaran atau terkurasnya sumber daya alam adalah timbulnya ancaman atau dampak negatif terhadap kesehatan, menurunnya nilai estetika, kerugian ekonomi (economic cost), dan terganggunya sistem alami (natural system).

B.     Faktor-faktor Penyebab Terjadinya Masalah Lingkungan

Berdasarkan sudut pandang para sarjana, setidak-tidaknya ada lima faktor yang melatarbelakangi timbulnya masalah-masalah lingkungan, yakni teknologi, penduduk, ekonomi politik dan tata nilai yang berlaku.

C.    Lahirnya Kesadaran Lingkungan dan Kebijaksanaan Pembangunan Berwawasan di Tingkat Global dan Regional


1.      Konferensi PBB tentang Lingkungan Hidup
Konferensi ini menghasilkan sebuah dokumen yaitu Deklarasi tentang Lingkungan Hidup Manusia – yang juga disebut sebagai Deklarasi Stockholm – yang dianggap sebagai sumber bagi pengembangan hukum lingkungan. Konferensi itu juga menetapkan bahwa tanggal 5 Juni sebagai “Hari Lingkungan Hidup Sedunia”.

2.      Konferensi PBB tentang Lingkungan Hidup dan Pembangunan

Pada tahun 1983 Majelis Umum PBB membentuk sebuah badan, yaitu the World Commission on Environment and Development (WCED) yang diketuai oleh Perdana Menteri Norwegia, Gro Harlem Brutland. Kemudian diselenggarakan Konferensi di Rio de Janeiro, Brasil 1992. Deklarasi tersebut tentang Lingkungan Hidup dan Pembangunan yang juga disebut sebagai the Earth Charter merupakan “soft-law agreements”, yang memuat 27 prinsip. Beberapa unsur penting konsep pembangunan berkelanjutan adalah:
a.       Prinsip kedaulatan dan tanggung jawab negara
b.      Prinsip keadilan antargenerasi
c.       Prinsip keadilan intragenerasi
d.      Prinsip keterpaduan antara perlindungan lingkungan hidup dan pembangunan
e.       Prinsip tanggung jawab bersama tetapi berbeda
f.       Prinsip tindakan pencegahan
g.      Prinsip bekerja sama dan bertetangga baik dan kerja sama internasional
h.      Prinsip keberhati-hatian
i.        Prinsip pencemaran membayar
j.        Prinsip demokrasi dan peran serta masyarakat


3.      Association of Southeast Asian Nations (ASEAN)

Kesadaran bangsa-bangsa si Asia Tenggara untuk melaksanakan perlindungan dan pelestarian lingkungan hidup ditandai dengan adanya beberapa kerja sama antara mereka. Kerja sama itu antara lain dapat dilihat melalui “Tripartite Agreement” dan Deklarasi Manila. “Tripartite Agreement” adalah kesepakatan antara Indonesia, Malaysia dan Singapura mengenai pencegahan dan penanggulangan pencemaran laut di Selat Malaka dan Selat Singapura. Kesepakatan itu telah menghasilkan suatu penataan lalu lintas laut di ke dua selat itu, sebagaimana dituangkan dalam “Indonesia-Malaysia-Singapura (IMS) Traffic Separation Scheme, Rules and Recomendations”.
Setelah Deklarasi Manila, negara-negara ASEAN pada tahun 1976 telah menyusun ASEAN Contingensy Plan. Ruang lingkup dari ASEAN Contingency Plan adalah pengendalian dan mitigasi terhadap pencemaran laut karena tumpahan minyak. Tujuannya adalah untuk melembagakan langkah-langkah yang tepat dalam pengendalian pencemaran laut.
Negara-negara ASEAN juga telah menyusun “Rencana Tindak” (Action Plan). Sasaran utama dari Rencana Tindak ini adalah pengembangan dan perlindungan lingkungan laut dan kawasan dan kawasan pesisir bagi kemajuan, kesejahteraan dan kesehatan generasi sekarang dan masa mendatang.

D.    Pengertian dan Pembidangan Hukum Lingkungan

Hukum lingkungan merupakan sebuah cabang dalam disiplin ilmu hukum yang berkaitan dengan pengaturan hukum terhadap perilaku atau kegiatan-kegiatan subjek hukum dalam pemanfaatan dan perlindunngan sumber daya alam. Dengan demikian, hukum lingkungan tidak senantiasa berkaitan dengan pengaturan perlindungan lingkungan hidup dalam arti pelestarian lingkungan, tetapi juga berkaitan dengan pemanfaatan atau penggunaan sumber daya alam seperti air, tanah, laut, hutan, bahan tambang.
Substansi hukkum lingkungan yang mencakup sejumlah ketentuan-ketentuan hukum tentang dan berkaitan dengan upaya-upaya mencegah dan mengatasi masalah-masalah lingkungan hidup. Van den Berg membagi hukum lingkungan ke dalam lima bidang, yakni: hukum bencana, hukum kesehatan lingkungan, hukum tentang sumber daya alam, atau hukum tentang sumber daya alam atau hukum konservasi, hukum tentang pembagian pemakaian ruang, hukum perlindungan lingkungan.

Hukum penyelesaian sengketa lingkungan terdiri atas ketentuan-ketentuan hukum penyelesaian sengketa melalui proses peradilan dan tata cara penyelesaian sengketa di luar proses peradilan. Beberapa pokok bahasan dalam hukum penyelesaian sengketa lingkungan, antara lain, berkaitan dengan hukum acara di Pengadilan Umum dan Pengadilan Tata Usaha Negara, hak gugat, gugatan perwakilan, pembuktian, pertanggungjawaban perdata, negosiasi dan mediasi lingkungan.
Hukum konservasi sumber daya alam hayati mencakup ketentuan-ketentuan hukum yang berkaitan dengan izin pengembilan sumber daya alam, kriteria baku kerusakan lingkungan, perlindungan tentang pemanfaatan sumber daya alam, sanksi-sanksi hukum administari pidana yang berkaitan dengan pengambilan dan pemanfaatan sumber daya alam.

E.      Posisi Hukum Lingkungan Dalam Konteks Ilmu Hukum

Sebagai sebuah disiplin dalam ilmu hukum, hukum lingkungan mempunyai karakteristik yang khas terutama jika dikaitkan dalam penempatannya kedalam bidang-bidang hukum publik dan privat yang lazim dikenal dalam studi ilmu hukum. Kekhasan hukum lingkungan terletak pada substansinya atau kepentingan-kepentingan yang tercakup di dalamnya sangat luas dan beragam sehingga hukum lingkungan tidak dapat ditempatkan pada salah satu di antara kedua bidang hukum, yaitu hukum publik dan privat.
Drupsteen, seorang sarjana berkebangsaan Belanda, melihat hukum lingkungan sebagai bidang studi hukum yang mengandung segi-segi hukum pemerintahan (bestuur recht), hukum perdata, hukum pidana sehingga dikenal adanya hukum lingkungan perdata dan hukum lingkungan pidana. Akan tetapi, jika dibandingkan segi hukum apakah yang paling dominan di antara ketiga segi hukum itu, maka menurut Drupsteen, segi hukum administrasi yang paling dominan. Dengan kata lain, Drupsteen memandang bahwa hukum lingkunngan sebagian besar memuat ketentuan-ketentuan hukum administrasi. Pandangan ini tampaknya didasarkan pada fakta bahwa pemerintah mempunyai peran penting dalam perumusan kebijakan pengelolaan lingkungan hidup dan implementasi kebijakan pengelolaan lingkungan hidup.

F.     Teori-teori Pengembangan Hukum Lingkungan

Dalam kepustakaan asing dapat ditemukan empat teori model atau model tentang bagaimmana pengembangan hukum lingkungan sebaiknya dilakukan. Keempat teori itu adalah:

1.      Pengembangan Hukum Lingkungan Berdasarkan Teori Pendekatan Ekonomi
Posner (2001), salah seorang sarjana penganjur terkemuka teori pendekatan ekonomi terhadap hukum, berpandangan bahwa teori pendekatan ekonomi terhadap hukum semestinnya menjadi landasan dan acuan bagi pengembangan dan analisis terhadap hukum pada umumnya. Dalam konteks penerapannya ke dalam hukum lingkungan, teori pendekatan ekonomi sangat dipengaruhi oleh asumsi-asumsi dasar ilmu ekonomi yang memandang masalah-masalah lingkungan bersumber dari dua hal, yaitu kelangkaan sumber daya alam dan kegagalan pasar.
Kelangkaan sumber daya alam menjadi sumber permasalahan dalam kehidupan manusia. Manusia mengandalkan sumber daya alam untuk dapat memenuhi keinginannya. Masalahnya adalah bahwa sumber daya alam tidak mungkin memenuhi semua keinginan manusia, oleh sebab itu perlu ada kebijakan dari pemerintah tentang alokasi pemanfaatan sumber daya alam. Kebijakan alokasi yang baik adalah kebijakan yang dapat memaksimmalkan kepuasan atau keinginan orang perorangan.
Bagi para penganjur pendekatan ekonomi terhadap hukum lingkungan misalkan pencemaran lingkungan dipandang semata-mata sebagai bentuk eksternaliti akibat pasar tidak memasukan seluruh unsur biaya yang semestinya dimasukan ke dalam harga dari produk yang bersangkutan. Jadi eksternalitas semata-mata dipandang sebagai akibat kegagalan pasar.
 Oleh sebab itu, pengaturan hukum lingkungan hanya dapat dibenarkan apabila hukum lingkungan berfungsi sebagai upaya rasional untuk memperbaiki kegagalan pasar dalam mengalokasikan penggunaan sumber daya alam secara efisien atau untuk mencapai pendistribusian kekayaan secara lebih adil.
Teori pendekatan ekonomi juga dilengkapi dengan metode pengambilan keputusan yang bebas nilai, yaitu analisis biaya dan manfaat. Dengan metode pengambilan keputusan yang bebas nilai dan objektif, para pejabat pengambil keputusan diharapkan mampu membuaat keputusan-keputusan atau kebijakan-kebijakan secara rasional dan objektif serta terhindar dari pertimbangan subjektif dan nilai-nilai pribadinya.

2.      Pengembanga Hukum Lingkungan Berdasarkan Teori Hak
Pengembangan hukum lingkungan berdasarkan teori hak dipengaruhi pleh filsafat moral atau etika. Aliran filsafat ini menganggap perbuatan yang menimbulkan pencemaran dan perusakan lingkungan merupakan perbuatan jahat (evils) sehingga masyarakat atau negara wajib menghukum perbuatan semacam itu. Teori hak ini juga mencakup dua aliran pemikiran, yaitu libertarianisme di satu sisi dan aliran pemikiran tentang hak-hak hewan (animal rights) di sisi lain.
Bagi libertarianisme, jika sebuah sistem hukum mengakui keberadaan hak atas lingkungan hidup, maka hak itu berfungsi sebagai pelindung bagi perorangan pemegang hak untuk menolak keputusan-keputusan atau kebijakan-kebijakan pemerintah yang bertentangan atau mengancam hak atas lingkungan hidup, meskipun keputusan atau kebijakan pemerintah secara ekonomi dianggap efisien.
Beberapa sarjana mengusulkan perlunya membangun etika ekologis dan perlindungan hak-hak hewan sebagai dasar bagi hukum dan kebijakan lingkungan hidup. Aldo Leopold mengusulkan perlunya konsep etika tanah (land etic), yaitu aturan perilaku untuk melindungi komunitas yang tidak saja terdiri atas manusia, tetapi juga mencakup tanah, air, tumbuh-tumbuhan, dan hewan. Sebuah kebijakan dianggap baik apabila tidak mengancam integritas, stabilitas, dan keindahan komunitas.ndengan demikian Leopold menginginkan adanya perlakuan yang sama terhadap semua makhluk sebagai bagian dari komunitas etik.

3.      Pengembangan Hukum Lingkungan Berdasarkan Teori Paternalisme
Teori Paternalisme mengandung arti bahwa negara memainkan peran sebagai bapak atau orang tua dalam membimbing perilaku anak-anaknya. Secara kiasa negara dipandang sebagai bapak atau orang tua, sedangkan warga negara dipandang sebagai anak-anak. Dan seseorang melakukan sesuatu berdasarkan kesukaan, tanpa perduli hal tersebut bersifat negatif atau positif. Secara analogis persoalan perilaku merokok dan perilaku pengendara mobil dapat diterapkan kedalam konteks hukum lingkungan. Jika setiap orang diberi kebebasan untuk berbuat menurut apa yang dikehendakinya (preferences), maka lingkungan hidup akan terancam.
Perilaku individual manusia sering kali dilatarbelakangi oleh berbagai motif subjektif yang tidak sesuai dengan tujuan-tujuan kehidupan bersama dalam masyarakat atau negara. Dengan demikian diperlukan berbagai peraturan perundang-undangan lingkungan yang dimaksudkan untuk mencegah perbuatan-perbuatan yang tidak saja merugikan dirinya, tetapi juga merugikan masyarakat secara keseluruhan, serta mengubah atau mengarahkan kesukaan warga demi kebaikan masyarakat secara keseluruhan. Agar pendekatan paternalisme tidak melanggar kebebasan dan hak individual, pengaturan hukum atau kebijakan yang dibangun atas dasar teori paternalisme diperlukan keterbukaan institusi-institusi pemerintah dan individu-individu memiliki akses dalam proses politik yang menghasilkan kebijakan paternalisme negara.

4.      Pengembangunan Hukum Lingkungan Berdasarkan Teori Nilai Kebijakan Publik
Teori nilai kebijakan publik menjelaskan, bahwa pertukaran pandangan atau musyawarah mufakat di antara berbagai pemangku kepentingan dapat menjadi dasar bagi pembuatan keputusan yang rasional. Pertukaran pandangan dilandasi oleh sifat keterbukaan pemikiran, kejujuran, ketersediaan untuk mendengar kritik, dan penghargaan atas pandangan-pandangan pihak yang berbeda menjadi dasar pengambilan keputusan bersama. Menurut teori nilai kebijakan publik, wakil-wakil dari berbagai pemangku kepentingan dalam proses legalisasi harus mampu mengatasi benturan kepentingan dengan cara menempatkan kepentingan bersama di atas konstituen mereka.


BAB II
PENGATURAN AZAS, HAK DAN KEWAJIBAN, KEWENANGAN, DAN INSTRUMEN DALAM PENGELOLAAN LINGKUNGAN HIDUP

A.    Pengembangan Peraturan Perundang-undangan Lingkungan

1.      Peraturan Perundang-undangan Lingkungan Klasik

Konvensi-konvensi internasional, putusan-putusan pengadilan Internasional sebelum Deklarasi Stockholm 1972 dipandang sebagai rezim hukum lingkungan internasional klasik, sedangkan konvensi-konvensi internasional dan putusan-putusan Pengadilan Internasional setelah Deklarasi Stockholm dipandang sebagai rezim hukum lingkungan modern. Perbedaan pokok antara rezim hukum lingkungan klasikdengan rezim hukum lingkungan modern adalah terletak pada ruang lingkup dan pendekatannya. Rezim hukum lingkungan klasik berisikan ketentuan-ketentuan yang melindungi kepentingan sektoral, sedangkan ketentuan-ketentuan hukum lingkungan modern berdasarkan lintas sektoral atau komprehensive integral.
Peraturan perundang-undangan di bidang lingkunan hidup itu dapat dikelompokan dalam sembilan sektor usaha pemerintah pusat dan daerah, yaitu: Kependudukan/permukiman, Pertanian, Kehutanan, Kehewanan, Perikanan, Perairan, Pertambangan, Perindustrian, dan Kesehatan/Radiasi.
2.      Sejarah Singkat Pembentukan Undang-Undang Nomor 4 Tahun 1982

UU Nomor 4 tahun 1982 tentang ketentuan-ketentuan pokok pengelolaan lingkunan hidup (UULH) memang tidak lagi berlaku karena telah digantikan oleh UU No. 23 Tahun 1997 dan kemudian digantikan oleh UU Nomor 23 tahun 1997 (UULH 1997) juga dinyatakan tidak berlaku oleh UU No. 32 Tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup (LN tahun 2009, No 140), tetapi dalam buku ini UULH 1982 perlu dibahas secara singkat karena undang-undang itu merupakan undang-undang tentang lingkungan hidup pertama digunakan di Indonesia setelah munculnya kesadaran global dan nasional tentang arti penting pengelolaan lingkungan. Selain itu, UULH 1982 dapat dipandang seebagai undang0undang tentang pengelolaan lingkungan hidup pada masa modern karena memuat konsep-konsep dan instrumen-instrumen pengelolaan lingkungan hidup, misalkan mutu lingkungan hidup dan analisis mengenai dampak lingkungan yang tidak ditemukan dalam perundang-undangan klasik.

3.      Dari Undang-Undang Nomor 4 Tahun 1982 ke Undang-Undang Nomor 23 Tahun 1997 ke Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2009

UULH 1982 merupakan sumber hukum formal tingkat undang-undang yang pertama dalam konteks hukum lingkungan modern di Indonesia.  UULH 1982 memuat ketentuan-ketentuan hukum yang menandai lahirnya suatu bidang hukum baru, yakni hukum lingkungan karena ketentuan-ketentuan itu mengandung konsep –konsep yang sebelumnya tidak dikenal dalam bidang hukum.
Disamping itu, ketentuan-ketentuan UULH 1982 memberikan landasan bagi kebijakan pengelolaan lingkungan hidup. Setelah UULH tahun 1982 berlaku selama sebelas tahun ternyata oleh para pengambil kebijakan di pemerintah, khususnya di lingkungan Kantor Menteri Negara Lingkungan Hidup dan BAPEDAL, berpandangan, bahwa kegagalan dari kebijakan  pengelolaan lingkungan hidup di Indonesia akibat kelemahan penegakan hukum UULH 1982. Oleh karena itu pemerintah menyempurnakan UULH tersebut pada tahun 1997.
Perkembangan terbaru adalah pemerintah mengundangkan UU No. 32 Taun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup (LN Tahun 2009 No.140) yang menggantikan UULH 1997. UU ini secara normatif dan politik merupakan produk dari hak inisiatif DPR RI. Tetapi secara empiris peran Eksekutif, khususnya Kementrian Lingkungan Hidup sangat penting mempersiapkan RUUPPLH.
Setidaknya ada 4 alasan mengapa UULH 1997 perlu digantikan oleh UU yang baru, yaitu;
a.       UUD 1945 setelah perubahan secara tegas menyataka bahwa pembangunan ekonomi nasional diselenggarakan berdasarkan prinsip pembangunan berkelanjutan dan berwawasan lingkungan.
b.      Kebijakan otonomi daerah dalam penyelenggaraan pemerintah NKRI telah membawa perubahan hubungan dan kewenangan antara pemerintah dan pemerintah daerah termasuk di bidang perilndungan lingkungan hidup.
c.       Pemanasan global yang semakin meningkat mengakibatkan perubahan iklim sehingga memperparah penurunan kualitas lingkungan hidup.
d.      UULH 1997 sebagaimana 1982 memiliki celah-celah kelemahan normatif, terutama kelemahan kewenangan penegakan hukum administratif yang dimiliki Kementrian Lingkungan Hidup dan kewenangan penyidikan penyidik pejabat pegawai negeri sipil sehingga perlu penguatan dengan mengundangkan sebuah undang-undang baru guna peningkatan penegakan hukum.

B.     Konsep Pengelolaan Lingkungan Hidup dan Beberapa Pengertian Konsep Dalam Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2009.

Berbeda dengan Undang-Undang pnedahulunya yang hanya menggunakan istilah Pengelolaah Lingkungan Hidup pada penamaannya, UU No.32 Tahun 2009  diberi nama Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup. Dibandingkan dengan UULH 1982 dan UULH 1997, UPPLH memuat bab dan pasal lebu=ih banyak. UUPPLH terdiri atas XVII bab dan 127 pasal. UUPPLH memuat rumusan pengertian tentang konsep-konsep yang digunakan dalam batang tubuh undang-undang tersebut sebanyak 39 sebagaimana dirumuskan dalam pasal 1. Beberapa konsep atau istilah baru yang dirumuskan dalam UUPLH dan tidak ditemukan dalam UULH 1997 maupun UULH 1982 adalah kajian lingkungan hidup strategis, disingkat KLHS, kerusakan lingkungan hidup, perubahan iklim, bahan berbahaya dan beracun, pengelolaan limbah B3, dumping, audit lingkungan hidup, ekorefion, kearifan lokal, masyarakat hukum adat, instrumen ekonomi, ancaman serius, izin lingkungan.
Kajian lingkungan hidup strategis (KLHS) adalah “ rangkaian analisis sistematis, menyeluruh dan partisipatif untuk memastikan bahwa prinsip pembangunan berkelanjutan telah menjadi dasar dan terintegrasi dalam pembangunan suatu wilayah dan/atau kebijakan, rencana dan/atau program.”
Pengertian perubahan iklim dirumuskan dalam pasal 1 butir 19 yaitu “berubahnya iklim yang diakibatkan langsung atau tidak langsung oleh aktifitas manusia sehingga menyebabkan perubahan komposisi atmosfer secara global dan selain itu juga berupa perubahan komposisi atmosfer secara global dan selain itu juga berupa perubahan variabilitas iklim ilamiah yang teramati pada kurun waktu yang dapat dibandingkan.”
Pengertian lingkungan hidup sebagaimana dirumuskan Pasal 1 butir 1 adalah : “kesatuan ruang dengan semua benda, daya, keadaan, dan makhluk hidup, termasuk manusia dan perilakunya yang mempengaruhi alam itu sendiri, kelangsungan perikehidupan dan kesejahteraan manusia serta makhluk hidup lain.”
Pengertian pembangunan berkelanjutab, sebagaimana dirumuskan dalam pasal 1 butir 3 UUPPLH, adalah “ upaya sadar dan terncana, yang memadukan lingkungan hidup sosial, ekonomi ke dalam strategi pembangunan untuk menjamin keselamatan, kemampuan kesejahteraan dan mutu hidup generasi masa kini dan masa mendatang.”
Pengertian ekosistem sebagaimana dirumuskan dalam pasal 1 butir 5 adalah “ tatanan unsur lingkungan hidup yang merupakan kesatuan utuh menyeluruh dan saling mempengaruhi dalam membentuk keseimbangan, stabilitas dan produktivitas lingkungan hidup.”
Pengertian pelestarian fungsi lingkungan hidup dirumuskan dalam Pasal 1 butir 7, yaitu; “kemampuan lingkungan hidup untuk mendukung perikehidupan manusia, makhluk hidup lain dan keseimbangan antar keduanya.” Selanjutnya, konsep daya tampung lingkungan hidup dirumuskan sebagai berikut “ kemampuan lingkungan hidup untuk menyerap zat, energi, dan/atau komponen lain yang masuk atau dimasukan kedalamnya.” Konsep daya dukung lingkungan berguna dalam kaitannya dengan pengendalian pencemaran lingkungan hidup. Pengertian sumber daya alam dirumuskan Pasal 1 ayat 9 UUPPLH adalah, “unsur lingkungan hidup yang terdiri atas sumber daya alam,, baik hayati maupun non-hayati yang secara keseluruhan membentuk kesatuan ekosistem”.

C.    Asas dan Tujuan Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup

1.      Asas
UUPPLH didasarkan pada 14 asas, yaitu:
1.      Tanggung jawab negara
2.      Kelestarian dan keberlanjutan
3.      Keserasian dan keseimbangan
4.      Keterpaduan
5.      Manfaat
6.      Kehati-hatian
7.      Keadilan
8.      Ekoregion
9.      Keanekaragaman hayati
10.  Pencemar membayar
11.  Partisipatif
12.  Kearifan lokal
13.  Tata kelola pemerintahan yang baik
14.  Otonomi daerah
UUPPLH memuat lebih banyak asas dibandingkan UULH 1997 yang hanya memuat 3 asas pengelolaan  lingungan hidup, yaitu asas tanggung jawab negara, asas berkelanjutan, dan asas manfaat.  Pengertian atau makna dari ketiga asas ini tidak ditemukan dalam UULH. Dalam UULH 1982 pengelolaan lingkungan hidup “berasaskan pelestarian kemampuan lingkungan yang serasi dan seimbang untuk menunjang pembangunan yang berkesinambungan bagi peningkatan kesejahteraan manusia.

2.      Tujuan
Pasal 3 UUPPLH memuat tujuan perlindungan dan pengelolaan lingkungan hidup, yaitu:
1.      Melindungi wilayah NKRI
2.      Menjamin keselamatan, kesehatan dan kehidupan manusia
3.      Menjamin kelangsungan makhluk hidup dan kelestarian ekosistem
4.      Menjaga kelestarian fungsi lingkungan hidup
5.      Mencapai keserasian, keselarasan dan keseimbangan lingkungan hidup
6.      Menjamin terpenuhinya keadilan generasi masa kini dan generasi masa depan
7.      Menjamin pemenuhan dan perlindungan hak atas lingkungan hidup sebagian dari hak asasi manusia
8.      Mengendalikan pemanfaatan sumber daya alam secara bijaksana
9.      Mewujudkan pembangunan berkelanjutan
10.  Mengantisipasi isu lingkungan global







D.    Hak-hak dan kewajiban

1.      Pengakuan atas hak-hak lingkungan hidup

Bauik UUPPLH, UULH 1997 dan UULH 1982 sama-sama memuat hak setiap orang dalam kaitannya dengan lingkungan hidup. Tetapi jika dibandingkan antara ketiganya, UUPPLH memuat hak-hak lebih banyak daripada UULH 1997 dan UULH 1982. Ada 8 hak yang diakui dalam UUPPLH yaitu :
1.      Hak atas lingkungan hidup yang baik dan sehat sebagai hak asasi manusia
2.      Hak mendapat pendidikan linngkungan hidup
3.      Hak akses informasi
4.      Hak akses partisipasi
5.      Hak mengajukan usul atau keberatan terhadap rencana usaha atau kegiatan yang diperkirakan dapat menimbulkan dampak terhadap lingkungan hidup
6.      Hak untuk berperan dalam perlindungan dan pengelolaan lingkungan hidup
7.      Hak untuk melakukan pengaduan akibat dugaan pencemaran atau kerusakan lingkungan hidup
8.      Hak untuk tidak dapat dituntut secara pidana dan perdata dalam memperjuangkan hak-hak atas lingkungan hidup yang baik dan sehat
Diantara ke 8 hak itu adalah hak substantif dan hak prosedural. Hak ataslingkungan hidup yang baik dan sehat merupakan hak substantif, sedangkan hak akses informasi, akses partisipasi, hak berperan dalam perlingdungan dan pengelolaan lingkungan termasuk kedalam hak-hak prosedural. Perkembangan penting dan baru adalah hak yang dirumuskan dalam pasal 66 UUPPLH, yaitu hak setiap orang untuk tidak dapat dituntut secara perdata dan pidana. Penegasan pengakuan atas keberadaan hak untuk tidak dituntut dilatarbelakangi oleh adanya kasus warga yang melaporkan terjadinya pencemaran lingkungan justru kemudian dituntut telah melakukan pencemaran. Fakta ini tentu dapat membuaat orang enggan untuk menyuarakan hak-haknya dan terjadinya masalah lingkungan karena ia dapat dijadikan sasaran penuntutan atau gugatan.
UULH 1997 mengakui adanya 3 jenis hak lingkungan hidup yaitu : hak atas lingkungan hidup yang baik dan sehat, hak atas informasi lingkungan hidup dan hak untuk berperan dalam pengelolaan lingkungan hidup. Sebaliknya, dalam UULH 1982 tidak ditemukan adanya hak atas informasi lingkungan hidup.


2.      Kewajiban-Kewajiban Dalam Pengelolaan Lingkungan Hidup
UUPPLH menciptakan kewajiban-kewajiban sebagai berikut :
a.       Kewajiban memelihara kelestarian fungsi lingkungan hidup serta mengendalikan pencemaran dan/ atau kerusakan lingkungan hidup. (Pasal 67)
b.      Kewajiban bagi pelaku usaha untuk memberikan informasi yang terkait dan pengelolaan lingkungan hidup secara benar, akurat, terbuka dan tepat waktu/ (Pasal 68 Butir B),
c.       Kewajiban bagi pelaku usaha untuk menjaga keberlanjutan lingkungan hidup ( Pasal 68 Butir C),
d.      Kewajiban bagi pelaku usaha untuk menaati ketentuan baku mutu lingkungan hidup (Pasal 68 Butir C).


E.     Kewenangan pemerintah dalam pengelolaan lingkungan hidup

Dalam UUPPLH tidak lagi menggunakan konsep kewenangan negara, tapi kewenangan pemerintah yang dibedakan atas pemerintah, pemerintah propinsi, pemerintah kabupaten/kota. Perubahan konsep ini tampaknya didasarkan pada pertimbangan bahwa konsep negara lebih luas karena mencakup pemerintah, teritorial dan warga negara. Negara dijalankan oleh pemerintah sebagai sebuah organisasi kekuasaan negara.



Kewenangan pemerintah pada 3 tingkatan diformulasikan lebih rinci meliputi, diantaranya :
1.      Menetapkan kebijakan nasional
2.      Menetapkan norma-norma, standar, prosedur, dan kriteria.
3.      Menetapkan dan melaksanakan kebijakan mengenai RPPLH nasional.
4.      Menetapkan dan melaksanakan kebijakan mengenai KLHS.
5.      Menetapkan dan melaksanaka kebijakan mengenai UKL_UPL.
Kewenangan pemerintah, mengenai pemerintah kabupaten/kota yang dirumuskan secara rinci sebagaimana dirumuskan dalam pasal 63 ayat (1), (2) dan (3) UUPPLH pada dasarnya tidak tepat. Semestinya rumusan normatif dalam tingkatan UU bersifat abstrak, tetapi cukup mencakup kenyataan empiris yang ingin dijangkau. Lagipula penyebutan sejumlah kewenangan secara rinci tersebut ada yang tidak efisien, misalkan penyebuttan kewenangan penegakan hukum. Kalaupun kewenangan penegakan hukum itu tidak disebutkan dalam UUPPLH, pemerintah sudah semestinya memiliki kewenangan penegakan hukum karena kewenangan itu sudah inhern dengan pemerintah sesuai dengan teori-teori dalam ilmu negara atau ilmu politik, bahwa kewenanga penegakan hukum itu ada pada pemerintah sebagai salah satu unsur dari terbentuknya negara disamping terbentuknya negara disamping wilayan dan warga.

F.     Kelembagaan Pengelolaan Lingkungan Hidup

1.      Instansi-instansi Sektoral

UUPPLH tidak mengubah skema pemebagian pengelolaan lingkungan hidup sebagaimana diatur dalam UU sebelumnya, baik UULH 1982 maupun UULH 1997. Skema kelembagaan pengelolaan lingkungan hidup berdasarkan UUPPLH adalah bahwa kementrian-kementrian sektoral seperti Kementrian Perindustrian, Kementrian Kehutanan, Kementrian Sumber Daya Mineral, Kementrian Sumber Daya Mineral, Kementrian Pertanial dan lainnya tetap memiliki kewenangan pengelolaan lingkungan hidup dalam batas kewenangan mereka sebagaimana ditetapkan dalam UU sektoral mereka, sedangkan Kementrian Lingkungan Hidup melaksanakan tugas koordinasi di samping tugas-tugas pengelolaan lingkungan dalam batas-batas yang ditetapkan dalam UUPPLH.

2.      Kementrian Lingkungan Hidup

Kepres No.28 Tahun 1978 tanggal 2 September 1978 telah menetapkan kedudukan, tugas pokok, fungsi dan Tata Kerja dari tiga Menteri Negara yaitu Menteri Negara Penertiban Aparatur Negara, Menteri Negara Pengawasan Pembangunan dan Lingkungan Hidup, Menteri Negara Riset dan Teknologi. Pasal 1 ayat 3 menyebutkan tugas pokok menteri Negara Pembangunan dan Lingkungan Hidup (MENPLH), yaitu mengendalikan pengawasan pelaksanaan pembangunan dan mengenai hal-hal yang berhubungan dengan pegembangan lingkungan hidup. Dari bunyi konsiderans dapat diketahui perbedaan antara MENKLH dan BAPEDAL dalam hal tugas dan fungsinya,jika MENKLH menjalankan tugas dalam mengkoordinasikanpelaksanaan pengelolaan lingkungan hidup dan merumuskan kebijaksanaan pengelolaan lingkungan hidup pada umumnya, maka BAPEDAL menjalankan tugas operasional pengendalian dampak lingkungan hidup. BAPEDAL berkedudukan dibawah dan bertanggungjawab langsung kepada Presiden dan dipimpin oleh seorang Kepala. Tugas pokok BAPEDAL adalah membantu Presiden dalam melaksanakan pengendalian dampak lingkungan yang meliputi upaya pencegahan kerusakan, penanggulangan dampak serta pemulihan kualitas lingkungan sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku (pasal 2 Kepres No.23 Tahun 1990).





3.      Kelembagaan di Provinsi dan Kabupaten/Kota

Ketentuan tentang kewenangan dan kelembagaan di daerah dapat diketahui dari rumusan pasal 12 ayat (1) UULH 1997 yang menyatakan :
Untuk mewujudkan keterpaduan dan keserasian pelaksanaan kebijaksanaa nasional tentang pengelolaan lingkungan hidup, pemerintah berdasarkan peraturan perundang-undangan dapat :
a.       Melimpahkan wewenang tertentu pengelolaan lingkungan hidup kepada perangkat di wilayah;
b.      Mengikutsertakan peran pemerintah daerah untuk membantu pusat dalam pelaksanaan pengelolaan lingkungan hidup di daerah.
Berdasarkan Kepres NO. 77 Tahun 1994, tiap pemerintah dapat membentuk BAPEDAL Daerah (seterusnya disingkat BAPEDALDA) BAPEDALDA provinsi merupakan perangkat daerah yang bertugas membantu Gubernur dalam melakukan pembinaan dan koordinasi pelaksanaan pengendalian dampak lingkungan oleh BAPEDALDA-BAPEDALDA kabupaten/kota di wilayah provinsi yang bersangkutan.
Pemerintah provinsi memiliki kewenangan di bidang pengelolaan sebatas pada bidang yang didelegasikan oleh pemerintah kepada pemerintah provinsi. Oleh sebab itu, disetiap provinsi dibentuk Komisi Amdal untuk memeriksa dan memutus kalayakan dokumen-dokumen Amdal untuk kegiatan-kegiatan usaha yang izin usahanya dikeluarkan oleh Gubernur.

4.      Tingkat Kabupaten/Kota

Pada masa sebelum berlakunya UU No. 22 Tahun 1999 kemudian diganti oleh UU No. 32 Tahun 2004, Pemerintah Kabupaten/kota hanya berwenang mengeluarkan izin Hinder Ordonansi yang merupakan produk zaman Belanda. Pada tahun 1999 untuk merespons tuntutan daerah agar diwujudkan desentralisasi yang nyata dan luas oleh pemerintah telah mengundangkan UU No. 22 Tahun 1999 tentang pemerintah daerah. Selain itu, perlu diperhatikan pula perkembangan relatif baru menyangkut kelembagaan dengan keluarnya PP No. 8 Tahun 2003 tentang Pedoman Organisasi Perangkat Daerah.

G.    Instrumen Pengelolaan Lingkungan Hidup

Pasal 14 UUPPLH menyebutkan instrumen-instrumen pencegahan pencemaran dan kerusakan lingkungan hidup yang pada dasarnya adalah juga sebagai instrumen pengelolaan lingkungan hidup karena pengelolaan lingkungan hidup dimaksudkan juga untuk mencegah dan mengatasi masalah pencemaran dan kerusakan lingkungan hidup. Instrumen-instrumen yang disebut dalam Pasal 14 UUPPLH adalah:
1.      Kajian lingkungan hidupstrategis (KLHS)
2.      Tata ruang
3.      Baku mutu lingkungan hidup
4.      Kriteria baku kerusakan lingkungan hidup
5.      Amdal
6.      UKL-UPL
7.      Perizinan
8.      Instrumen ekonomi
9.      Peraturan perUUan berbasis lingkungan hidup
10.  Anggaran berbasis lingkungan hidup
11.  Analisis risiko lingkungan hidup
12.  Audit lingkungan hidup

Dari ke-12 instrumen itu dapat dibedakan atas instrumen kebijakan yang bersifat makro seperti KLHS, tata ruang, peraturan perUUan dan anggaran berbasis lingkungan dan instrumen-instrumen untuk individual kegiatan seperti perizinan, Amdal, UKL-UPL. Baku mutu merupakan instrumen yang berfungsi makro dan mikro kegiatan, misalkan untuk baku mutu ambien bersifat makro sedangkan baku mutu limbah bersifat individu.
1.      Rencana Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup (RPPLH)

Pasal 5 UUPPLH mengamanatkan agar pelaksanaan pegelolaan lingkungan hidup dilakukan melalui inventarisasi lingkungan hidup, penetapan wilayah ekoregion dan penyusunan Rencana Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup (RPPLH). RPPLH terdiri atas RPPLH nasional dibuat oleh Menteri Lingkungan Hidup berdasarkan inventarisasi nasional, RPPLH provinsi dibuat berdasarkan RPPLH nasional, inventarisasi tingkat pulau/kepulauan dan inventarisasi tingkat ekoregion, RPPLH tingkat kabupaten/kota dibuat berdasarkan RPPLH provinsi, inventarisasi tingkat pulau/kepulauan dan inventarisasi tingkat ekoregion. Menurut ketentuan UPPLH, RPPLH menjadi dasar penyusunan dan dimuat dalam rencana pembangunan jangkaa menengah. Hal ini juga membuktikan bahwa secara normatif, UUPPLH telah mengintegrasikan upaya pembangunan dengan pengelolaan lingkungan hidup sebagaimana menjadi ciri dari pembangunan berkelanjutan.

2.      Kajian Lingkungan Hidup Strategis

Pengertian Kajian Lingkungan Hidup (KLHS) sebagaimana dirumuskan dalam pasal 1 butir 10 UUPPLH adalah “rangkaian analisis sistematis, menyeluruh danpartisipatif untuk memastikan bahwa prinsip pembangunan berkelanjutan telah menjadi dasar dan terintegrasi dalam pembangunan suatu wilayah dan/kebijakan , rencana dan/program.”

3.      Baku Mutu Lingkungan Hidup
Pengertian baku mutu lingkungan hidup adalah ukuran batas atau kadar makhluk hidup, zat energi atau komponen lain yang ada atau harus ada dan/atau unsur pencemar yang ditenggang keberadannya dalam suatu sumber daya tertentu sebagai unsur lingkungan hidup.” Baku mutu lingkungan hidup merupakan  instrumen untuk mengukur terjadinya pencemaran lingkungan.
4.      Kriteria Baku Kerusakan Lingkungan Hidup

Pengertian kriterian baku buku mutu lingkungan hidup sebagaimana dirumuskan dalam pasal 1 butir 15 adalah “ukuran batas perubahan sifat fisik,kimia, dan/atau hayati lingkungan hidup yang dapat ditenggang oleh lingkungan hidup untuk dapat tetap melestarikannya.” Kriteria baku kerusakan lingkungan hidup merupakan instrumen untuk menetukan terjadinya kerusakan lingkungan hidup.

5.      Analisis Mengenai Dampak Lingkungan

a.      Pengertian

Amdal merupakan suatu upaya atau pendekatan untuk mengkaji apakah kegiatan pemanfaatan atau pengolahan sumber daya alam atau kebijakan pemerintah akan dan dapat menimbulkan dampak terhadap lingkungan hidup.

b.      Komisi Penilaian Amdal
Berbeda  dari UULH 1982 maupun UULH 1997 yang tidak mengatur soal Komisi Amdal, UUPPLH mangatur Komisi Amdal walau hanya secara umum saja. Berdasarkan UUPPLH, Komisi Komisi Penilaian Amdal yang dibentuk oleh Menteri Lingkungan Hidup, gubernur dan bupati/walikota bertugas menilai kelayakan dokumen Amdal. Berdasarkan Pasal 29 ayat (2) UUPPLH, Anggota Komisi Penilai Amdal wajib memiliki lisensi dari Menteri Lingkungan Hidup, Gubernur, Bupati/Walikota sesuai dengan lingkup kewenangannya.


 Berdasarkan Pasal 30 ayat (1) UUPPLH, keanggotaan Komisi Penilai Amdal terdiri atas wakil dari unsur-unsur berikut :
a.       Instansi lingkungan hidup
b.      Instansi teknis terkait
c.       Pakar di bidang pengetahuan yang terkait dengan jenis usaha dan/atau kegiatan yang sedang dikaji
d.      Pakar di bidang terkait dengan dampak yang timbul dari suatu usaha dan/atau kegiaitan yang sedang dikaji
e.       Wakil dari masyarakat yang berpotensi terkena dampak
Komisi penilai Amdal pada ketiga tingkatan dibantu oleh tim teknis yang terdiri atas pakar independen yang melakukan kajian teknis. Diperlukannya tim teknis karena pada faktanya orang-orang yang duduk dalam keanggotaan Komisi Penilai Amdal sering kali para pejabat struktural di tingkat Kabupaten/Kota yang tidak punya cukup waktu untuk membaca dokumen.

c.       UKL dan UPL

setiap usaha yang tidak termasuk dalam kriteria wajib Amdal wajib memiliki Upaya Pengelolaan Lingkungan (UKL) dan Upaya Pemantauan Lingkungan (UPL). Terdapat pengkategorian terhadap sebuah kegiata yang membuktikan betapapun kecilnya sebuah kegiatan usaha berkemungkinan untuk menimbulkan masalah lingkunngan. Ketentuan lebih lajut tentang pelaksanaan UKL-UPL serta surat pernyataan kesanggupan pengelolaan dan pemantauan lingkungan diatur dalam peraturan Menteri Lingkungan Hidup.




d.      Hubungan antara Amdal , UKL dan UPL dengan izin Lingkungan

Sejak berlakunya UUPPLH, Amdal tidak lagi menjadi persyaratan untuk memperoleh izin usaha, tetapi sebagai prasyarat untuk memperoleh izin lingkungan sebagaimana dinyatakandalam pasal 37 ayat (1). Demikian pula UKL dan UPL merupakan prasyarat untuk memperoleh izin lingkungan. Bahkan pejabat memberi izin lingkungan yang menerbitkan izin lingkungan tanpa dilengkapi dengan Amdal atau UKL dan UPL dapat diancam pidana sebagaimana dirumuskan dalam pasal 111 UUPPLH.

e.       Instansi yang Berwenang dan Instansi yang Bertanggung Jawab

Instansi yang berwenang adalah Menteri Sektoral yang berwenang memberikan keputusan izin usaha atau kegiatan misalkan Menteri Perindustrian untuk kegiatanindustri, Menteri Kehutanan untuk kegiatan pemanfaatan hutan. Instansi yang bertanggung jawab adalah instansi yang berwenang memberi keputusan tentang kelayakan lingkungan dari setiap rencana kegiatan. Instansi ynag bertanggung jawab untuk tingkat nasional adalah Kementrian Lingkungan Hidup sedangkan untuk tingkat daerah adalah Gubernur.

f.       Prosedur Penilaian Amdal
Ada 17 tata laksana penyusunan dan penilaian dokumen Amdal, diantaranya sebagai berikut :
1.      Pemrakarsa menyusun KA yang didasarkan pada pedoman yang ditetapkan oleh Kepala Instansi yang membidangi pengendalian dampak lingkungan hidup.
2.      Pemrakarsa menyampaikan KA di tingkat pusat kepada instansi yang bertanggung jawab BAPEDAL/Kementerian Lingkungan Hidup melalui Komisi Penilai Tingkat Pusat dan di Daerah kepada Gubernur melalui Komisi Penilai Tingkat Daerah.
3.      KA dinilai oleh Komisi Penilai dengan jangka waktu paling lama 75 hari kerja dan jika dalam waktu tersebut Komisi Penilai tidak mengeluarkan keputusan, maka instansi yang bertanggung jawab dianggap menerima KA


g.      Keterlibatan Masyarakat Dalam Amdal

Pelibatan masyarakat dalam proses Amdal tidak diatur dalam UULH 1997 karena memang UULH 1997 tidak mengatur secara rinci soal Amdal. Pasal 33 ayat 1 PP No. 27 Tahun 1999 mewajibkan instansi bertanggung jawab dan pemrakarsa untuk mengumumkan rencana kegiatan yang terkena wajib Amdal. Dalam jangka waktu 30 hari kerja sejak pengumuman, warga masyarakat yang berkepentingan berhak mengajukan saran, pendapat, dan tanggapan secara tertulis tentang rencana kegiatan itu kepada instansi yang bertanggung jawab. Instansi yang bertanggung jawab wajib mempertimbangkan dan mengkaji saran dan pendapat dari masyarakat. Tata cara dan bentuk pengumuman dan cara penyampaian pendapat dan tanggapan masyarakt ditetapkan oleh instansi yang bertanggung jawab.

6.      Izin Lingkungan

Izin merupakan instrumen hukum administrasi yang dapat digunakan oleh pejabat pemerintah yang berwenang untuk mengatur cara-cara pengusaha menjalankan usahanya. Dalam sistem UUPPLH 2009 terdapat berbagai jenis izin yang dapat dikategorikan sebagai perizinan di bidang pengelolaan lingkungan atas dasar kriteria bahwa izin-izin tersebut dimaksudkan atau berfungsi untuk pencegahan pencemaran atau gangguan lingkungan, pencegahan perusakan lingkungan akibat pengambilan sumber daya alam dan penataan ruang.


7.      Audit Lingkungan
Dengan adanya audit lingkungan, unsur pimpinan suatu usaha dapat memperoleh informasi tentang keefektifan atau tidaknya manajemen lingkungan badan usaha yang dipimpinnya.
Definisi audit lingkungan menurut Kep Men  LH No. 42/11/94 adalah suatu alat manajemen yang meliputi evaluasi secara sistematis, terdokumentasi, periodik dan objektif tentang bagaimana organisasi, sistem manajemen dan peralatan dengan tujuan memfasilitasi kontrol manajemen terhadap pelaksanaan uoaya pengelolaan lingkungan dan pengkajian pentaatan terhadap peraturan perUUan tentang pengelolaan lingkungan.
Audit lingkungan dalam UUPPLH yang ditemukan dalam Pasal 48 hingga Pasal 5 yang bersifat sukarela. Sedangkan dalam UULH 1997 dapat bersifat wajib sebagaimana diatur dalam Pasal 29 ayat (1), (2) dan (3).

8.      Instrumen Ekonomi Lingkungan Hidup

Dalam UUPPLH pengaturan instrumen ekonomi terdapat dalam dua pasal dengan beberapa ayat, yaitu Pasal 42 dan 43. Pemerintah saat ini sedang mempersiapkan Peraturan Pemerintah tentang Instrumen Ekonomi Lingkungan. Dalam draf PP ini antara lain mengatur pelaksanaan dari kompensasi lingkungan, implementasi internalisasi biaya lingkungan, kewajiban pemegang izin lingkungan untuk penyediaan dana jaminan pemulihan lingkungan, dana tanggap darurat penanggulangan pencemaran dan/atau kerusakan lingkungan hidup, penerapan pajak, retribusi dan subsidi lingkungan.




9.      Analisis Risiko Lingkungan
Dalam UUPPLh analisis resiko lingkungan diatur hanya dalam satu pasal, yaitu pasal 47. Badan yang saat ini telah menggunakan analisis risiko lingkungan adalah pelepasan dan peredaran Produk Rekayasa Genetik.

BAB III
PENGATURAN PENGENDALIAN PENCEMARAN LINGKUNGAN HIDUP

A.    Pengantar
Pencemaran lingkungan hidup dapat terjadi dalam bentuk pencemaran air (sungai dan danau), pencemaran laut, pencemaran udara dan kebisingan. Salah satu dari beberapa sumber pencemaran laut, sebagaimana ditetapkan dalam the Third United Nation Convention on the Law of the Sea (UNLOS III), adalah kegiatan di daratan. Sumber pencemaran air dari daratan terdiri dari kegiatan sektor industri, kegiatan sektor pertanian, permukiman atau perkotaan.limbah dari sumber-sumber ini masuk kedalam saluran air, sungai-sungai dan akhirnya berakhir ke lautan sehingga dapat menimbulkan pencemaran laut.

B.     Baku Mutu Lingkungan Hidup

Pengertian BMLH dirumuskan dalam pasal 1 angka 13 UUPPLH yaitu ukuran batas atau kadar makhluk hidup, zat, energi atau komponen yang ada atau harus ada dan/atau unsur pencemar yang ditenggang adanya dalam suatu sumber daya tertentu sebagai unsur lingkungan hidup.

Baku mutu limbah cair atau baku mutu air limbah untuk beberapa kegiatan atau sumber telah dituangkan dalam keputusan Menteri Negara Lingkungan Hidup, diantaranya yaitu:
1.      Kep Men LH No. 51 /MenLH/10/1995 bagi kegiatan industri
2.      Kep Men LH No. 52 /MenLH/10/1995 bagi kegiatan hotel
3.      Kep Men Lh No. 58/MenLH/10/1995 bagi kegiatan rumah sakit

C.    Perizinan Pengendalian Pencemaran Lingkungan Sebelum Berlaku UUPPLH

Dalam bab ini perlu diuraikan izin lingkungan sebagaimana diamanatkan oleh Pasal 123 UUPPLH : segala izin di bidang pengelolaan lingkungan hidup yang telah dikeluarkan menteri, gubernur, atau bupati/walikota sesuai dengan kewenangannya wajib diintegrasikan dalam izin lingkungan paling lama 1 tahun sejak undang-undang ini ditetapkan. Izin-izin lingkungan terbut meliputi :
1.      Izin usaha industri
2.      Izin lokasi
3.      Izin Hinder Ordonantie (HO)
4.      Izin pembuangan air limbah
5.      Izin pemanfaatan air limbah untuk aplikasi pada tanah
6.      Izin dumping
7.      Izin pengoprasian pengolahan limbah bahan berbahaya dan beracun (B3)

D.    Izin Pengendalian Pencemaran Lingkungan Berdasarkan UUPPLH

Yang dimaksud izin pengendalian pencemaran lingkungan dalam buku ini adalah izin lingkungan yang dirumuskan dalam pasal 1 butir 35 UUPPLH, tetapi berbatas pada izin yang memuat persyaratan-persyaratan lingkungan yang diberlakukan atas kegiatan-kegiatan yang dapat menimbulkan pencemaran lingkungan.

E.     Pengendalian Pencemaran Air
Upaya pengendalian pencemaran air di Indonesia mula-mula diatur dalam PP No. 20 Tahun 1990.pada tanggal 14 Desember 2001 Pemerintah telah mengundangkan PP No. 82 tentang Pengen Pengelolaan Kualitas Air dan Pengendalian Pencemarab Air yang mencabut berlakunya PP No. 20 Tahun 1990.

F.     Pengendalian Pencemaran Udara
Pengendalian pencemaran udara diatur dalam sejumlah perangkat hukum, yaitu PP No. 41 Tahun 1999 tentang Pengendalian Pencemaran udara (LN Tahun 1999 No. 86) dan PP No. 4 Tahun 2001 tentang Pengendalian Kerusakan dan/atau Pencemaran Lingkungan Hidup yang Berkaitan Dengan Kebakaran Hutan dan/atau Lahan (LN Tahun 2001 No. 10).


BAB IV
PENGATURAN PEMANFAATAN SUMBER DAYA ALAM DAN PENGENDALIAN PERUSAKAN LINGKUNGAN HIDUP

A.    Pengantar
Ketentuan-ketentuan hukum yang mengatur pengelolaan, termasuk di dalamnya perlindungan terhadap sumber daya alam dapat ditemui pada beberapa peraturan-peraturan perundang-undangan. Beberapa perangkat hukum yang akan dibahas disini adalah tentang pengelolaan hutan, konservasi sumber daya alam hayati, perlindungan air, sumber daya hayati kelautan, sumber daya ikan.

B.     Pengelolaan Hutan

UU No. 41 Tahun 1999 merumuskan pengertian Hutan sebagai berikut “Hutan ialah suatu kesatuan ekosistem berupa hamparan lahan berisi sumber daya alam hayati yang didominasi pepohonan dalam persekutuan alam lingkungannya yang satu sama lainnya r=tidak dapt dipisahkan.”
Pemanfaatan hutan pada kawasan hutan produksi dapat terjadi antara lain dalam bentuk kegiatan-kegiatan berikut : pemanfaatan kawasan, pemanfaatan jasa lingkungan, pemanfaatan hasil hutan kayu, pemanfaatan hasil hutan bukan kayu, pemungutan hasil hutan kayu, dan pemungutan hasil hutan bukan kayu, kegiatan-kegiatan ini memerlukan izin yaitu :
a.       Izin usaha pemanfaatan kawasan
b.      Izin pemanfaatan jasa lingkungan pada kawasan hutan produksi
c.       Izin usaha pemanfaatan hasil hutan kayu
d.      Izin pemanfaatan hasil hutan bukan kayu
e.       Hak pengusahaan tanaman industri
Rehabilitasi hutan dan lahan dilakukan dengan tujuan untuk memulihkan, mempertahankan dan meningkatkan fungsi hutan dan lahan sehingga fungsi daya dukung, produktifitas, sistem penyangga kehidupan dapat terjaga. Bentuk-bentuk rehanilitasi hutan adalah reboisasi, penghijauan, pemeliharaan, pengayaan tanaman atau penerapan teknik konservasi tanah secara vegetatif dan sipil teknis pada lahan kritis dan tidak produktif.



C.    Konservasi Sumber Daya Alam Hayati dan Ekosistemnya

Konservasi sumber daya alam dan ekosistemnya berasaskan pelestarian kemampuan dan pemanfaatan sumber daya alam hayati dan ekosistemnya secara serasi dan seimbang” (Pasal 2). Tujuan konservasi sumber daya alam hayati dan ekosistemnya sebagaimana dinyatakan dalam Pasal 3 UU No. 5 Tahun 1990 adalah mengusahakan terwujudnya kelestarian sumber daya alam hayati serta keseimbangan ekosistemnya sehingga dapat lebih mendukung upaya peningkatan kesejahteraan masyarakat dan mutu kehidupan manusia.

D.    Perlindungan Sumber Daya Alam Hayati di Laut

Pengaturan sumber daya alam hayati di laut terdapat dalam UU No. 5 Tahun 1983 tentang zona ekonomi eksklusif indonesia dan PP No. 15 Tahun 1984 tentang pengelolaan sumber daya alam hayati si ZEE Indonesia. Konservasi mengandung pengertian adanya usaha pemanfaatan terhadap sumber daya alam hayati laut, tetapi juga adanya usaha untuk mencegah terjadinya pengirasan sumber daya alam sehingga sumber daya alam tetap tersedia. Tentang perizinan penangkapan ikan di ZEE Indonesia diatur dalam Bab IV PP No. 15 Tahun 1984.

E.     Perlindungan Sumber Daya Ikan

Tentang perlindungan sumber daya ikan dapat ditemui dalam UU No. 9 Tahun 1985 tentang perikanan. UU ini berisikan tentang ketentuan-ketentaun tentang pengelolaan, pemanfaatan, pembinaan dan pengembangan sumber daya ikan di dalam wilayah perikanan Indonesia, penyerahan urusan dan tugas pembantuan di bidang perikanan.

F.     Pengelolaan Sumber Daya Air

Ada berbagai faktor penyebab terancamnya sumber-sumber air tawar, pertama pencemaran atmosfer bumi mengakin=batkan terjadinya pemanasan permukaan bumi. Kedua, pembabatan hutan, terutama di kawasan hutan lindung yang mengakibatkan tidak adanya resapan air.
UU No. 7 Tahun 2004 tentang sumber daya air (L.N. Tahun 2004 No. 32) terdiri atas 100 pasal yang disistematisasikan ke dalam 18 bab. Sebagaimana UU lain yang berkaitan dengan sumber daya alam UU No. 7 Tahun 2004 tentang sumber daya air mendasarkan pada konsep penguasaan negara atas sumber daya air.


BAB V
PENEGAKAN HUKUM LINGKUNGAN DAN PENYELESAIAN SENGKETA LINGKUNGAN

A.    Pengertian dan Lingkup Penegakan Hukum Lingkungan
Hukum lingkungan adalah sebuah bidang cabang hukum yang memiliki kekhasan yang oleh Drupsteen disebut sebagai bidang hukum fungsional, yaitu didalamnya terdapat unsur-unsur hukum administrasi, hukum pidana dan hukum perdata.





B.     Hukum Lingkungan Administrasi

1.      Pengawasan

Di dalam UUPPLH, pengawasan diatur dalam pasal 71 hingga pasal 74. Selain terdapat persamaan, juga ditemukan perbedaan ketentuan-ketentuan tentang pengawasan antara UULH 1997 dengan UUPPLH. Kemenenterian Lingkungan Hidup sedang menyiapkan dan membahas RPP tentang Pengawasan dan Sanksi Administratif. Dalam UU No. 41 Tahun 1999 tentang kehutanan dapat ditemukan ketentuan tentang pengawasan di bidang kehutanan sebagaimana dirumuskan dalam pasal 59-64. Dalam UU No. 7 Tahun 2004 tentang sumber daya air dapat ditemukan ketentuan tentang pengawasan dalam pasal 75. Pasal 75 ayat (2) menyebutkan bahwa pemerintah dan pemerintah daerah sesuai dengan wewenang dan tanggung jawab melaksanakan pengawasan terhadap seluruh proses dan hasil pelaksanaan pengelolaan sumber daya air pada setiap wilayah sungai dengan melibatkan masyarakat
.
2.      Sanksi-sanksi Hukum Lingkungan Administrasi

Sanksi hukum administrasi adalah sanksi-sanksi hukum yang dapat dijatuhkan oleh pejabat pemerintah tanpa melalui proses pengadilan terhadap seseorang atau kegiatan usaha yang melanggar ketentuan hukum lingkungan administrasi. UUPPLH memuat empat jenis sanksi hukum administrasi, sebagaimana tercantum dalam pasal 76 ayat (2) yaitu teguran tertulis, paksaan pemerintah, pembekuan izin lingkungan dan pencabutan izin lingkungan. UUPPLH memuat teguran tertulis sedangkan UULH 1997 tidak memuat sanksi tertulis.



3.      Penegakan Hukum Lingkungan Melalui Gugatan Tata Usaha Negara

Di Indonesia pada umumnya Gugatan Tata Usaha Negara yang diperkirakan tidak sejalan atau bertentangan dengan peraturan perundang-undangan lingkungan diajukan oleh Lembaga Swadaya Masyarakat, seperti dalam kasus Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (WALHI) lawan Sekretaris Jenderal Departemen Pertambangan dan Energi si Pengadilan Tata Usaha Negara Jakarta dengan nomor putusan 600/6115/SJT/1995. Gugatan ini diajukan pada masa berlakunya UULH 1982.

C.    Hukum Lingkungan Hidup Pidana

1.      Delik Lingkungan Hidup

Delik lingkungan adalah perintah dan larangan undang-undang kepada subjek hukum yang jika dilanggar diancam dengan penjatuhan sanksi-sanksi pidana, antara lain pemenjaraan dan denda, dengan tujuan untuk melindungi lingkungan hidup secara keseluruhan maupun unsur-unsur dalam lingkungan hidup seperti satwa, lahan, udara, dan air serta manusia.
Sanksi pidana di dalam hukum lingkungan mencakup dua macam kegiatan, yakni perbuatan mencemari lingkungan dan perbuatan merusak lingkungan. Dalam sistem hukum Indonesia, sanksi-sanksi yang digunakan pada pelaku mencemari lingkungan dan perbuatan merusak lingkungan terdapat dalam sejumlah UU yaitu : UU No. 32 Tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup (UUPPLH), UU No. 5 Tahun 1994 tentang Perindustrian, dan UU No. 5 Tahun 1990tentang Konservasi Sumber Daya Alam Hayati dan Ekosistemnya dan UU No. 41 tahun 1999 tentang Kehutanan.


2.      Delik Lingkungan Hidup Dalam UU Nomor 32 Tahun 2009

Rumusan ketentuan piidana dalam UU No. 32 Tahun 2009 (UUPPLH) merupakan pengembangan dan revisi terhadap rumusan ketentuan pidana dalam UULH 1997 dan UULH 1982. Jika UULH 1982 hanya memuatrumusan ketentuan pidana yang bersifat materiil, maka UULH 1997 memuat rumusan delik materiil dan juga delik formil. Delik materiil adalah delik atau perbuatan yang dilarang oleh hukum yang dianggap sudah terpenuhi apabila perbuatan itu telah menimbulkan akibat. Delik formil adalah delik atau perbuatan yang dilarang oleh hukum yang sudah dianggap sempurna atau terpenuhi begitu perbuatan itu dilakukan tanpa mengharuskan adanya akibat dari perbuatan.

3.      Sanksi Pidana Dalam UU No. 5 Tahun 1990

Sanksi pidana dalam UU No. 5 Tahun 1990 terdapat dalam Pasal 40, yang berbunyi sebagai berikut :
1)      Barang siapa dengan sengaja melakukan pelanggaran terhadap ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 19 ayat (1) dan Pasal 33 ayat (1) dipidana dengan pidana penjara paling lama sepuluh tahn dan denda paling banyak Rp.200.000.000,00
2)      Barang siapa dengan sengaja melakukan pelanggaran terhadap ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 21 ayat (1) dan ayat (2) serta Pasal 33 ayat (3) dipidana penjara paling lama 5 tahun dan denda paling banyak Rp100.000.000,00
3)      Barangsiapa karena kelalaiannya melakukan pelanggaran terhadap ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 19 ayat (1) dan Pasal 33 ayat (1) dipidana dengan pidana kurungan paling lama 1 tahun dan denda paling banyak Rp.100.000.000,00
4)      Barangsiapa karena kelalaiannya melakukan pelanggaran terhadap ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 21 ayat (1) dan ayat (2) serta pasal 33 ayat (3) dipidana dengan pidana kurungan paling lama 1 tahun dan denda paling banyak Rp 50.000.000,00

4.      Sanksi Pidana Dalam UU No. 5 Tahun 1984

Sanksi pidana UU No. 5 tentang perindustrian terdapat dalam pasal 27. Berdasarkan pasal 27 ayat (1), sanksi pidana penjara selama-lamanyanya 10 tahun dan atau denda sebanyak-banyaknya Rp. 100.000.000,00 dapat dikenakan kepada mereka yang dengan sengaja telah melanggar ketentuan Pasal 21 UU No. 5 Tahun 1984. Menurut Pasal 27 ayat 2, sanksi pidana kurungan selama-lamanya 1 tahun dan denda sebanyak-banyaknya Rp 1.000.000,00 dapat dikenakan kepada mereka yang karena kelalaian telah melanggar ketentuan Pasal 27 ayat (1).

5.      Sanksi Pidana Dalam UU No. 41 Tahun 1999

Ketentuan yang berupa larangan-larangan yang dapat diancam pidana dengan sanksipidana yang dirumuskan dalam pasal 38 ayat (4), Pasal 50 ayat (1), (2), dan (3) UU No.41 Tahun 1999 sedangkan ancaman pidananya disebutkan dalam pasal 78. UU No 41 Tahun 1999 juga menganut pertanggungjawaban korporasi. Bahkan UU No. 41 Tahun 1999 memuat rumusan yang lebih maju dibandingkan UU No.23 Tahun 1997. UU No. 41 Tahun 1999 dengan tegas menyabutkan, bahwa pengurus badan usaha, abik secara sendiri-sendiri maupun bersama-sama dapat dijatuhkan hukuman pidana yang diperberat sepertiga dari ancaman yang dijatuhkan. Sebaliknya UU No.23 Tahun 1997, para pengurus badan usaha tidak dengan sendirinya dapat dituntut jika mereka memenuhi unsur sebagai pemimpin atau pemberi perintah dalam perbuatan terlarang.



D.    Penegakan Hukum Lingkungan Melalui Gugatan Perdata

Di Indonesia, gugatan perdata sebagai sarana penegakan hukum lingkungan juga dilakukan berdasarkan konsep perbuatan melawan hukum sebagaimana dirumuskan dalam pasal 1365 BW. Gugatan perdata sebagai upaya penegakan hukum lingkungan pertama kali dilakukan oleh WALHI melawan PT IIU, Menteri perindustrian, Menteri Kehutanan, Menteri Dalam Negeri, Menteri Lingkungan Hidup dan Gubernur Privinsi Sumatra Utara di Pengadilan Negeri Jakarta Pusat.
Selain gugatan perdata sebagai sarana penegakan hukum dilakukan oleh warga atau LSM juga dapat dilakukan oleh pemerintah. Dalam UULH 1997, kewenangan pemerintah melakukan gugatan perrdata diatur dalam Pasal 37 ayat (2), sedangkan dalam UUPPLH kewenangan itu dirumuskan dalam Pasal 90 ayat (1).

E.     Penyelesaian Sengketa Lingkungan Hidup

Sengketa lingkungan hidup adalah perselisihan antara dua pihak atau lebih yang timbul sehubungan dengan pemanfaatan sumber daya alam. Sumber daya alam disamping memberikan manfaat juga dapat menimbulkan kerugian pada kelompok lain. Sengketa lingkungan berkisar pada kepentingan-kepentingan yang bersifat ekonomi, misalnya hilangnya mata pencaharian dan pemerosotan kualitas atau nilai ekonomi atau kebendaan, dan juga berkaitan dengan kepentingan-kepentingan non ekonomi sifatnya. Misalnya terganggunya kesehatan, kegiatan rekreasional, keindahan dan kebersihan lingkungan.




F.     Penyelesaian Sengketa Lingkungan Hidup Berdasarkan UU Nomor 32 Tahun 2009
Sebagian besar ketentuan-ketentuan penyelesaian sengketa lingkungan UUPPLH mengadopsi ketentuan-ketentuan dalam UULH 1997. Penyelesaian sengketa lingkungan hidup dalam UUPPLH diatur dalam Pasal 87 hingga Pasal 93. Menurut UUPPLH penyelesaian sengketa lingkungan hidup dapat ditempuh secara seukarela melalui dua pilihan mekanisme, yaitu mekanisme proses pengadilan dan mekanisme di luar pengadilan. Jika para pihak telah sepakat untuk memilih mekanisme diluar pengadilan, maka gugatan keperdataan melalui pengadilan hanya dapat ditempuh jika mekanisme di luar  pengadilan dinyatakan tidak berhasil oleh salah satu pihak atau para pihak.

1.      Penyelesaian Sengketa Melalui Pengadilan
Penyelesaian sengketa lingkungan hidup melalui pengadilan bermula dari adanya gugatan dari pihak yang merasa dirugikan terhadap pihak lain yang dianggap penyebab kerugian itu. UUPPLH menyediakan dua bentuk tuntutan yang dapat diajukan oleh penggugat, yaitu meminta ganti rugi dan meminta tergugat untuk melakukan tindakan tertentu.

2.      Gugatan Perwakilan
UULH 1997 maupun UUPPLH mengenal gugat perwakilan kelompok. UULH 1997 memuat pengertian dari gugatan perwakilan, sebagaimana dirumuskan dalam penjelasan Pasal 37 ayat (1) adalah hak kelompok kecil masyarakat untuk bertindak mewakili masyarakat dalam jumlah besar yang dirugikan atas dasar kesamaan permasalahan fakta, hukum dan tuntutan. Jadi, menurut konsep gugatan perwakilan kelompok terdapat dua unsur penggugat yaitu (1) wakil kelompok yang jumlahnya kecil, mungkin satu atau beberapa orang dan (2) anggota kelompok yang mungkin jumlahnya puluhan, ratusan atau ribuan. Sebaliknya UUPPLH tidak memuat pengertian atau gugatan perwakilan kelompok baik dalam batang tubuh maupun penjelasan Pasal.
Meski UULH 1997 mengakui keberadaan gugatan perwakilan dan juga memuat pengertiannya, tetapi tidak mengatur lebih lanjut bagaimana cara gugatan perwakilan ini diajuka ke pengadilan, sedangkan hukum acara yang berlaku tidak mengatur hal itu.
3.      Peran Saksi Ahli Dalam Pembuktian Perkara Lingkungan Hidup
Saksi ahli dalam proses pengadilan kasus-kasus lingkungan diperlukan untuk memperjelas hal-hal berikut :
a.       Hubungan sebab akibat aktivitas dengan peristiwa pencemaran dan perusakan lingkungan hidup
b.      Teknologi pengendali pencemaran
c.       Pelanggaran baku mutu, kriteria baku perusakan lingkungan
d.      Kerugian
e.       Ganti kerugian

4.      Pilihan Penyelesaian Sengketa Lingkungan Hidup

Bentuk-bentuk penyelesaian sengketa adalah sebagai berikut :
a.       Negosiasi adalah suatu cara penyelesaian sengketa dimana para pihak yang berbeda kepentingan mengadakan perundingan langsung, tanpa perantaraan atau bantuan pihak lain. Para pihak mengadakan tawar-menawar tentang bentuk penyelesaian sengketa.
b.      Konsiliasi adalah cara penyelesaian sengketa dimana para pihak meminta bantuan dari pihak lain yang netral guna membantu para pihak yang bersengketa dalam mencarikan bentuk penyelesaian sengketa.
c.       Mediasi adalah cara penyelesaian sengketa di mana para pihak meminta bantuan dari pihak lain yang netral guna membantu pihak yang bersengketa dalam mencari bentuk penyelesaian sengketa. Pihak ketiga itu tidak mempunyai kewenangan untuk mengambil suatu putusan, tetapi hanya berwenang memberikan bantuan atau aran yang berhubungan dengan soal-soal prosedural dan substansial. Dengan demikian, putusan akhir tetap di tangan para pihak yang bersengketa.
d.      Arbitrasi adalah cara penyelesaian sengketa di mana para pihak yang bersangkutan menyerahkan pertiakaian mereka itu kepada pihak lain yang netral guna mendapatkan keputusan yang menyelesaikan sengketa.
e.       Pencari fakta adalah cara penyelesaian sengketa di mana para pihak menyerahkan pertiakaian mereka kepada pihak lain yang biasanya terdiri dari para pakar untuk mencari fakta yang berkaitan dengan sengketa. Para pencari fakta mempunyai kewenangan untuk memberikan rekomendasi tentang cara penyelesaian sengketa yang bersangkutan.
Akan tetapi, menurut Simkin secara konseptual tidak ada perbedaan pokok antara konsiliasi, mediasi dan pencari fakta. Menurut Simkin, dalam pengertian yang lebih luas, definisi mediasi meliputi pula konsiliasi dan pencarian fakta, perbedaan pokok hanya dapat dilihat antara mediasi dengan arbitrasi. Dalam proses mediasi, seorang mediator tidak mempunyai kewenangan untuk membuat keputusan guna menyelesaikan sengketa.
Sebaliknya dalam proses arbitrasi, seorang arbitor mempunyai kewenangan untuk emmbuat suatu keputusan guna menyelesaikan pokok sengketa.

Komentar

  1. ijin kopi untuk tugas ya mbak. terimaksih sangat membantu sekali

    BalasHapus
  2. makasi Lenny, Lenny baik deh.....

    BalasHapus
  3. kak bantu ak ya kak ,aku ada tugas nih soal sejarah hukum lingkungan hidup di indonesia .tolong kakak yg cantik dan manis baik hati ini mohon kesedian nya tolong bantu saya ini email saya nanangnovrian@gmail.com

    BalasHapus
  4. terimakasih yaaa :) sangat membantu

    BalasHapus
  5. Komentar ini telah dihapus oleh pengarang.

    BalasHapus

Posting Komentar

Postingan Populer