Makalah Ketimpangan Fiskal Vertikal dan Pengelolaan DAU yang Tepat Untuk Menyerap Aspirasi Masyarakat



BAB I
PENDAHULUAN

1.1  Latar Belakang Masalah
Reformasi yang digulirkan di negeri ini memberikan arah perubahan yang cukup besar terhadap tatanan pemerintahan di Indonesia. Salah satu perubahan tersebut adalah lahirnya kebijakan otonomi daerah yang mengatur hubungan pemerintah pusat dengan pemerintah daerah. Kebijakan tersebut memberikan angin segar terhadap kejumudan sistem sentralistik yang  dinilai tidak adil dalam pelaksanaan pembangunan. Otonomi daerah memberikan pelimpahan kewenangan dari pemerintah pusat kepada pemerintah daerah untuk mengatur urusan pelayanan dan pelaksanaan pembangunan sesuai dengan peraturan perundangan yang berlaku. Kebijakan ini memberikan ruang bagi pemerintah daerah dalam membangun dan mengembangkan daerahnya secara mandiri.
Lahirnya Undang- undang Nomor 22 Tahun 1999 dan kemudian diganti dengan Undang- undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah merupakan kebijakan yang mengatur tentang otonomi daerah. Otonomi daerah merupakan salah satu instrumen yang dinilai efektif dalam pelaksanaan pemerataan pembangunan di tiap daerah, yang harapanya  terjadi efisiensi dan keefektifan dalam pelaksanaan pemerintahan di daerah serta mampu menjadi solusi atas ketimpangan antar daerah yang dianggap sebagai dampak dari sistem sentralistik yang kurang adil. Kebijakan tersebut memberikan kesempatan kepada daerah dalam menjalankan fungsi pelayanan dan pelaksanaan pembangunan dalam mengejar ketertinggalannya dari daerah lain sesuai dengan kewenangan yang diaturnya.
Implikasinya  terhadap daerah adalalah menjadikan daerah memiliki peran yang penting dalam mengatasi  masalah pemerataan pembangunan dan pengelolaan kepemerintahan secara mandiri. Sebagai pelaksana utama pembangunan didaerahnya daerah memiliki kewajiban dalam melaksanakan program- program pembangunan yang memiliki dampak terhadap kesejahteraan masyarakatnya. Hal ini sesuai dengan amanat dalam Undang- undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintah Daerah yang mengamanatkan bahwa Daerah memiliki kewenangan dalam mengelola daerahnya sendiri secara mandiri dan bertanggung jawab terhadap kepentingan masyarakatnya. Daerah diberikan kewenangan dalam mengelola daerahnya sendiri secara mandiri dan mampu memenuhi kepentingan masyarakat setempat sesuai peraturan perundangan. Pada prinsipnya kebijakan otonomi daerah ini adalah untuk mendukung pembangunan nasional di negeri ini demi tercapainya pemerataan kapasitas daerah dari berbagai aspek. Pemerintah daerah menyelenggarakan urusan pemerintahan yang menjadi kewenangannya dalam menjalankan otonomi seluas- luasnya  berdasarkan asas otonomi dan tugas pembantuan. Hubungan antara pemerintah pusat, pemerintah provinsi dan pemerintah kabupaten kota saling terkait, tergantung dan sinergis sebagai suatu sistem pemerintahan.
Salah satu wujud pelaksanaan otonomi daerah ini adalah dengan adanya otonomi dalam aspek pengelolaan keuangan daerah yang disebut otonomi fiskal atau desentralisasi fiskal. Pemerintah daerah diberikan sumber- sumber keuangan untuk menyelenggarakan urusan pemerintahan yang menjadi kewenangan pemerintah daerah.
Desentralisasi fiskal memberikan kewenangan kepada daerah untuk mengelola keuangan daerahnya.  Daerah diberikan kewenangan dalam menggali sumber- sumber penerimaan sesuai dengan potensi yang dimiliki.  Undang- undang Nomor 25 tahun 1999 tentang perimbangan keuangan antara pemerintah pusat dan daerah yang kemudian diganti dengan UU No 33 Tahun 2004 tentang Perimbangan Keuangan Pusat dan Daerah  mengatur hubungan keuangan antara pemerintah pusat dengan pemerintah daerah[[1]]. Kebijakan tersebut mengatur kewenangan daerah dalam menggali pendapatan asli daerah dan dana transfer dari pemerintah pusat.  Tetapi kebebasan yang diberikan melalui kebijakan tersebut mengakibatkan banyaknya ketimpangan yang terjadi antara pemerintah pusat dan pemerintah daerah.


1.2 Rumusan Masalah
Adapun rumusan masalah yang akan dikemukakan oleh penyusun adalah sebagai berikut:
1.    Mengapa terjadi ketimpangan fiskal vertikal ?
2.    Apa saja instrumen yang dapat mengurangi ketimpangan fiskal vertikal ?
3.    Bagaimana pengelolaan DAU yang tepat untuk menyerap aspirasi masyarakat ?

1.3 Tujuan Penulisan
1.    Sebagai syarat untuk memenuhi kriteria penilaian mata kuliah Politik Keuangan Daerah.
2.    Untuk mengetahui sebab-sebab terjadinya ketimpangan fiskal vertikal.
3.    Untuk mengetahui apa saja instrumen yang dapat mengurangi ketimpangan fiskal vertikal.
4.    Untuk mengetahui bagaimana pengelolaan DAU yang tepat untuk menyerap aspirasi masyarakat.












BAB II
ISI

Kecenderungan yang terjadi di banyak negara berkembang adalah proses penguatan pemerintah daerah atau desentralisasi, yang di Indonesia lebih dikenal lewat upaya untuk mewujudkan otonomi daerah. Salah satu kegiatan dalam rangka pelaksanaan otonomi daerah tersebut adalah desentralisasi di bidang keuangan atau desentralisai fiskal. Dari sisi pemerintah, ada 2 hal utama yang menjadi bahasan sehubungan dengan adanya otonomi daerah yakni kebutuhan fiskal (fiscal needs) dan kapasitas fiskal (fiscal capacity) yang keduanya dapat dikaitkan dalam upanya mengoptimalkan Pendapatan Asli Daerah (PAD) dan menjadi isu persaingan ekonomi antar daerah. Selisih dari kebutuhan fiskal dan kapasitas fiskal yang disebut fiscal gap ini yang akan menjadi patokan dalam menentukan besarnya transfer dari pusat. Optimalisasi potensi PAD turut disinggung di sini sehubungan dengan perannya terhadap Anggaran Pendapatan Belanja Daerah (APBD) dan pelaksanaan UU No. 34/2000 sebagai penguatan PAD.
Kesenjangan fiskal (fiscal gap) merupakan selisih negatif antara kebutuhan fiskal dengan kapasitas fiskal dianggap sebagai kebutuhan yang harus ditutup melalui transfer Pemerintah Pusat. Sehingga solusi untuk kesenjangan fiscal adalah memperbanyak kapasitas fiscal. Ide dasarnya adalah untuk Daerah yang memiliki kapasitas fiskal relatif lebih besar dibanding kebutuhan fiskalnya, maka DAU yang dialokasikan seyogyanya tidak terlalu besar. Sebaliknya Derah yang memiliki kebutuhan fiskal relatif lebih tinggi terhadap kapasitas fiskalnya, membutuhkan DAU yang relatif besar pula agar mereka tetap dapat menyediakan pelayanan dasar yang cukup baik. Jadi kapasitas fiskal ini dapat dianggap sebagai wakil kemampuan suatu Daerah di dalam melaksanakan semua kewenangan wajibnya dalam pelaksanaan pemerintahan maupun pembangunan Daerahnya.


2.1 Kebutuhan Fiskal
Setiap daerah (subnation) mesti menyediakan pelayanan publik minimum kepada masyarakat yang berada di wilayahnya, tanpa memandang apakah mereka itu penduduk tetap atau pendatang. Banyak daerah yang menanggung beban tanggung jawab fiskal yang berat karena memiliki banyak penduduk miskin, atau proporsi penduduk anak-anak dan orang tuanya tinggi. Lalu, daerah-daerah dengan wilayah amat luas dan penduduk tersebar misalnya, mesti menanggung pengeluaran yang besar untuk konstruksi dan pemeliharaan jalan. Ini semua mencerminkan besarnya kebutuhan fiskal karena biaya dalam penyediaan pelayanan publik menjadi tinggi ataupun cakupan dari program-program yang mesti dilaksanakan oleh daerah menjadi luas. Jadi, pada dasarnya kebutuhan fiskal adalah kebutuhan daerah untuk membiayai semua pengeluarannya dalam rangka menjalankan fungsi/kewenangan daerah menyediakan pelayanan publik (expenditure needs).
2.2 Estimasi Kebutuhan Fiskal
Untuk menghitung atau mengukur kebutuhan fiskal yang sebenarnya dari suatu daerah bukanlah hal yang mudah. Persoalan biasanya muncul karena ketidaklengkapan data, ataupun kekaburan beberapa fungsi dari pemerintah daerah yang bersangkutan. Pada garis besarnya, ada dua pendekatan yang digunakan dalam
mengukur kebutuhan fiskal suatu daerah. Pendekatan pertama membagi engeluaran dari pemerintah daerah atas berbagai kategori berbeda, dan memperkirakan kebutuhan pemerintah yang bersangkutan terhadap masing-masing kategori. Jumlah seluruh kebutuhan dari masing-masing kategori ini merupakan kebutuhan fiskal dari daerah bersangkutan. Namun cara ini sangat membutuhkan data dan informasi yang relatif lengkap dan akurat. Ini masih sulit untuk dipenuhi terutama di negara-negara berkembang. Oleh karena itu, perkiraan kebutuhan fiskal disini biasa dilakukan lewat pendekatan yang lebih sederhana tanpa harus melibatkan banyak variabel dan mengurangi kebutuhan informasi yang substansial. Dalam pendekatan yang pertama tersebut, langkah awal yang dilakukan adalah membagi pengeluaran/belanja daerah atas beberapa kategori. Yang umum biasanya adalah: pendidikan, kesehatan, transportasi, telekomunikasi, kesejahteraan sosial, polisi dan pemadam kebakaran, pemeliharaan lingkungan, dan jasa-jasa lainnya. Pembagian ini tentu saja cenderung bervariasi antar negara tergantung kepada kewenangan/fungsi yang dimiliki oleh daerah. Namun yang dikemukakan tersebut diatas adalah fungsi-fungsi yang lazimnya berada di tangan daerah. Kategorisasi ini juga bergantung kepada ketentuan penganggaran di masing-masing negara dan ketersediaan data. Misalnya, transportasi dan telekomunikasi bisa saja digabungkan, polisi dan pemadam kebakaran dipisahkan (atau polisi dihapuskan karena di Indonesia bukan merupakan kewenangan pemerintah daerah), pendidikan dibagi atas pendidikan dasar, menengah, dan tinggi, dan seterusnya. Apabila pengukuran kebutuhan fiskal ini dalam rangka membuat formula transfer dana perimbangan, maka banyak negara yang memperhitungkan kebutuhan pengeluaran rutin dengan juga memasukkan biaya pemeliharaan proyek-proyek. Biaya proyek-proyek baru biasanya dikeluarkan karena selain jumlahnya cenderung besar, juga sulit untuk mencari indikator kebutuhannya. Selain itu manfaatnya cenderung bersifat jangka panjang, sehingga akan bertentangan dengan benefit principle dari perpajakan apabila biaya proyek tersebut sepenuhnya dibiayai dari sumber perpajakan saat ini. Langkah kedua adalah menghitung kebutuhan (biaya) pengeluaran dari masing-masing kategori, dan menjumlahkan semuanya untuk memperoleh kebutuhan fiskal daerah.

2.3 Kapasitas Fiskal

Kapasitas Fiskal adalah sumber pendanaan daerah yang berasal dari PAD dan Dana Bagi Hasil. Mengutip Peraturan Menteri Keuangan Nomor 73/PMK.02/2006 tentang Peta Kapasitas Fiskal Dalam Rangka Penerusan Pinjaman Luar Negeri Pemerintah Kepada Daerah Dalam Rangka Hibah, yang dimaksud dengan kapasitas fiscal adalah gambaran kemampuan keuangan daerah yang dicerminkan melalui pendapatan daerah (tidak termasuk dana alokasi khusus, dana darurat dan penerimaan lain yang penggunaannya dibatasi untuk membiayai pengeluaran tertentu) dikurangi dengan belanja pegawai serta dikaitkan dengan jumlah penduduk miskin.
Mengenai kapasitas fiskal ini, satu isu yang perlu untuk diingat adalah bahwa penggunaan pendapatan aktual daerah sebagai ukuran kapasitas fiskalnya ternyata kurang baik. Sebab, ini akan menyebabkan transfer dari pusat ke daerah banyak dipengaruhi oleh upaya perpajakan (tax effort) daerah. Dengan demikian, daerah-daerah akan terdorong untuk tidak bersusah payah menghimpun pendapatan (under-collect) agar bisa memperoleh transfer yang banyak dari pusat. Alasannya cukup jelas, semakin gencar daerah menghimpun penerimaan pajak dari sumber-sumbernya, semakin tinggi ukuran kapasitas fiskalnya, dan semakin kecil transfer yang akan diterimanya.
Di Indonesia dewasa ini, yang dimasukkan ke dalam kapasitas fiskal adalah termasuk bagi hasil perpajakan dan bagi hasil sumber daya alam, yang bagi sebagian daerah jumlahnya amat signifikan. Sementara penerimaan dari pajak dan retribusi daerah yang membentuk penerimaan asli daerah (PAD) relatif masih belum begitu besar jumlahnya. Jadi, “ketentuan” umum bahwa kapasitas fiskal selayaknya independen dari tax effort daerah amat ditentukan dari sumbersumber penerimaan yang diarahkan kepada daerah tersebut, sehingga tujuan pemerataan dari transfer bisa dipenuhi.
Untuk meningkatkan kapasitas fiskal daerah (fiscal capacity) tidak hanya menyangkut peningkatan PAD. Peningkatan kapasitas fiskal pada dasarnya adalah optimalisasi sumber-sumber penerimaan daerah. Oleh karena itu tidak perlu dibuat dikotomi antara PAD dengan dana perimbangan. Namun juga perlu dipahami bahwa peningkatan kapasitas fiskal bukan berarti anggaran yang besar jumlahnya. Anggaran yang besar namun tidak dikelola dengan baik (tidak memenuhi prinsip value for money) justru akan menimbulkan masalah, misalnya dengan terjadinya kebocoran anggaran. Yang terpenting adalah optimalisasi anggaran karena peran pemerintah daerah nantinya bersifat sebagai fasilitator dan motivator dalam menggerakkan pembangunan di daerah.[[2]]

2.4 Desentralisasi fiskal
Dalam peraturan perundang-undangan yang mengatur mengenai regulasi pelaksanaan otonomi daerah di Indonesia disebutkan bahwa desentralisasi fiskal adalah penyerahan kewenangan fiskal dari pemerintah pusat kepada pemerintahan daerah. Pelaksanaan desentralisasi fiskal merupakan salah satu implementasi dari pelaksanaan konsep otonomi daerah di Indonesia.
Pada awalnya pelaksanaan otonomi daerah di Indonesia diatur dengan Undang-Undang Nomor 22 Tahun 1999 tentang Pemerintahan Daerah dan pengaturan mengenai desentralisasi fiskal diatur dalam Undang-Undang Nomor 25 tahun 1999 tentang Perimbangan Keuangan antara Pusat dan Daerah. Berdasarkan pengaturan tersebut, dilaksanakan sejumlah kebijakan seperti pengalokasian Dana Bagi Hasil dari ekstraksi sumber daya alam yang dieksploitasi di daerah tersebut dan Dana Alokasi Umum yang dialokasikan untuk membiayai urusan pemerintahan yang telah didelegasikan serta pemberian otoritas pemungutan pajak kepada daerah yang masih bersifat terbatas.
Perubahan regulasi yang mengatur mengenai pelaksanaan otonomi daerah melalui Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah dan regulasi yang mengatur mengenai desentralisasi fiskal melalui Undang-Undang Nomor 33 Tahun 2004 tentang Perimbangan Keuangan, kemudian merubah kebijakan desentralisasi fiskal di Indonesia. Perubahan kebijakan desentralisasi fiskal di Indonesia selain disebabkan lambatnya reformasi pajak di daerah juga disebabkan oleh adanya tuntutan kebutuhan daerah terhadap kebutuhan fiskal yang semakin membesar.
2.5 Kesenjangan Fiskal (fiscal gap) dan Dana Alokasi Umum

Banyak studi yang menunjukkan bahwa potensi timbulnya ketidakmerataan antar daerah dengan pelaksanaan desentralisasi cukup besar. Potensi pajak daerah yang tidak merata dan distribusi sumber daya alam yang juga tidak seimbang menuntut adanya satu sumber signifikan yang paling tidak bisa mengurangi ketimpangan horisontal tersebut. Tujuan untuk pemerataan ini akan lebih jelas jika mengamati penentuan formula untuk membagi DAU ke seluruh daerah. Pada garis besarnya, untuk setiap daerah dilihat potensi/kapasitas fiskal dan kebutuhan pengeluarannya. Selisih dari kebutuhan dan kapasitas ini, yang hampir pasti akan positif, merupakan kesenjangan fiskal (fiscal gap) dari masing-masing daerah yang merefleksikan ketidakmerataan tersebut.
Fiscal gap inilah yang seyogyanya ditutup oleh DAU, karena dengan demikian pemerataan (dalam arti setiap daerah bisa membiayai setiap kebutuhan dasar di wilayahnya) dapat terpenuhi. Tentu saja di sini asumsinya adalah bahwa pengukuran atau perkiraan mengenai potensi dan kebutuhan masing-masing daerah sudah dilakukan secara cermat. Jadi, hubungan antara kapasitas dengan kebutuhan daerah yang menjadi dasar perumusan DAU tersebut harus jelas. Sebab, secara umum semestinya mudah dimengerti bahwa daerah-daerah yang relatif sudah (lebih) maju cenderung mampu untuk berdiri sendiri, sehingga hanya sedikit saja bantuan pusat yang diperlukan. Untuk Indonesia, daerah-daerah yang lebih maju ini adalah yang memiliki potensi penerimaan pajak yang besar karena intensitas aktivitas ekonominya yang tinggi, atau pun yang memiliki kekayaan sumber daya alam. Sehingga dengan demikian daerah yang akan menerima DAU besar seyogyanya adalah daerah yang kapasitas fiskalnya kecil dibandingkan kebutuhan riil daerahnya, dan seterusnya.
Isu yang mencuat dewasa ini terkait dengan DAU adalah keluhan dari beberapa daerah (terutama provinsi) bahwa jumlahnya tidak mencukupi sedemikian sehingga sebagian kebutuhan belanja pegawai tidak terpenuhi. Ini perlu diungkapkan karena sesungguhnya keluhan-keluhan tersebut cenderung bermula dari salah kaprah daerah bahwa DAU itu dimaksudkan juga untuk membiayai seluruh belanja pegawai daerah.
Lalu, apabila ingin dilakukan perbandingan, maka seyogyanya adalah antara seluruh belanja rutin dengan DAU dan sumber penerimaan lainnya (yakni PAD dan Bagi Hasil). Mungkin perlu disosialisasikan kepada daerah bahwa “kekurangan dana” baru akan menjadi masalah apabila DAU dan Bagi Hasil jumlahnya sama atau lebih kecil dari Belanja Rutin (pegawai – nonpegawai, lama – baru). Sebab, kondisi ini dapat mengganggu kelancaran penyelenggaraan pemerintahan daerah. Selain itu, kekurangan DAU banyak dikeluhkan oleh provinsi karena memang desain formula dilakukan dengan asumsi bahwa otonomi berada di kabupaten/kota, sehingga beban untuk provinsi tidak akan terlalu berat. Tambahan lagi, sesuai UU No. 25/1999, untuk provinsi memang hanya akan kebagian 10% dari total DAU.


2.6 Prinsip desentralisasi fiskal
a)    Otonomi.
Ini merupakan prinsip yang mendasari desentralisasi fiskal, apakah suatu negara itu berbentuk federal maupun kesatuan. Intinya adalah bahwa pemerintah daerah harus memiliki independensi dan fleksibilitas dalam menentukan prioritas-prioritas mereka. Tidak boleh ada pembatasan yang sedemikian ketat sehingga sebagian besar keputusan di daerah harus mengikuti atau mengacu kepada ketentuan pusat. Pajak-pajak dimana daerah bisa ikut memungut diatas tingkat yang ditetapkan pusat (piggyback), bagi hasil (revenue-sharing) berlandaskan formula, ataupun transfer yang bersifat umum (block-grant) adalah sumber-sumber penerimaan daerah yang konsisten dengan tujuan tersebut.
b)    Penerimaan yang Memadai (Revenue Adequacy).
Pemerintah daerah semestinya memiliki pendapatan (termasuk transfer) yang cukup untuk menjalankan segala kewajiban atau fungsi yang diembannya.
c)    Keadilan (Equity).
Besarnya dana transfer dari pusat ke daerah ini seyogianya berhubungan positif dengan kebutuhan fiskal daerah dan, sebaliknya, berkebalikan dengan besarnya kapasitas fiskal daerah yang bersangkutan.
d)    Transparan dan Stabil.
Formula transfer mesti diumumkan sehingga dapat diakses masyarakat. Hal yang lebih penting lagi adalah bahwa setiap daerah dapat memperkirakan berapa penerimaan totalnya (termasuk transfer), sehingga memudahkan penyusunan anggaran. Formula tersebut juga seyogianya dipakai untuk jangka menengah (misalnya 3-5 tahun), agar perencanaan jangka menengah dan panjang dapat dilakukan oleh daerah.


e)    Sederhana (Simplicity).
Alokasi dana kepada pemerintah daerah semestinya didasarkan pada faktor-faktor obyektif dimana unit-unit individual tidak memiliki kontrol atau tidak dapat mempengaruhinya. Disamping itu juga formula yang dipakai seyogianya relatif mudah untuk dipahami.

f)     Insentif.
Desain dari transfer ini harus sedemikian sehingga memberikan semacam insentif bagi daerah dengan manajemen fiskal yang baik, dan sebaliknya menangkal praktik-praktik yang tidak efisien. Dengan demikian, tidak perlu ada transfer khusus/spesifik untuk membiayai defisit anggaran pemerintah daerah, atau ada semacam kontrol terhadap belanja daerah.

Prinsip-prinsip dari desentralisasi fiskal tersebut adalah mengacu pada prinsip money folow functions, dimana pemerintah daerah mendapat kewenangan dalam melaksanakan fungsi pelayanan dan pembangunan di daerahnya. Pemerintah pusat memberikan dukungan dengan menyerahkan sumber- sumber penerimaan kepada daerah untuk dikelola secara optimal agar mampu membiayai daerahnya dalam melaksanakan tugas dan fungsinya. Disamping pemerintah pusat juga memberikan dana transfer yang dapat dikelola daerah dalam pembiayaan penyelenggaraan pemerintahan daerah. Tujuannya adalah untuk mengatasi ketimpangan fiskal dengan pemerintah pusat dan antar pemerintah daerah lainnya.
Untuk meminimilaisir ketergantungan Pemerintah Daerah kepada Pemerintah Pusat melalui dana transfer tersebut, daerah dituntut dapat mengoptimalkan kemampuannya dalam menggali potensi pendapatannya. Sumber- sumber pendapatan asli daerah tersebut berupa: pajak daerah, retribusi daerah, laba usaha milik daerah dan pendapatan lain yang sah. Undang- undang No. 33 tahun 2004 tentang Perimbangan Keuangan Antara Pemerintah Pusat Dengan Daerah mengamanatkan bahwa daerah boleh meningkatkan pendapatan asli daerahnya sesuai dengan peraturan perundangan yang berlaku. Kemudian dengan ditetapkannya Undang- undang Nomor 28 Tahun 2009 tentang Pajak dan Retribusi Daerah menyempurnakan pelaksanaan desentralisasi fiskal dengan adanya tambahan terhadap sumber- sumber penerimaan daerah dalam bentuk pajak dan retribusi daerah. Kebijakan tersebut pada dasarnya semakin memperluas daerah untuk menggali sumber- sumber pendapat asli daerahnya dari komponen- komponen pajak dan retribusi daerah.
Pada prinsipnya kebijakan desentralisasi fiskal mengharapkan ketergantungan daerah terhadap pusat berkurang, sehingga mampu mencapai kemandirian daerah sebagaimana tercapainya tujuan otonomi itu sendiri.  
Menurut Halim (2007), ketergantungan kepada bantuan pusat harus seminimal mungkin, sehingga Pendapatan Asli Daerah (PAD) harus menjadi sumber keuangan terbesar yang didukung oleh kebijakan perimbangan keuangan pusat dan daerah. Sejalan dengan Waluyo, (2007) yang mengatakan bahwa idealnya semua pengeluaran daerah dapat dipenuhi dengan menggunakan Pendapatan Asli Daerah (PAD) sehingga daerah dapat benar- benar otonom, tidak lagi tergantung ke pemerintah pusat.
Dengan demikian Pendapatan Asli Daerah (PAD) memiliki peran yang sangat sentral dalam membiayai pelaksanaan pemerintahan daerah. Dalam UU Nomor 33 Tahun 2004 tentang Perimbangan Keuangan Antara Pusat Daerah disebutkan bahwa PAD bertujuan memberikan kewenangan kepada pemerintah Daerah untuk mendanai pelaksanaan otonomi daerah sesuai dengan potensi daerah sebagai perwujudan desentralisasi.
Santosa dan Rahayu (2005) menyebutkan bahwa PAD sebagai salah satu peneriamaan daerah mencerminkan tingkat kemandirian daerah. Semakin besar PAD maka menunjukan bahwa daerah mampu melaksanakan desentralisasi fiskal dan ketergantungan terhadap Pemerintah Pusat berkurang. Namun demikian kebijakan- kebijakan desentralisasi fiskal yang ada tidak sertamerta dapat membangun kemandirian daerah dengan cepat. Landiyanto (2005) dalam penelitiannya tentang Kinerja Keuangan Dan Strategi Pembangunan Kota Di Era Otonomi Daerah Di Kota Surabaya menemukan bahwa ketergantungan daerah terhadap pusat masih tinggi karena belum optimalnya penerimaan dari PAD dan belum optimalnya pendapatan/laba BUMD.
Sampai saat ini potensi pendapatan asli daerah masih menitikberatkan pada perolehan pajak dan retibusi daerah. Butuh waktu yang lama untuk membangun kemandirian daerah dalam membiayai anggaran pengeluaran belanja daerah minimal belanja pegawainya. Sampai saat ini ketergantungan daerah terhadap pemerintah pusat melalui dana perimbangan masih cukup besar. Kawung (2008) meneliti kemampuan keuangan Daerah Provinsi Sulawesi Utara masih rendah yakni sebesar 30,66% terhadap penerimaan daerah, yang artinya peranan PAD masih kurang dan perlu ditingkatkan. Dari uraian diatas menunjukan bahwa kemampuan keuangan daerah yang direpresentasikan dari pendapatan asli daerah (PAD) masih menitik beratkan pada komponen pajak dan retribusi. Kemampuan PAD dalam mengurangi ketergantungan masih perlu di teliti dalam perannya mengakomodasi pembiayaan belanja daerah minimal belanja rutinnya. Kapasitas PAD sebagai salah satu indikator pembentuk kemandirian sebuah daerah perlu di teliti dan dievaluasi selama perjalanan desentralisasi fiskal di negeri ini.

2.7 Manfaat dan Kelemahan Desentralisasi Fiskal

Menurut Bahl, pelaksanaan kebijakan desentralisasi fiskal memiliki beberapa manfaat. Manfaat pelaksanaan desentralisasi fiskal, antara lain: efisiensi ekonomis dan adanya peluang untuk meningkatkan penerimaan pajak yang bersumber dari pajak daerah.
Masih menurut Bahl, disebutkan pula bahwa desentralisasi fiskal juga memiliki beberapa kelemahan, antara lain akan membuat pemerintah pusat memilki kontrol yang lemah terhadap perkembangan ekonomi makro, kesulitan dalam menerapkan kebijakan yang terkait dengan stabilitas ekonomi dan kesulitan dalam menerapkan kebijakan pemerataan pembangunan ekonomi serta akan mengakibatkan membengkaknya biaya yang harus ditanggung pemerintah daerah yang jauh lebih besar daripada keuntungan yang bisa didapatkannya.
Terlepas dari berbagai tantangan yang akan dijumpai dalam pelaksanaan desentralisasi fiskal di Indonesia, penerapan desentralisasi fiskal sesungguhnya dapat meningkatkan kualitas pelayanan publik di daerah. Oleh karena pemberian kewenangan dan tanggungjawab lebih kepada daerah dapat mendorong dan membuka ruang gerak yang lebih besar bagi pemerintah daerah dalam memberikan pelayanan yang lebih cepat karena memangkas jalur birokrasi. Selain itu, mendekatkan anggaran kepada masyarakat di daerah akan meningkatkan partisipasi masyarakat dalam melakukan pengawasan dan membuat perencanaan penganggaran yang sesuai dengan kebutuhan yang nyata.
Pelaksanaan desentralisasi fiskal yang selama ini mengiringi pelaksanaan otonomi daerah di Indonesia pada dasarnya masih memiliki berbagai kekurangan dan kelemahan. Diantaranya adalah masih terdapat sejumlah regulasi (peraturan) yang bertentangan dengan peraturan lainnya, masih sering ditemukan adanya perebutan kewenangan dalam mengelola fiskal di daerah, serta masih sering ditemukan adanya perbedaan pemahaman dan penafsiran terhadap bentuk atau implementasi kebijakan desentralisasi fiskal di Indonesia.[[3]]

Dalam perjalanannya, Pemerintah Indonesia terus mereformulasi dana perimbangan. Sehingga sampai saat ini instrumen desentralisasi fiskal di Indonesia yang dilakukan dengan transfer dana ke daerah melalui :
1.    DAU, dengan  prinsip alokasi murni DAU kepada daerah berdasar celah fiskal.
2.    DAK,  dengan penyerahan urusan pusat yang dikelola Kementerian / Lembaga ke daerah dimana pada tahun 2008 ada  11 Bidang, kemudian tahun 2010 ada 13 bidang dan tahun 2011 menjadi 19 bidang.
3.    DBH, non pajak (SDA) dan Pajak. DBH non pajak (SDA) di Papua/NAD lebih banyak dibanding daerah lain karena UU Otonomi Khusus. Sedangkan Kapasitas fiskal melalui DBH pajak diatur dengan UU  28/2009 tentang Pajak Daerah dan Retribusi Daerah, PBB yang tadinya dikelola pusat diserahkan ke Kabupaten/Kota.
4.        Dalam APBN 2010 terdapat formula baru dana insentif bagi daerah berkinerja baik dengan Award (competitive budget) yaitu daerah dengan kinerja keuangan, ekonomi dan kesejahteraan yang dalam tiga tahun sebelumnya. [[4]]




2.8 Tujuan kebijakan desentralisasi fiskal

Kebijakan desentralisasi fiskal sebagaimana tertuang dalam Undang-undang No. 32 tahun 2004 dan Undang-undang No. 33 tahun 2004 bertujuan untuk :
  1. Menyelaraskan dengan kebijakan ketahanan fiskal yang berkesinambungan (fiscal sustainable).
  2. Memperkecil ketimpangan antara pemerintah pusat dan pemerintah daerah (vertical imbalance).
  3. Mengoreksi ketimpangan antar daerah dalam kemampuan keuangan (horizontal imbalance).
  4. Meningkatkan akuntabilitas, efektivitas dan efisiensi dalam rangka peningkatan kinerja pemerintah daerah.
  5. Meningkatkan kualitas pelayanan kepada masyarakat, dan
  6. Meningkatkan partisipasi masyarakat dalam pengambilan keputusan di sektor publik (demokrasi).
Secara konseptual, tujuan desentralisasi fiskal adalah untuk mengurangi beban pemerintah pusat dalam bidang urusan pelayanan kepada masyarakat, agar tercapai pelayanan masyarakat yang efektif dan efisien, penggunaan sumberdaya yang lebih efisien, pemantapan perencanaan pembangunan, peningkatan partisipasi masyarakat, dan peningkatan persatuan dan kesatuan, serta lebih meningkatkan pendemokrasian. Dalam konteks dengan pelayanan publik di atas, maka belanja pembangunan akan menjadi sorotan utama karena sifatnya yang langsung menyentuh pada peningkatan kualitas pelayanan. Sebelum diberlakukannya desentralisasi fiskal, belanja daerah sebagian besar ditentukan oleh pemerintah pusat. Namun dalam era desentralisasi fiskal, alokasi transfer dana dari pusat kepada daerah sebagian besar bersifat bebas atau tidak ditentukan penggunaannya. Strategi pengalokasian belanja pembangunan oleh pemerintah daerah sangat ditentukan pada kepentingan dan kebutuhan daerah.
Pembahasan diatas menggarisbawahi berbagai alasan/tujuan ekonomi dari program dana transfer antar tingkat pemerintahan. Tujuan-tujuan tersebut seyogianya dipakai sebagai acuan untuk mendesain sistem atau model transfer bagaimana yang akan diterapkan. Berikut adalah beberapa kriteria umum yang biasa digunakan di banyak negara di dunia.


Desentralisasi fiskal merupakan salah datu cara ataupun instrumen yang digunakan oleh pemerintah dalam mengelola pembangunan guna mendorong perekonomian daerah maupun nasional (pusat). Desentralisasi fiskal memiliki tujuan untuk mengurangi ketimpangan fiskal merintah pusat dan pemerintah daerah, mengurangi ketimpangan fiskal antar daerah, menjamin fiscal sustainabily di daerah.

Salah satu dasar untuk menentukan besar transfer dari pusat ke daerah adalah kesenjangan fiskal (fiscal gap) yang dialami oleh daerah-daerah. Ini merupakan selisih dari kebutuhan fiskal dengan kapasitas fiskal daerah-daerah yang bersangkutan.


Dalam mencapai tujuannya tersebut desentralisasi fiskal memiliki instrumen yaitu, Pajak Daerah, Bagi Hasil, dan Subsidi ( DAU dan DAK). Ketiga instrument dalam desentralisasi fiskal diharapkan mampu mengurangi ketimpangan fiskal yang terjadi, tetapi tidak seluruh dari instrumen tersebut mampu mengurangi ketimpangan fiskal yang terjadi dan mampu mendorong pertumbuhan ekonomi disetiap daerah.


Instrumen yang dapat mengurangi ketimpangan fiskal vertikal

Instrumen yang dapat mengurangi ketimpangan fiskal vertikal (vertical fiscal imbalane) adalah

·         Pajak Daerah

Pajak Daerah adalah iuran wajib yang dilakukan oleh orang pribadi atau badan kepada Daerah tanpa imbalan langsung yang seimbang, yang dipaksakan berdasarkan peraturan perundang-undangan yang berlaku, yang digunakan untuk membiayai penyelenggaraan pemerintahan Daerah dan pembangunan Daerah. Setiap daerah pasti memiliki sumber PAD yang berbeda oleh karena itu pemerintah pusat memberikan kewenangan kepada pemerintah daerah untuk menerapkan jenis pajak yang disetiap daerah. Dari pengetian diatas maka dapat dikatakan bahwa pemerintah daerah memiliki kewenangan untuk memungut pajak daerahnya masing-masing dengan tidak bertentangan dengan Undang-Undang dan dengan persetujuan Pemerintah Pusat agar tidak terjadi ketimpangan fiscal antar pusat dan daerah. Dengan kata lain instrument desentralisasi fiscal dalam hal pajak daerah mampu mengurangi vertical fiscal imbalance (ketimpangan fiscal vertical)

·         Dana Bagi Hasil

Dana Bagi Hasil mampu mengurangi vertical fiscal imbalance hal ini dapat dilihat bahwa bagi hasil merupakan pemberian sebagian pendapatan nasional dari suatu sumber tertentu kepada daerah dimana pendapatan itu diperoleh. Untuk mengurangi ketimpangan vertikal (vertical imbalance) antara Pusat dan Daerah dilakukan sistem bagi hasil penerimaan pajak dan bukan pajak antara pusat dan daerah. Pola bagi hasil penerimaan ini dilakukan dengan persentase tertentu yang didasarkan atas daerah penghasil.


·         Subsidi (DAU,DAK).

Begitu juga dengan Subsidi (DAU,DAK) dapat mengurangi ketimpangan fiscal vertical karena akan memberikan pemertaan kepada setiap daerah dari pemberian DAU dan DAK. Setiap daerah yang belum mampu memenuhi kebutuhannya makan pemerintah pusat akan memberikan Dana alokasi tersebut.
Sebagai contoh, hampir seluruh daerah yang ada di Indonesia diberikan kewenangan oleh pusat dalam mengurusi keuangan daerahnya, baik dalam pajak daerah, bagi hasil dan subsidi agar ketimpangan fiskal antar pusat dan daerah tidak terjadi begitu besar.

Pengelolaan DAU yang Tepat untuk Menyerap Aspirasi Masyarakat

Dalam konteks Otonomi Daerah, Dana Alokasi Umum (DAU) atau disebut juga block grants merupakan komponen dari dana perimbangan antar tingkat pemerintah.  DAU merupakan komponen yang besar sebagai pembentuk anggaran pemerintah daerah. Melihat besarnya peran DAU sebagai sumber pembiayaan daerah, maka diperlukan cara perhitungan jumlah dana yang akan dialokasikan, metode distribusi dan mekanisme administrasi yang tepat. Perhitungan jumlah dana yang dialokasikan perlu disusun dengan tepat untuk menciptakan efisiensi penggunaannya sehingga pemberian DAU tepat sasaran sesuai dengan tujuannya. Selain itu, metode distribusi dan mekanisme administrasi harus jelas dan transparan untuk menghindari praktek manipulasi dalam pendistribusiannya.
DAU tidak terbatas pada dana transfer pemerintah pusat kepada pemerintah daerah, tetapi juga dana transfer pemerintah kabupaten/kota kepada masyarakat secara langsung. Pemberian DAU memberikan kelonggaran bagi penerima dana untuk dapat menggunakannya sesuai dengan kebutuhan tanpa terikat pada kebijakan pemberi DAU. Pengelolaan DAU juga perlu memperhatikan mengenai sejauh mana aspirasi masyarakat dapat terserap dengan mekanisme  pengelolaan yang tepat dan trasnparan. DAU juga dapat dilihat sebagai respon pemerintah terhadap aspirasi masyarakat, sehingga masyarakat dapat ikut serta dalam mengontrol penggunaannya.
Begitu pula pengelolaan DAU oleh Pemerintah Kabupaten Lampung Tengah. Pola block grant (Dana Alokasi Umum) di Kabupaten Lampung Tengah dilaksanakan dalam rangka perbaikan/pembangunan gedung sekolah negeri baik berupa ruang kelas baru maupun ruangan penunjang lainnya. Pola ini dilakukan dengan mengedepankan partisipasi masyarakat melalui komite sekolah yang ada, sehingga pembangunan sarana dan  prasarana pendidikan tersebut diharapkan sesuai dengan apa yang diharapkan masyarakat. Melalui pola ini pemerintah Kabupaten Lampung Tengah hanya memfasilitasi dan memberikan bantuan berupa dana atau material untuk bangunan yang akan direhab/buat. Pemilihan pola block grant dilakukan selain untuk memberikan ruang partisipasi kepada masyarakat juga bertujuan untuk melakukan efisiensi dan pemanfaatan dana yang lebih optimal dengan sasaran akhir yang lebih maksimal.
Pola block grant dilakukan dengan sebuah mekanisme yang terdiri atas sejumlah tahapan. Tahap pertama dilakukan oleh sekolah melalui komite sekolah dengan mengajukan proposal untuk melakukan perbaikan/pembangunan gedung sekolahnya. Selanjutnya pihak Dinas dan instansi Pemerintah Kabupaten lain akan membentuk tim untuk mengkaji proposal yang diajukan tersebut. Hasil kajian dari tim pengkaji tersebut untuk kemudian akan dilaporkan kepada Bupati. Berdasarkan hasil kajian dan pengecekan lapangan yang dilakukan langsung oleh Bupati maka akan dikeluarkan sejumlah dana atau material untuk bangunan dengan standar tertentu yang dilakukan oleh Bupati.
Mekanisme ini memberikan dampak positif bagi kedua belah pihak, dalam hal ini adalah Pemerintah Kabupaten Lampung Tengah dan masyarakat melalui komite sekolah. Kebaikan pertama, DAU yang diberikan jelas penggunaannya, pemerintah dapat mengontrol dan mengawasi secara langsung. Pemerintah juga telah berupaya untuk meningkatkan transparansi kepada masyarakat mengenai penggunaan DAU karena mereka dilibatkan langsung. Namun , kontrol dan pengawasan tersebut tanpa menutup kesempatan atau ruang bagi masyarakat untuk berpartisipasi dalam program tersebut. Kebaikan kedua dari segi penerima bantuan yaitu masyarakat melalui komite sekolah. Mereka dapat menyalurkan keinginan dan kebutuhannya kepada pemerintah. Pembangunan/perbaikan gedung-gedung sekolah berdasarkan pada apa yang telah mereka susun dan mereka rencanakan. Selain itu mereka dapat mengontrol dan mengawasi penggunaan dana oleh pemerintah daerah.
Melalui mekanisme tersebut, ada beberapa prinsip dasar DAU yang dapat dipenuhi. Pertama, memenuhi prinsip efisiensi yaitu pemberian DAU dilakukan berdasarkan metode perhitungan yang telah ditentukan sebelumnya, jelas penggunaannya, terarah dan sesuai dengan kebutuhan. Prinsip kedua, relevan dengan tujuan. Dalam UU telah dicantumkan secara eksplisit beberapa tujuan yang ingin dicapai dalam program Otonomi Daerah, salah satunya adalah peningkatan demokrasi. Demokrasi berarti ada kesempatan dan hak bagi masyarakat untuk menyalurkan aspirasi dan keinginannya. DAU yang digulirkan Pemerintah Kabupaten Lampung Tengah dapat menyerap aspirasi masyarakat karena mereka sendiri yang menyusun rancangan perbaikan/pembangunan gedung sekolah yang dibutuhkan serta mereka juga yang melaksanakan. Prinsip ketiga, obyektifitas dan transparansi yaitu sistem alokasi DAU yang baik harus didasarkan pada upaya untuk meminimumkan kemungkinan manipulasi. Mekanisme pengalokasian DAU kepada komite sekolah melalui berbagai tahapan, dapat meminimkan praktek penggelapan baik itu dari pihak pemerintah Kabupaten Lampung Tengah maupun dari pihak komite sekolah.

















BAB III
PENUTUP

Simpulan dan Rekomendasi
Penelitian ini menghasilkan kesimpulan bahwa Dana Alokasi Umum (DAU) yang akan ditransfer oleh pemerintah pusat ke pemerintah kabupaten/kota dapat menutup kesenjangan antara pengeluaran dan pendapatan daerah kabupaten/kota dalam rangka menjalankan tugasnya sebagai daerah otonom, bahkan pemerintah kabupaten/kota akan mengalami kelebihan dana yang cukup signifikan. Namun demikian, perlu disadari bahwa tingkat ketergantungan pemerintah kabupaten/kota kepada pemerintah pusat masih tinggi. Sehubungan dengan hal tersebut disarankan agar pemerintah daerah berupaya menurunkan tingkat ketergantungan kepada pemerintah pusat  secara bertahap, dengan meningkatkan Pendapatan Asli Daerah (PAD). DAU yang berlebih seyogyanya dapat dipakai untuk mendanai proyek-proyek yang dapat meningkatkan kesejahteraan masyarakat, yang pada akhirnya akan mapu meningkatkan pendapatan asli daerah.



[2] http://nuridafatimah.blogspot.com/2012/06/solusi-kesenjangan-fiskal-fiscal-gap.html/16/12/13/15.00.WIB
[3] http://otonomidaerah.com/desentralisasi-fiskal.html/16/12/13/19.20WIB
[4] http://fajarsodiq.blogspot.com/2013/05/pengaruh-desentralisasi-fiskal-terhadap.html/16/12/13/19.35WIB

Komentar

Postingan Populer