Makalah Analisis Konflik Pemilukada Tahun 2010 di Bandar Lampung
BAB I
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang Masalah
Banyaknya kasus yang terjadi pada penyelenggaraan pemilihan umum pada
tingkat lokal maupun nasional di Indonesia mencerminkan bahwa belum berhasilnya
penyelenggaraan pemilu sebagai perwujudan demokrasi di Indonesia. Sering
terjadi pada saat pemilihan kepala daerah telah usai, pesta demokrasi politik
lokal tersebut masih menyisakan masalah. Tak ayal, seluruh hasil pilkada
dipastikan berakhir di Mahkamah Konstitusi (MK). Sebab tidak jarang sejumlah
mantan kandidat keberatan dan tidak puas terhadap hasilnya. Hal
ini membuktikan sangat rendahnya kesadaran politik masyarakat. Sehingga dari
KPUD sebelum melaksanakan pemilihan umum, sering kali melakukan Ikrar siap
menang dan siap kalah. Namun tetap saja timbul masalah masalah tersebut.
Potensi pilkada menjadi sengketa sebenarnya telah
diprediksi banyak orang akan berakhir ke MK. Sebab, masing-masing pihak sejak
awal tahapan pilkada saling tuding melakukan kecurangan dan pelanggaran. Mulai
dari yang bersifat administratif, dugaan money politics, hingga penghitungan
suara.
Bahkan yang lebih parah
para kandidat lebih baik menang bermasalah daripada kalah terhormat. Hal
tersebut sepertinya menjadi filosofi baru para elite dan politisi kita. Rasanya
tidak gagah kalau kalah disikapi dengan legowo dan pasrah menerima begitu saja
hasil penghitungan suara oleh KPU setempat. Atau sebaliknya, tidak puas kalau
menang tanpa melakukan kecurangan atau tidak menzalimi hak suara milik kandidat
lain.
Undang
Undang Nomor 22 Tahun 1999 tentang Pemerintahan Daerah. Salah satu isu yang
paling penting dengan disahkannya Undang – Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang
Pemerintahan Daerah ini adalah pemilihan kepala daerah secara langsung oleh
rakyat daerah.
Revisi tersebut dilakukan karena implementasi Undang – Undang Nomor 22
Tahun 1999 yang dimulai sejak tahun 2001 masih terdapat banyak permasalahan,
terutama menyangkut masalah kepala daerah. Laporan pertanggung jawaban kepala
daerah dan pemilihan kepala daerah sering menjadi persoalan diberbagai provinsi
maupun kabupaten/kota.
Praktik pertanggungjawaban kepala daerah sebagaimana ketentuan Undang
Undang Nomor 22 Tahun 1999 juga merupakan persoalan yang selalu menarik
perhatian. Berbagai permasalahan yang muncul dalam kaitannya dengan laporan
pertanggung jawaban kepala daerah merupakan akses dari pola pertanggung jawaban semacam ini telah mengakibatkan kritik
ketidakpuasan banyak kalangan. Pada kenyataannya proses pertanggungjawaban
semacam ini telah memunculkan banyak konflik. Momen pertanggungjawaban telah
disalah arahkan menjadi dan kesempatan “menyandera” kepala daerah. DPRD menjadi
powerfull karena segala sesuatunya DPRD yang menentukan dan pada akhirnya
bermuara kepada kompromi laporan pertanggungjawaban dapat diterima atau disetujui
dengan tambahan beberapa catatan. Tambahan beberapa catatan ini hanya sebagai
basa – basi atau ditindaklanjuti tidak ada informasi lebih lanjut.
Begitu pula problematika dalam aktualisasi Undang – Undang Nomor 22
Tahun 1999 yang banyak mendapat kritikan adalah bahwa ketentuan yang mengatur
tentang penunjukan sekretaris daerah rawan intervensi dari kalangan partai
politik yang ada di DPRD, dengan keharusan adanya persetujuan pimpinan DPRD
sehingga dapat mengurangi bobot profesionalitas. Jabatan sekda sebagai bahan
sharing kekuasaan pada akhirnya lebih dominan daripada pertimbangan kemampuan
teknis dan profesionalitas. Kemudian ditambah lagi oleh perilaku dan kinerja
anggota DPRD yang merupakan wakil – wakil partai politik peserta pemilu, belum
mencerminkan sebagai pemegang amanah dalam rangka memenuhi aspirasi dan
keinginan masyarakat daerah.
Perspektif Marxis. Berbeda dengan kelompok
pluralis, marxis menganggap Negara dilihat dari satu kesatuan yang utuh yang
berfungsi sebagai benteng terakhir bagi pasar (rejim neoliberal) dengan
menindas kepentingan kaum buruh. Hal ini sejalan dengan pandangan mereka
tentang analisis kelas dan mereka meyakini bahwa kekuasaan memusat pada kelas
yang berkuasa serta kepemilikan alat produksi (kapitalis). Karl Marx dalam
‘Manisfesto Komunis’ menggambarkan bahwa eksekutif dari Negara-negara modern
adalah suatu komite untuk mengatur masalah umum dari kaum borjuis secara
keseluruhan. Pemerintahan pusat dinilai lebih penting dalam mengubah Negara
kapitalis dibanding pemerintah lokal yang ditempatkan sebagai factor sekunder.
1.2 Rumusan Masalah
Adapun
rumusan masalah yang akan dikemukakan oleh penyusun adalah sebagai berikut :
1. Mengapa terjadi konflik pada pemilihan kepala daerah
di Lampung?
2. Apa saja faktor konflik pada pemilihan kepala daerah
di Lampung ?
3. Bagaimana penyelesaian konflik yang terjadi pada
pemilihan kepala daerah di Lampung ?
1.3 Tujuan Penulisan
1. Sebagai syarat untuk memenuhi kriteria penilaian mata
kuliah Politik Desentralisasi dan Otonomi Daerah.
2. Untuk mengetahui apa saja faktor konflik pada
pemilihan kepala daerah di Lampung.
3. Untuk mengetahui bagaimana penyelesaian konflik pada
pemilihan kepala daerah di lampung.
BAB II
KERANGKA KONSEP
Setiap masalah yang timbul dalam proses kompetisi
adalah sesuatu yang wajar dan dianggap sebagai suatu keharusan untuk mencapai
kedudukan yang lebih tinggi. Semakin tinggi kedudukan seseorang, maka akan
semakin besar peluang untuk melakukan kecurangan dalam menjalankan
kekuasaannya. Hal ini sependapat dengan teori Marx. Menurut teori Marx, konflik
bermula dari keserakahan, di mana materi, harga diri (prestige), kekuasaan
(power) adalah sesuatu yang mutlak untuk dimiliki. Karena itu dalam rangka
untuk melakukan suatu perubahan, maka konflik adalah jalan terbaik untuk
ditempuh. Konflik adalah faktor yang melekat pada diri manusia sehingga konflik
adalah sesuatu hal yang dianggap wajar dan langkah konstruktif dalam konteks
politik di alam demokrasi.
Konsep Marxis pada konflik Pilkada dalam makalah ini
adalah banyaknya konflik yang terjadi ketika proses pilkada berlangsung.
Berbagai macam cara yang dilakukan oleh para kandidat untuk memenangkan pilkada
sebagai kepala daerah dilatarbelakangi oleh sifat alamiah manusia yang selalu
ingin menguasai orang lain untuk mendapatkan hal yang mereka inginkan, walaupun
diperoleh dengan cara yang tidak benar.
Teorisasi Marx yang problematis ibarat dua sisi pada
mata uang yang sama. Di satu sisi, teorisasinya memang sengaja bersifat
problematis. Usahanya untuk memadukan teori dan praktik juga problematis.
Praktik selalu tergantung pada konteks, dan konteks yang menjadi ajang tindakan
politik selalu mengalami perubahan. bentuk negara dan aktivitas para
tokoh-tokoh politiknya dalam perjuangan kelas yang penuh dengan konflik.
Dalam manajemen konflik, penyelesaian konflik pilkada
ini sebenarnya ada opsi lain yaitu konsensus. Dalam opsi ini adanya pemahaman
bersama, di mana semua pihak harus duduk bersama dan menyelesaikan masalah secara
terbuka, dengan kepala dingin, transparan, serta menjunjung tinggi asas
kejujuran dan keadilan.
Keyakinan, nilai-nilai, dan norma, serta tujuan
otonomi daerah menjadi suatu landasan ideal untuk menuju suatu penyelesaian
dalam konflik. Dengan begitu perubahan sosial terjadi dalam ruang lingkup
konsensus dan berlangsung secara damai.
Karena itu, guna menghindari konflik pilkada dalam dunia
politik dibutuhkan kedewasaan dalam berpolitik dan kematangan para tokohnya.
Selain itu, mesti ada kesepakatan awal bagi para calon untuk siap menang dan
kalah –selain deklarasi damai–sehingga pemenang dengan perolehan suara berapa
pun harus diterima.
Bukan justru sebaliknya, tidak menerima hasil
kekalahan dan mencari kambing hitam sebagai penyebab kekalahan tersebut. Boleh
jadi, di balik tudingan kecurangan dan pelanggaran yang dilakukan pihak
tergugat, tanpa disadari sesungguhnya juga dilakukan oleh pihak penggugat itu
sendiri.
Dalam pelaksanaannya pilkada dilaksanakan oleh Komisi
Pemilihan Umum Daerah masing masing. Tugas yang dilaksanakan KPUD ini sangat
berat yaitu mengatur pelaksanaan pilkada ini agar dapat terlaksana dengan
demokratis. Mulai dari seleksi bakal calon, persiapan kertas suara, hingga
pelaksanaan pilkada ini.
Dalam pelaksanaannya selalu saja ada masalah yang
timbul. Seringkali ditemukan pemakaian ijasah palsu oleh bakal calon. Hal ini
sangat memprihatinkan sekali . Seandainya calon tersebut dapat lolos bagai mana
nantinya daerah tersebut karena telah dipimpin oleh orang yang bermental korup.
Karena mulai dari awal saja sudah menggunakan cara yang tidak benar. Dan juga
biaya untuk menjadi calon yang tidak sedikit, jika tidak ikhlas ingin memimpin
maka tidakan yang pertama adalah mencari cara bagaimana supaya uangnya dapat segera
kembali atau “balik modal”.
Mengamati
fenomena politik lokal sepanjang periode ini, publik dikecewakan oleh kualitas
proses elektoral pada Pilkada Langsung tersebut. Money politics yang diharapkan
bisa diminimalisir melalui Pilkada Langsung, ternyata justru terjadi pada skala
yang lebih besar dan masif dibandingkan dengan Pilkada melalui DPRD. Rakyat
yang diharapkan mempunyai otonomi yang lebih besar dalam mencalonkan dan
memilih calon pemimpin yang diinginkan, ternyata otonomi yang besar itu berada
di tangan para elit parpol. Adalah para elit parpol dan para sponsor politik
yang mengendalikan seluruh proses elektoral sehingga peran masyarakat luas
selaku pemilih menjadi sangat marjinal.
Penjelasan
dominan terhadap sumber permasalahan ini adalah desain elektoral Pilkada yang
tidak tepat, terutama pada monopoli partai politik dalam proses pencalonan
Kepala Daerah. Sebagaimana ditetapkan dalam UU No.32/2004 tentang Pemerintahan
Daerah, pasangan calon Kepala Daerah hanya diajukan oleh partai politik yang
memenuhi syarat.
Melihat
apakah dalam Pilkada Langsung selama ini telah terdapat indikasi peran 'calon
independen'. Tentu saja 'calon independen' yang dimaksud di sini bukanlah calon
pasangan Kepala Daerah yang dicalonkan melalui jalur non-partai. Sebab, dalam
Pilkada Langsung, semua pasangan Kepala Daerah harus dicalonkan oleh partai
politik. Namun, tidak semua parpol atau gabungan parpol mencalonkan kader
parpol. Dalam prakteknya, banyak tokoh di luar partai politik yang kemudian
dicalonkan oleh satu atau gabungan partai politik. Fenomena inilah yang
walaupun secara formal adalah pasangan calon yang diajukan oleh partai politik,
namun secara substantif adalah 'calon independen' yang kemudian diformalisasi
oleh partai politik sebagai pasangan calon yang diajukan oleh parpol.
Sebagaimana
banyak diindikasikan oleh beberapa studi sebelumnya bahwa dalam banyak kasus
parpol tidak dalam posisi yang mencalonkan pasangan calon. Peran parpol lebih
dalam posisi menyediakan legitimasi pencalonan, yang biasanya ditransaksikan dengan
pihak-pihak yang ingin dicalonkan atau ingin mencalonkan seseorang menjadi
Kepala Daerah. Dalam bahasa sehari-hari hal ini sering dipresentasikan secara
sinis dengan istilah 'beli perahu' (artinya membeli formalitas parpol), 'beli
tiket' (artinya memberi tiket pencalonan), dan istilah-istilah lain dengan
pengertian sejenis. Monopoli parpol dalam pencalonan ini akhirnya dimanfaatkan
oleh elit partai sebagai ajang bisnis dengan memasang tarif milyaran rupiah
bagi kandidat yang akan memakai partainya untuk maju dalam proses pencalonan.
Hal
ini mengindikasikan bahwa individu politisi, yang tidak selalu aktivis parpol,
dalam posisi yang aktif dalam proses pencalonan calon pasangan Kepala Daerah.
Konflik
internal parpol dalam proses Pilkada menggejala di banyak daerah dan di banyak
parpol. Konflik ini terjadi baik antar tingkat organisasi partai, maupun antar
organisasi partai dengan massa. Hal ini bisa dimengerti karena karakter partai
politik di Indonesia yang terkesan masih sangat sentralistis. Dimana proses
pengambilan keputusan kebanyakan masih didominasi oleh kalangan elit partai.
Kecenderungan
oligarki partai ini mengakibatkan termarginalkanrtya peran dan partisipasi
massa atau kader di daerah. Kekecewaan pengurus di daerah atau massa pendukung
inilah yang kebanyakan menimbulkan konflik terbuka pada tahap pencalonan
kandidat Pilkada melalui partai politik. Tabel berikut menunjukkan beberapa
konflik yang terjadi pada tahap pencalonan dalam Pilkada.
Beberapa
kasus konflik yang banyak terjadi di berbagai daerah telah mengindikasikan beberapa hal. Pertama, hal
tersebut menandakan bahwa demokrasi internal parpol tidak terjadi dan struktur
organisasi partai di Indonesia kebanyakan masih tersentralisasi. Dalam kasus
ini, meskipun Pilkada adalah kepentingan lokal, dan merupakan bagian dari
demokrasi lokal, namun elit pusat masih banyak ikut mengintervensi proses
pencalonan. Akibatnya, konflik terbuka antar tingkat organisasi partai tidak
bisa dihindari. Kedua, munculnya konflik ini juga menunjukkan marginalisasi
massa dan kader di daerah dalam proses pembuatan keputusan partai. Pola
kepemimpinan partai yang bersifat oligarkis mengakibatkan terbatasnya ruang
partisipasi massa dalam proses pembuatan keputusan partai. Hal ini menyebabkan
tahirnya konflik antar organisasi partai dengan kader pada level akar rumput
sangat sering terjadi. Hal ini bisa dipahami mengingat massa akar rumput merasa
tidak puas terhadap proses pencalonan dan dengan kandidat yang diatur dari
organisasi partai.
BAB III
ANALISIS
Di tengah pertarungan
kepentingan dan kekuasaan elite menjelang pemilu sebenarnya tekad reformasi
dipertaruhkan. Bukan sekedar pesta pemilu, tetapi dengan kemauan dan
konsolidasi kekuatan masyarakat sendiri melawan keterpurukan dan kebusukan
sistem dan segenap aparatusnya. Pemilu tak lain hanya seperti pesta perkawinan
di kampung-kampung yang dibuat meriah, dimana berlaku hukum pertukaran uang,
makanan dan kekuasaan. Begitu pula yang terjadi pada pemilukada tahun 2010 di
bandar Lampung. Pemilukada seperti ajang pertukaran materi dengan kekuasaan
yang dilakukan oleh oknum-oknum tertentu dalam anggota KPU dan kandidat kepala
daerah.
Dibandingkan dengan
daerah lainnya di Provinsi Lampung, Bandar Lampung berbeda. Perekonomiannya
lebih banyak digu;irkan oleh sektor industri dan perdagangan. Buktinya yaitu
kontribusi industri dan perdagangan terhadap PRDB masing-masing 30,7% dan
23,2%. Maka dari hal tersebut kota Bandar Lampung menjadi salah satu kota yang
tinggi kasus suap dan korupsi para politisi.
3.1. Landasan konstitusional Pemilu
Partai Politik dalam Undang – Undang Pemerintahan
Daerah.
Dengan memperhatikan
apa yang terjadi dalam penyelenggaran otonomi daerah di Indonesia, sebenarnya
terdapat beberapa isu penting yang menyangkut keberadaan partai politik,
terutama pada tingkat lokal yang salah satunya adalah kepala daerah. Didalam
pelaksanaan suksesi kepala daerah yang diatur Undang – Undang Nomor 22 Tahun
1999, DPRD yang notabene wakil dari partai – partai politik mempunyai posisi
yang leluasa dan mempunyai kewenangan besar dalam menentukan calon kepala
daerah, disebabkan barganning politik yang muncul dari proses pencalonan,
pemilihan dan penetapan berujung pada kepentingan kepentingan anggota DPRD.
Kewenangan yang
begitu besar yang dimiliki oleh DPRD didalam pemilihan kepala daerah
menimbulkan dampak yang negatif karena kewenangan yang besar ini menimbulkan
suatu praktik praktik perpolitikan ditingkat daerah. Kepentingan individu,
partai politik, dan kelompok telah meminggirkan aspirasi rakyat yang
menginginkan munculnya kepemimpinan yang peduli dan respek terhadap kepentingan
rakyat daerah. Dengan adanya legitimasi dari Undang – Undang Nomor 22 Tahun
1999 yang mengatur kedudukan DPRD didalam pemilihan kepala daerah, partai
politik yang memiliki wakil di DPRD berkesempatan menancapkan hegemoni dari
situasi dan kondisi yang tercipta. Rakyat selaku konsituen pada pemilu yang
emilih partai – partai politik tersebut
hanya dijadikan sebagai alat untuk mencapai tujuan tanpa memedulikan aspirasi
dan keinginan rakyat itu.
Undang – Undang Nomor
32 Tahun 2004 pasal 59 ayat 2 secara teknis mengatur bahwa partai politik atau
gabungan partai politik dapat mendaftarkan pasangan calon apabila memenuhi
persyaratan perolehan sekurang kurangnya 15 persen dari jumlah kursi DPRD atau
15 persen dari akumulasi perolehan suara sah dalam pemilihan umum anggota DPRD
didaerah bersangkutan.
3.2. Partai Politik dan Pilkada Langsung secara
Demokratis.
A. Peran Partai Politik
1. Didalam Undang –
Undang Nomor Nomor 32 Tahun 2004 tentang pemerintahan daerah dan khususnya pada
pasal pasal tentang pilkada, terlihat jelas peran partai politik masih cukup
dominan sebagaimana masih dapat dilihat pada pasal dibawah ini.
·
Pasal 56 ayat 2 :
pasangan calon diajukan oleh partai politik atau gabungan partai politik
·
Pasal 59 ayat 2 :
parpol atau gabungan parpol yang dapat mendaftarkan pasangan calon apabila
memenuhi persyaratan perolehan sekurang – kurangnya 15 persen dari akumulasi
perolehan suara sah dalam pemilu anggota DPRD didaerah yang bersangkutan.
·
Pasal 59 ayat 3 :
parpol atau gabungan parpol wajib membuka kesempatan seluas luasnya bagi bakal
calon melalui mekanisme yang demokratis dan transparan.
·
Pasal 59 ayat 4 :
dalam proses penetapan pasangan calon parpol atau gabungan parpol memperhatikan
pendapat dan tanggapan masyarakat.
·
Pasal 59 ayat 6 :
parpol atau gabungan parpol hanya dapat mengusulkan satu pasangan calon dan
pasangan tersebut tidak dapat diusulakn lagi oleh parpol atau gabungan parpol
lainnya.
B. Pilkada langsung secara Demokratis
Adapun semangat yang
mendasari perlunya pilkada secara langsung oleh rakyat daerah tidak lepas dari
latar belakang sebagai berikut :
·
Undang – Undang Nomor
22 Tahun 1999 dan aturan pendukung lainnya dibawahnya sudah tidak sesuai lagi
dengan perubahan sistem ketatanegaraan karenanya adanya amandemen UUD 1945,
terutama pada pasal 18 ayat 4 yang menyatakan bahwa gubernur, bupati, dan
walikota dipilih secara demokratis.
·
Adanya tuntutan dari
masyarakat yang mengkehendaki kepala daerah dipilih secara langsung dengan
keyakinan bahwa pemimpin yang terpilih nanti akan mampu membawa masyarakat
daerah menuju perbaikan dan kemakmuran. Selama perlakuan Undang – Undang Nomor
22 Tahun 1999.
·
Adanya politik
kepentingan yang dilakukan oleh para anggota DPRD terutama pada penyampaian LPJ
dan pemilihan kepala daerah.
3.3 Konflik dalam Pilkada Bandar Lampung Tahun 2010
(Berdasarkan harian Radar Lampung Sabtu, 17 Juli 2010.)
Kepolisian Daerah Lampung mulai membidik dugaan skandal gratifikasi dan korupsi
pada Pilkada Kota Bandar Lampung. “Kami melakukan pendalaman terhadap dua
dugaan skandal pilkada, pertama mengenai dugaan gratifikasi bagi anggota KPU
Kota Bandar Lampung dari salah satu kandidat wali kota, dan kedua tentang
skandal kelebihan pencetakan surat suara sebesar 17 persen dari DPT yang
ditetapkan,” kata Kasat III tindak pidana korupsi Ditreskrim Polda Lampung,
AKBP Shobarmen, di Bandar Lampung.
Khusus untuk skandal kelebihan pencetakan surat suara,
penyelidikan dilakukan khusus mendalami tentang ada tidaknya unsur kerugian
negara dalam pencetakan tersebut, bukan pada pelanggaran kode etik oleh
komisioner KPU yang dianggap lalai dalam pencetakan tersebut. Polda Lampung
tidak mendalami bagian tentang pelanggaran kode etiknya, karena itu sepenuhnya
kewenangan panwas, namun fokus kepada ada tidaknya akibat dari kelebihan
pencetakan tersebut yang merugikan negara.
Terkait pendalaman hal itu, Polda Lampung memanggil kedua
pihak yang terlibat dalam pencetakan tersebut, masing-masing Sekretaris KPU
Kota Bandar Lampung, Abdul Kohar, dan Direktur CV Tawakkal, rekanan KPU dalam
pencetakan surat suara, Ruslan Effendi. Pencetakan surat suara pada Pilkada
Kota Bandar Lampung 2010, 17 persen lebih banyak dari jumlah DPT di kota
tersebut. Jumlah surat suara yang dicetak sebanyak 760.236, atau mengalami
kelebihan surat suara sebanyak 116.583 buah, dari jumlah DPT sebanyak 643.653
suara.
Selain itu, Polda Lampung juga memanggil Sekda Kota
Bandar Lampung, Sudarno Edi, untuk dimintai keterangan terkait dugaan
gratifikasi berupa pemberian mobil minibus bagi lima komisioner KPU, dari salah
satu kandidat wali kota. Pemeriksaan yang telah berlangsung kedua kalinya itu
untuk memastikan ada tidaknya aktivitas gratifikasi yang diduga diberikan oleh
salah satu calon wali kota.
Dugaan gratifikasi itu bergulir saat LSM Monitoring
pilkada melaporkan kasus itu kepada Polda Lampung, disertai sejumlah barang
bukti. Beberapa barang bukti yang disertakan dalam pelaporan tersebut adalah
foto hasil bidikan 22 Mei 2010, yang menggambarkan kendaraan pemberian salah
satu calon wali kota itu, terparkir di depan rumah dua komisioner KPU
Bandarlampung, yaitu Fauzi Heri dan Herlina.
Kedua kendaraan itu bernomor polisi masing-masing BE
2845 CJ dan BE 2851 CJ.
Selain itu, LSM Monitoring pemilukada juga menyertakan
barang bukti lain, yaitu bukti pembayaran dan surat angsuran untuk kendaraan
dengan plat nomor yang sama, atas nama Wali Kota Bandar Lampung yang juga
menjadi calon incumbent, Eddy Sutrisno. Surat angsuran itu dikeluarkan oleh
Astra Credit Companies, dengan angsuran awal Rp 5.105.000 per bulan untuk
pembayaran 36 bulan.
Angsuran tersebut baru dibayar enam kali, dengan
pembayaran perdana pada 2 november 2009. Sudarno Edi diperiksa di ruang Kanit
III Satuan III Polda Lampung selama empat jam, dari pukul 10.00 WIB hingga
14.00 WIB.
3.4 Faktor
Konflik dalam Pilkada
- Konflik dalam Pilkada ( Pemilihan Kepala Daerah )
Konflik berasal dari kata kerja Latin configure
yang berarti saling memukul. Secara sosiologis, konflik diartikan sebagai suatu
proses sosial antara dua orang atau lebih (bisa juga kelompok) dimana salah
satu pihak berusaha menyingkirkan pihak lain dengan menghancurkannya atau
membuatnya tidak berdaya. Dalam proses demokrasi (elektoral), konflik merupakan
sebuah keniscayaan karena setiap individu atau kelompok sosial memiliki
kepentingan, pemahaman, dan nilai yang berbeda-beda. Konflik relatif mudah
hadir dari basis sosial yang lebih kompleks, dibanding hanya sekedar suatu
kompetisi dalam proses demokrasi.
Pada sisi lain, demokrasi juga diyakini oleh sebagian
orang sebagai sarana untuk mentransformasikan konflik. Jika dulu orang saling
membunuh untuk menjadi raja, kini mereka bertarung melalui bilik suara. Jika
dulu orang merangkul senjata untuk membuat orang lain tunduk, sekarang mereka harus berkampanye dengan memasang spanduk atau leafleat di mana-mana
agar memperoleh dukungan suara menjadi kepala daerah. Demokrasi berupaya
mentransformasikan konflik yang berwujud kekerasan ke arah bilik suara, dari
memaksa (coercive) ke persuasif.
Meski demikian, demokrasi dan konflik sebenarnya juga
merupakan dua hal yang tidak mudah dihubungkan. Dari banyak pengalaman yang
ada, bukan hal yang mudah membuktikan bahwa demokrasi dapat menjadi pemicu
konflik, walaupun dapat saja diklaim bahwa eskalasi konflik disebabkan oleh
liberalisasi politik yang bekerja dalam proses demokrasi. Jadi eksistensi
konflik memang suatu hal yang wajar bagi suatu proses demokrasi. Hanya saja,
menjadi berbahaya jika konflik sudah represif dan berwujud kekerasan (violence).
Dalam wacana demokrasi, konflik tidak dipahami sebagai hal yang negatif,
melainkan sebagai satu gejala responsif dalam upaya menciptakan kontrol dan
keseimbangan di antara pihak-pihak yang berkepentingan.
Pilkada, sebagai sebuah mekanisme demokrasi sebenarnya
dirancang untuk mentransformasikan sifat konflik yang terjadi di masyarakat.
Pilkada berupaya mengarahkan agar konflik tidak meluas menjadi kekerasan.
Sayangnya, idealitas yang dibangun dalam sebuah proses demokrasi, pada
kenyataannya seringkali jauh dari apa yang diharapkan. Pilkada yang dirancang
sebagai demokrasi elektoral, justru menjadi ajang baru timbulnya konflik
kekerasan dan benturan-benturan fisik antar pendukung calon kepala daerah
menjadi pemandangan jamak yang ditemui.
Singkatnya, mekanisme demokrasi yang ada seolah justru
melegitimasi munculnya kekerasan akibat perbedaan yang sulit ditolerir antara
pihak-pihak berkepentingan di arena demokrasi. Dengan kata lain, desain
demokrasi di Indonesia dalam konteks penyelenggaraan pilkada telah gagal
sebagai cara mentransformasikan konflik. Kegagalan tersebut disebabkan oleh
beberapa hal.
B.
Faktor
Konflik dalam Pilkada
Setiap penyelenggaraan pemilihan kepala daerah
(pilkada) selalu dijumpai yang namanya konflik. Faktor-faktor penyebab konflik
dalam pilkada antara lain:
·
Kepentingan setiap elite lokal, elite nasional,
pengusaha dan kepentingan kekuatan-kekuatan politik lain di daerah yang sedang
bertarung memperebutkan kekuasaan.
·
Kesalahan penafsiran terhadap implementasi
undang-undang yang mengatur persoalan pilkada
·
Belum bakunya infrastruktur pemilihan pejabat publik
yang sering kali kontroversial
·
Lemahnya institusionalisasi demokrasi di tingkat lokal
(KPUD) yang menjadi faktor dominan timbulnya konflik antar kekuatan politik.
Akibatnya, aturan main berdemokrasi sering berubah, berbeda-beda, dan tidak
ditaati karena bergantung pada persepsi pusat yang menentukan hasil akhir proses
politik di tingkat lokal.
·
Diversifikasi sumber konflik
·
Dendam kelompok dan dendam sejarah, yang umumnya
sangat peka untuk diprovokasi.
·
Pola kompetisi yang bergerak tidak sehat melalui
intervensi kekuasaan, politik uang, anarkis dan arogansi.
·
Sistem manajemen termasuk payung hukum yang tidak
berwibawa, tidak berfungsi dan tidak dihormati.
·
Rapuhnya simbol perekat dan pemersatu yang mencakup
nasionalisme, etnisisme, etika dan budaya politik yang luhur.
·
Sikap dan perilaku aktor politik yang tidak
terkendali, menerabas dan terjerumus ke deviant politik.
Dilihat dari Jenisnya potensi konflik bisa melibatkan
:
·
Internal partai yang mendukung calon.
·
Konflik yang melibatkan antara kandidat satu dengan
lainnya atau antara pendukung-pendukung kandidat. Konflik antar kandidat dapat
berupa black campaign berupa usaha-usaha untuk mendeskriditkan kandidat lain
dengan cara-cara yang tidak gentle, bukan melalui adu visi-misi tetapi dengan
penyebaran berita bohong dan fitnah.
·
Konflik antar elemen masyarakat. Konflik ini berskala
sangat besar, karena melibatkan berbagai elemen masyarakat, baik antar
pendukung masing-masing kandidat melibatkan pula aparat keamanan.
3.5
Penyelesaian
Konflik dalam Pilkada
Permasalahan yang terjadi di Bandar Lampung pada
pilkada tahun 2010 dapat diselesaikan dengan hal-hal berikut :
·
Proses pencalonan yang bermasalah
Permasalahan
dalam pencalonan yang selama ini terjadi disebabkan oleh 2 (dua) hal yaitu
konflik internal partai politik/gabungan partai politik dan keberpihakan
para anggota KPUD dalam menentukan pasangan calon yang akan mengikuti Pilkada.
Secara
yuridis pengaturan mengenai pencalonan Kepala Daerah dan Wakil Kepala Daerah
diatur dalam pasal 59 sampai dengan pasal 64 Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004.
Dari beberapa pasal tersebut memberikan kewenangan yang sangat besar kepada
KPUD dalam menerima pendaftaran, meneliti keabsahan persyaratan pencalonan dan
menetapkan pasangan calon, yang walaupun ada ruang bagi partai politik atau
pasangan calon untuk memperbaiki kekurangan dalam persyaratan adminitrasi,
namun dalam praktek beberapa kali terjadi pada saat penetapan pasangan calon
yang dirugikan.
Pasal
59 ayat (5) huruf a
Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004
menyatakan bahwa partai politik atau gabungan partai
politik pada saat mendaftarkan pasangan calon,
wajib menyerahkan surat pencalonan yang
ditandatangani oleh pimpinan partai politik atau pimpinan partai
politik yang bergabung. Dalam tahapan ini kadang terjadi permasalahan di
internal partai politik, ketika calon yang diajukan oleh pimpinan partai
politik setempat berbeda dengan calon yang direkomendasikan oleh
DPP partai politik. Dalam permasalahan
ini karena pimpinan partai politik setempat tidak melaksanakan
rekomendasi DPP partai politik,kemudian diberhentikan sebagai pimpinan partai
politik di wilayahnya dan menunjuk pelaksana tugas pimpinan partai politik
sesuai wilayahnya yang kemudian juga meneruskan rekomendasi calon Kepala Daerah
dan Wakil Kepala Daerah namun ditolak KPUD dengan alasan partai politik
tersebut melalui pimpinan wilayahnya yang lama telah mengajukan pasangan calon.
Pasal
61 ayat (4) Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 menyatakan bahwa
penetapan dan pengumuman pasangan calon oleh KPUD bersifat final
dan mengikat. Dalam hal KPUD tidak netral, ketentuan ini kadang disalahgunakan
untuk menggugurkan pasangan
calon tertentu tanpa dapat
melakukan pembelaan, karena tidak ada ruang bagi pasangan calon yang dirugikan
untuk melakukan pengujian atas tindakan KPUD yang tidak netral melalui
pengadilan.
Untuk mengatasi kekurangan ini, ke depan
perlu pasangan calon perlu diberi ruang untuk mengajukan keberatan ke
pengadilan, jika dalam proses pencalonan dirugikan KPUD.
·
Pemasalahan pada Masa kampanye
Pengaturan
mengenai kampanye secara yuridis diatur dalam pasal 75 sampai dengan pasal 85
Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 yaitu meliputi pengaturan mengenai teknis
kampanye, waktu pelaksanaan, pelaksana kampanye, jadwal kampanye, bentuk dan
media kampanye, dan larangan-larangan selama pelaksanaan kampanye. Kandidat dan
tim kampanyenya cenderung mencari celah pelanggaran yang menguntungkan dirinya.
Pasal
75 ayat (2) berbunyi dimaksud pada ayat (1) dilakukan selama 14 (empat belas)
hari dan berakhir 3 (tiga) hari sebelum hari pemungutan suara", dengan
terbatasnya waktu untuk kampanye maka sering terjadi curi start kampanye dan
kampanye diluar waktu yang telah ditetapkan.
Kampanye
yang diharapkan dapat mendorong dan memperkuat pengenalan pemilih terhadap
calon kepala daerah agar pemilih mendapatkan informasi yang lengkap tentang
semua calon, menjadi tidak tercapai. Untuk itu ke depan perlu pengaturan masa
kampanye yang cukup dan peningkatan kualitas kampanye agar dapat mendidik
pemilih untuk menilai para calon dari segi program.
·
Manipulasi penghitungan suara dan
rekapitulasi hasil penghitungan suara.
Manipulasi
perhitungan suara dan rekapitulasi hasil penghitungan suara dapat terjadi di
setiap tingkatan, yaitu di KPPS, PPK, KPU Kabupaten, dan KPU Provinsi.
Permasalahan
penghitungan suara dan rekapitulasi hasil penghitungan suara akan manipulasi,
disebabkan oleh banyaknya TPS yang tersebar dalam wilayah yang luas. Dengan
banyaknya TPS yang tersebar luas membuat para pasangan calon sulit
mengontrolnya karena memerlukan saksi yang banyak dan biaya besar. Di lain
pihak para penyelenggara Pilkada di beberapa daerah tidak netral, berhubung
sistem seleksi anggota KPUD tidak belum memadai.
·
Putusan MA atau MK yang menimbulkan
kontroversi di masyarakat.
Sengketa
Pilkada diatur dalam pasal pasal 106 Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 yang
pada intinya menyatakan bahwa sengketa hasil penghitungan suara dapat diajukan
oleh pasangan calon kepada pengadilan tinggi untuk pilkda bupati/walikota dan
kepada MA untuk pilkda Gubernur. Putusan yang dikeluarkan pengadilan
tinggi/Mahkamah Agung bersifat final. Setelah dikeluarkan Undang-Undang Nomor
12 Tahun 2008 kewenangan penyelesaian sengketa pilkada beralih dari Mahkamah
Agung ke Mahkamah Konstitusi.
Baik
dalam Undang-Undang Nomor 32 Tahuri 2004 maupun Undang-Undang Nomor 12 Tahun
2008 kewenangan pengadilan untuk mengadili sengketa Pilkada hanya terbatas pada
sengketa hasil yang mempengaruhi pemenang Pilkada, permasalahannya adalah
bagaimana apabila terjadi sengketa di luar hasil penghitungan suara, selain itu
beberapa putusan baik Mahkamah Agung maupun Mahkamah Konstitusi menimbulkan
kontroversi di masyarakat, akibatnya penyelesaian Pilkada berlarut-larut.
Selama
ini tidak hanya sengketa hasil penghitungan suara yang terjadi dalam Pilkada,
seperti permasalahan DPT, permasalahan pencalonan baik terjadinya permasalahan
di internal partai politik maupun pemenuhan persyaratan Pilkada. Meskipun
Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 maupun Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2008
sudah membatasi kewenangan pengadilan hanya sebatas sengketa hasil penghitungan
suara, namun pengadilan sering menabrak aturan tersebut.
BAB IV
PENUTUP
4.1. KESIMPULAN
Pengawasan
dan penegakkan hukum dalam pemilu merupakan hal yang sangat penting bagi
perwujudan nilai-nilai demokrasi yang dilandasi oleh prinsip Langsung, Umum,
Bebas, Rahasia, Jujur dan Adil (LUBER JURDIL). Dengan demikian jangan sampai
semua tahapan pelaksanaan pemilu terlaksana, tetapi banyak terjadi pelanggaran
yang ditolerir atau tidak dilakukan penegakkan hukum atas
pelanggaran-pelanggaran yang terjadi dalam pemilu ataupun pemilukada.
Sesuai
dengan ketentuan Undang-Undang pemilu, khususnya pada Bab XIV, kita dapat
mengklasifikasi penyimpangan atau pelanggaran dan sengketa pemilu menjadi tiga
kelompok, yaitu : 1) pelanggaran administratif 2) pelanggaran aturan pemilu
yang mengandung unsur pidana pemilu 3) sengketa pemilu.
Konflik
yang terjadi pada pemilukada tahun 2010 dilihat dari perspektif Marxis
merupakan hal yang bermula dari keserakahan, dimana materi, harga diri
(prestige), kekuasaan (power) adalah sesuatu yang mutlak dimiliki.
Dalam manajemen konflik, penyelesaian konflik pilkada
ini sebenarnya ada opsi lain yaitu konsensus. Dalam opsi ini adanya pemahaman
bersama, di mana semua pihak harus duduk bersama dan menyelesaikan masalah
secara terbuka, dengan kepala dingin, transparan, serta menjunjung tinggi asas
kejujuran dan keadilan.
SARAN
KPU harus melakukan semua fungsinya
dengan dengan tidak berpihak dan secara efektif harus menyakinkan bahwa
integritas setiap proses atau tahapan pemilu terlindungi dari oknum-oknum yang
tidak kompeten dan yang ingin bertindak curang.
KPU harus berfungsi tanpa bias atau
kecenderungan politis.
Efisiensi harus diciptakan lembaga
pemilu untuk mempertahankan kredibilitasnya. Efisiensi menjadi sangat penting
dalam proses pemilu ketika terjadi masalah di tingkat teknis dan
masalah-masalah yang dapat menstimulasi kericuhan dan pelanggaran aturan.
Profesionalisme. Pemilihan umum juga
memiliki arti penting dalam fungsi demokrasi dimana anggota KPU harus memiliki
pengetahuan yang mendalam mengenai prosedur pemilihan umum dan filosofi
pemilihan umum yang bebas dan adil, diberi wewenang untuk melaksanakan dan
mengatur proses tersebut.
KPU harus memiliki sumber daya dan
kompeten memahami aturan untuk dapat memenuhi harapan masyarakat dalam
memastikan terselenggaranya pemilu yang bebas dan adil.
Transparansi. Keseluruhan kredibilitas
dari proses pemilihan umum secara substansial tergantung pada semua yang
berkepentingan, baik KPU, Panwaslu, Partai Politik, pemerintah maupun
masyarakat untuk ikut terlibat dalam formasi dan fungsi dari struktur dan
proses pemilu. Dalam hal ini, komunikasi dan kerjasama semua stakeholder: KPU,
panwaslu, partai politik dan institusi-institusi dalam masyarakat harus
dibangun atas dasar collective action untuk kepentingan bersama.
DAFTAR
PUSTAKA
Dewanto, Nugroho (2006), Pancasila
dan UUD 1945, Bandung : Nuansa Aulia.
Nordholt, Henk Schulte (ed)., Gerry Van Klinken (ed) (2007). Politik lokal Di
Indonesia, Jakarta : KITLV.
Santoso, Topo., Didik Supriyanto (2004). Mengawasi
Pemilu Mengawal Demokrasi,
Jakarta :
PT Rajagrafindo Persada.
Thaha, Idris (editor). 2004. Pergulatan Partai
Politik Di Indonesia. Jakarta : PT
Rajagrafindo
Persada
Tim Litbang Kompas (2004). Peta Politik
Pemiluhan umum 1999-2004, Jakarta : PT
Kompas
Media Nusantara.
Townshend, Jules (2003). Politik Marxisme, Yogyakarta
: Penerbit Jendela.
Polda Lampung Mulai Sidik Kasus Suap KPUD
Bandarlampung, from http://infokorupsi.com/id/korupsi.php?ac=6534&l=polda-lampung-mulai-sidik-kasus-suap-kpud-bandarlampung, Rabu 26 Juni 2013
terima kasih atas karya, saya izin beberapa bagian dari karya mu. salam dari cah lampung tapi jawa yang sekarang juga lagi di jogja...
BalasHapustambahan.. alangkah baiknya jika ada footnotenya.. karena aku juga pasti akan memberikan nama ku, judul karya mu dan nama blogmu sampai jam dunia pun ku tulis.. makasih. salam kenal
mantab info hasil pilkada yg kami tunggu, makasih
HapusSelaput Dara Buatan
Obat Perangsang
Viagra USA Obat Kuat Pria
Bio Slim Herbal
Obat Mata Herbal
Perangsang Wanita
Obat Perangsang Cair
Perangsang Sex Drops
Semenax Penyubur Sperma
Vagina Tabung
Vagina Center
Boneka Seks Full Body Cantik
Vagina Pinggul
Alat Bantu Sex Pria
Vagina Elektrik
Penis Elektrik
Penis Tempel
Penis Manual
Penggeli Vagina
Penggemuk Badan
Cialis Obat Perkasa
Meizitang Obat Diet Alami
Quick Slim Penurun Berat Badan
Obat Peninggi Grow Up USA
Celana Hernia
Vigrxplus Pembesar Vital
Herbal Slim Peluntur Lemak
Pelangsing Lida
Vakum Penis
Alat Pembesar Penis
Pembesar Payudara
vimax canada Pembesar Penis Alami
oke.. terimakasih atas masukannya. :)
BalasHapus