Contoh Proposal Penelitian Sosial


BAB I
PENDAHULUAN

1.1  Latar Belakang Masalah

Setiap pelaksanaan pemilu, baik pemilu legislatif, Pilpres ataupun pemilu kepala daerah (Pilkada) selalu diwarnai dengan munculnya golongan putih atau Golput. Entah kenapa golongan yang satu ini selalu menjadi ‘’sosok’’ yang mengkhawatirkan dan menakutkan. Disebut mengkhawatirkan karena golongan ini dinilai ‘’sosok’’ yang tidak mendukung pesta demokrasi yang sudah berjalan puluhan di negeri ini.

Pada Pilkada di sejumlah daerah Golput dinilai sebagai pemenang pilkada. Di Jawa Timur contohnya, jumlah Golput mencapai 40,42 persen. Sedangkan pada pilkada Sumatera Utara jumlah Golput terus meningkat mencapai 43 persen. Golput mencatat angka terbesar pada pilkada di Kalimantan Timur yang mencapai 50persen. Terlepas dari siapa sebenarnya sosok Golput tersebut, ada baiknya kita mempertanyakan kembali kenapa banyak warga yang enggan menyukseskan pilkada? Jawabannya tentu beragam. Yang paling general adalah bahwa masih banyak warga yang bersikap apatis terhadap pelaksanaan pemilu ataupun pilkada.

Bagi pemerintah dan penyelenggara pemilu atau pilkada, Golput juga harus dilihat sebagai pendidikan politik bagi masyarakat. Tujuannya untuk membuat orang berpikir kritis. Penguasa tidak berhak memaksakan rakyat untuk menggunakan hak suaranya. Pendirian yang berlainan dengan pendirian penguasa harus dilindungi supaya tradisi berdemokrasi yang sehat senantiasa terpelihara. Pada pemilu mendatang tentu saja pemerintah berharap jumlah Golput bisa terus menipis. Namun harapan itu tentunya mesti dibarengi dengan sikap pemerintah yang bisa menjamin terselenggaranya pemilu yang jujur dan adil. Jika rakyat masih merasa curiga dengan banyaknya pelanggaran dalam pemilu atau pilkada maka tidak heran jika mereka akan terus bersikap apatis terhadap penyelenggaraan pesta demokrasi tersebut.
Partisipasi politik dalam negara demokrasi merupakan indikator implementasi penyelenggaraan kekuasaaan negara tertinggi yang absah oleh rakyat (kedaulatan rakyat), yang dimanifestasikan keterlibatan mereka dalam pesta demokrasi  (Pemilu).  Semakin tinggi tingkat  partisipasi politik mengindikasikan bahwa rakyat mengikuti dan memahami serta melibatkan diri dalam kegiatan kenegaraan. Sebaliknya tingkat partisipasi politik yang rendah pada umumnya mengindikasikan bahwa rakyat kurang menaruh apresiasi atau minat terhadap masalah atau kegiatan kenegaraan. Rendahnya tingkat partisipasi politik rakyat direfleksikan dalam sikap golongan putih (golput) dalam pemilu.
Sebagai konsekuensi negara demokrasi, Indonesia telah menyelenggarakan sepuluh kali pemilihan umum (Pemilu) secara reguler, yaitu Tahun 1955, 1971, 1977, 1982, 1987, 1992, 1997, 1999, 2004 dan 2009 untuk pemilihan calon legislatif (Pileg) dan pemilihan calon presiden dan wakil presiden (Pilpres). Secara spesifik dunia internasional memuji,  bahwa Pemilu Tahun 1999 sebagai Pemilu pertama di era Reformasi yang telah berlangsung secara aman, tertib, jujur, dan adil  dipandang memenuhi standar demokrasi global dengan tingkat partisipasi politik 92,7%, sehingga Indonesia dinilai telah melakukan lompatan demokrasi.
Namun jika dilihat dari aspek partisipasi politik dalam sejarah pesta demokrasi di Indonesia, Pemilu tahun 1999 merupakan awal dari penurunan tingkat partisipasi politik pemilih, atau mulai meningkatnya golongan putih (golput), dibandingkan dengan Pemilu sebelumnya dengan tingkat partisipasi politik pemilih tertinggi 96,6% pada Pemilu tahun 1971. dengan penyelenggaraan Pilkada (Pemilihan Kepala Daerah) sebagai bagian dari Pemilu yang telah berlangsung di beberapa daerah, terutama di wilayah Jawa sebagai konsentrasi mayoritas penduduk Indonesia juga menunjukkan potensi Golput yang besar berkisar 32% sampai 41,5%.
Realitas tersebut mengindikasikan bahwa telah terjadi apatisme di kalangan pemilih, di saat arus demokratisasi dan kebebasan berpolitik masyarakat sedang marak-maraknya. Fenomena tersebut sepertinya menguatkan pernyataan Anthony Giddens (1999) dalam bukunya  Runaway World, How Globalisation is Reshaping Our Lives.  “haruskah kita menerima lembaga-lembaga demokrasi tersingkir dari titik di mana demokrasi sedang marak”. Tentunya potensi Golput dalam pesta demokrasi nasional maupun lokal tersebut kiranya cukup mengkhawatirkan bagi perkembangan demokrasi yang berkualitas.
Sebab potensi Golput yang menunjukkan eskalasi peningkatan dapat berimplikasi melumpuhkan demokrasi, karena merosotnya kredibilitas kinerja partai politik sebagai mesin pembangkit partisipasi politik. Partisipasi politik yang meluas merupakan ciri khas modernisasi politik. Istilah partisipasi politik  telah digunakan dalam berbagai pengertian yang berkaitan dengan perilaku, sikap dan persepsi yang merupakan syarat mutlak bagi partisipasi politik. Huntington dan Nelson dalam bukunya Partisipasi Politik di Negara Berkembang memaknai partisipasi politik sebagai : Partisipasi politik adalah kegiatan warga Negara yang bertindak sebagai pribadi-pribadi, yang dimaksud untuk mempengaruhi pembuatan keputusan  oleh Pemerintah.
Partisipasi bisa bersifat individual atau kolektif, terorganisir atau spontan, mantap atau sporadik, secara damai atau dengan kekerasan, legal atau  ilegal, efektif atau tidak efektif.  Dalam definisi tersebut partisipasi politik lebih berfokus pada kegiatan politik rakyat secara pribadi dalam proses politik, seperti memberikan hak suara atau kegiatan politik lain yang dipandang dapat mempengaruhi pembuatan kebijakan politik oleh Pemerintah dalam konteks berperan serta dalam penyelenggaraan pemerintahan. Dengan demikian partisipasi politik tidak mencakup kegiatan pejabat-pejabat birokrasi, pejabat partai, dan lobbyist professional yang bertindak dalam konteks jabatan yang diembannya.
Dalam perspektif lain McClosky dalam International Encyclopedia of the Social Science  menyatakan bahwa : Kegiatan seseorang atau kelompok orang untuk ikut serta secara aktif dalam kehidupan politik, yaitu dengan jalan memilih pimpinan Negara dan secara langsung atau tidak langsung, mempengaruhi kebijakan Pemerintah (public policy). Kegiatan ini mencakup tindakan seperti memberikan suara dalam pemilihan umum menghadiri rapat umum, menjadi anggota suatu partai atau kelompok kepentingan, mengadakan hubungan (contacting) dengan pejabat Pemerintah atau anggota parlemen, dan sebagainya. Partisipasi politik adalah kegiatan-kegiatan sukarela dari warga masyarakat melalui makna mereka mengambil bagian dalam proses pemilihan penguasa dan secara langsung atau tidak langsung, dalam proses pembentukan kebijakan umum.
Dalam perspektif pengertian yang generik, Budiardjo  memaknai partisipasi politik adalah:  Merujuk pemikiran politik tersebut dalam konteks sejarah penyelenggaraan pemilihan umum sebagai pesta demokrasi, secara empirik dapat dicermati tingkat partisipasi politik dan perkembangan golput di Indonesia. Salah satu yang terjadi dari Pemilihan Umum hingga saat ini adalah tingginya angka golput dimana-mana. Berbagai definisi partisipasi politik dari para pakar ilmu politik tersebut diatas, secara eksplisit mereka memaknai partisipasi politik bersubstansi  core political activity  yang bersifat personal dari setiap warga  negara secara sukarela untuk berperan  serta dalam proses pemilihan umum untuk memilih para pejabat publik, baik secara langsung maupun tidak langsung dalam proses penetapan  kebijakan publik.
Tingkat partisipasi politik pada Pemilu rezim Orde Lama (1955), rezim Orde Baru (1971-1997) dan Orde Reformasi (periode awal 1999) cukup tinggi, yaitu rata-rata diatas 90%, diiringi dengan tingkat Golput yang relatif  rendah, yaitu dibawah 10% (masih dalam batas kewajaran). Tingkat partisipasi poitik pemilih dalam Pemilu di Indonesia pada Pemilu tahun 1955 mencapai 91,4 % dan jumlah Golput mencapai 8,6%, pada Pemilu 1971 tingkat partisipasi politik pemilih 96,6% dan jumlah Golput mencapai 3,4 %, Pemilu 1977 dan Pemilu 1982 tingkat partisipasi politik pemilih 96,5% dan jumlah Golput mencapai 3,5%, pada Pemilu 1987 tingkat partisipasi politik pemilih mencapai 96,4% dan jumlah Golput 3,6%, pada Pemilu 1992 tingkat partisipasi politik pemilih mencapai 95,1% dan jumlah Golput mencapai 4,9%, pada Pemilu 1997 tingkat partisipasi politik pemilih mencapai 93,6% dan jumlah Golput mencapai 6,4%, pada Pemilu 1999 tingkat partisipasi politik pemilih mencapai 92,6%  dan jumlah Golput 7,3%, pada Pemilu Legislatif tahun 2004 tingkat partisipasi politik pemilih mencapai 84,1% dan jumlah Golput 15,9%, pada Pilpres putaran pertama tingkat partisipasi politik pemilih mencapai 78,2% dan jumlah Golput 21,8%, sedangkan pada Pilpres putaran kedua tingkat partisipasi politik pemilih mencapai 76,6% dan jumlah Golput 23,4%. Pada Pemilu Legislatif tahun 2009 tingkat partisipasi politik pemilih semakin menurun yaitu hanya mencapai 70,9% dan jumlah Golput semakin meningkat yaitu 29,1% dan pada Pilpres 2009 tingkat partisipasi politik pemilih mencapai 71,7% dan jumlah Golput mencapai 28,3%.
Selanjutnya secara eksplisit, Huntington dan Nelson  membedakan partisipasi politik kedalam dua karakter, yaitu:
a. Partisipasi yang demokratis dan otonom adalah bentuk partisipasi politik yang sukarela
b. Partisipasi yang dimanipulasi, diarahkan, dan disponsori oleh Pemerintah adalah bentuk partisipasi yang dimobilisasikan.
Di era Orde Baru partisipasi politik yang dimobilisasikan merupakan kontribusi hasil mobilisasi politik yang dilakukan oleh jaringan aparat birokrasi pemerintahan Orde Baru, bersinergi dengan dukungan pengaruh para tokoh-tokoh masyarakat karismatik sebagai panutan yang telah dikooptasi oleh birokrasi pemerintahan sebagai wasit, namun ikut bermain politik sebagai orang Golkar. Kinerja kolaboratif tersebut membuktikan mampu menekan presentase tingkat Golput.
Secara prediktif jika kondisi politik dan ekonomi kurang  kondusif, maka penyelenggaraan Pileg dan Pilpres 2009 nampaknya juga akan menghadapi realitas kondisional, yaitu di satu sisi penurunan partisipasi politik pemilih, dan di sisi lain meningkatnya jumlah golput, sehingga akan timbul apatisme politik, seperti dikemukakan oleh McClosky bahwa:  Ada yang tidak ikut pemilihan karena sikap acuh tak acuh dan tidak tertarik oleh ,asalah pemerintahan, atau kurang paham mengenai, masalah politik. Ada juga karena tidak yakin bahwa usaha untuk mempengaruhi kebijakan Pemerintah akan berhasil dan ada juga yang sengaja tidak memanfaatkan kesempatan memilih karena kebetulan berada dalam lingkungan dimana ketidaksertaan merupakan hal yang terpuji.
Banyak pandangan tentang pilihan Golput tersebut dan semakin banyaknya masyarakat  yang tidak menggunakan hak pilihnya dalam pemilu atau biasa disebut sebagai kelompok golput. Setidak-tidaknya ada beberapa hal penting tentang kenapa harus menggunaan hak pilihnya dengan baik. Pertama, pilihan untuk tidak memilih (golput) merupakan bentuk pemborosan terhadap anggaran belanja Negara (untuk pemilu) dan APB daerah (untuk pilkada). Padahal, dalam momentum pemilu maupun pilkada, tidak sedikit dana yang dikeluarkan. Kedua, golput juga akan menguntungkan calon yang belum tentu berkualitas atau disukai.
Artinya, calon bisa menang hanya dengan perolehan suara rendah atau hanya mempunyai basis massa sedikit karena lebih banyak masyarakat yang golput. Ini mengakibatkan legitimasi kekuasaan calon terpilih akan berkurang. Dalam pemilihan secara langsung seperti saat ini, maka calon yang terpilih akan merasa bahwa ia pilihan “rakyat” dan bebas melakukan apa yang dikehendakinya.  Justru hal ini menjadi bumerang bagi golput. Sehingga, hal yang perlu dilakukan agar dapat mencegah golput yaitu : yang penting adalah melakukan gerakan kultural untuk mengembalikan semangat memilih, menggunakan hak pilih  dalam pemilu maupun pilkada untuk melawan budaya golput. Bisa dilakukan kampanye besar-besaran, melibatkan semua kelompok dalam masyarakat. Dan perlunya adanya pendidikan dan sosialisasi politik kepada pemilih, khususnya bagi pemula untuk tidak menjadi golput dan memahami arti pentingnya partisipasi masyarakat dalam Pemilu.
            Pada masa reformasi sekarang ini pemaknaan istilah golput telah mengalami pergeseran. Hal itu tidak terlepas adanya perubahan paradigma bahwa memilih bukanlah seperti yang terjadi pada masa orde baru melainkan hak pemilih untuk ikut atau tidak dalam pemilu/pilkada. Seiring dengan perubahan paradigma tersebut istilah golput pada saat ini merupakan penyebutan untuk orang-orang yang tidak ikut dalam pemilu atau pilkada. Dengan hanya melihat hasil pemilu atau pilkada maka golput tidak mungkin terdeteksi dengan baik. Sebab hasil pemilu tidak pernah disertai informasi alasan mengapa pemilih ikut memilih, tidak ikut memilih, atau memilih secara salah.
Meskipun tingginya angka golput menjadi gejala umum dalam Pemilu Legislatif di banyak wilayah dan kemungkinan fenomena Golput ini juga akan menjadi gejala umum Pemilu Presiden di masa mendatang, hingga saat ini belum ada penjelasan yang memadai apa yang menyebabkan seorang pemilih memilih tidak menggunakan hak  pilihnya. Berbagai penjelasan mengenai golput di Indonesia hingga saat ini masih didasarkan pada asumsi dan belum didasarkan pada riset yang kokoh. Pengamat dan penyelenggara Pemilu memang kerap melontarkan pendapat tentang penyebab rendahnya tingkat partisipasi pemilih. Tetapi berbagai penjelasan itu didasarkan pada pengamatan dan bukan berdasarkan hasil riset.
Hingga saat ini, ada sejumlah penjelasan yang dikemukakan oleh para pengamat atau penyelenggara Pemilu tentang penyebab adanya Golput. Pertama, administratif. Seorang pemilih tidak ikut memilih karena terbentur dengan prosedur administrasi seperti tidak mempunyai kartu pemilih, tidak terdaftar dalam daftar pemilih dan sebagainya. Kedua, teknis. Seseorang memutuskan tidak ikut memilih karena tidak ada waktu untuk memilih seperti harus bekerja di hari pemilihan, sedang ada keperluan, harus ke luar kota di saat hari pemilihan dan sebagainya. Ketiga, rendahnya keterlibatan atau ketertarikan pada politik (political engagement). Seseorang tidak memilih karena tidak merasa tertarik dengan politik, acuh dan tidak memandang Pemilu atau Pilkada sebagai hal yang penting. Keempat, kalkulasi rasional. Pemilih memutuskan tidak menggunakan hak pilihnya karena secara sadar memang memutuskan untuk tidak memilih. Pemilu legislatif dipandang tidak ada gunanya, tidak akan membawa perubahan berarti atau tidak ada calon kepala daerah yang disukai dan sebagainya.
            Maka dari penjelasan di atas, masyarakat golongan putih (golput) terbagi atas dua bagian, yaitu masyarakat yang tidak terdaftar sebagai pemilih pada pemilihan dan masyarakat yang terdaftar sebagai pemilih tetapi tidak menggunakan hak pilihnya pada pemilihan. Dalam hal ini penulis akan meneliti masyarakat golongan putih yang telah terdaftar sebagai pemilih tetapi tidak menggunakan hak pilihnya pada pemilu di tingkat desa. Faktor-faktor apa yang mempengaruhi masyarakat tersebut sehingga tidak menggunakan hak pilihnya pada pemilu di tingkat desa. Mana penjelasan yang lebih cocok untuk fenomena ini, hal ini menjadi latar belakang peneliti untuk fenomena golput sehingga dapat mengetahui apa yang menyebabkan pemilih tidak menggunakan hak pilihnya. Faktor-faktor apa sajakah yang menimbulkan perilaku ini yang akan menjadi fokus dalam penelitian ini.
Pilkades secara langsung pada tanggal 25 November 2012 berlangsung di desa Gunung Agung Kecamatan Terusan Nunyai. Desa Gunung Agung yang merupakan salah satu desa di kecamatan Terusan Nunyai melaksanakan pilkades secara langsung. Dalam hasil pemilihan, ternyata masih didapati jumlah masyarakat yang terdaftar sebagai pemilih tetapi tidak menggunakan hak pilihnya pada pilkades yaitu sekitar 37%. Padahal jumlah suara yang tidak ikut memilih cukup besar dan sangat berpengaruh pada hasil pilkades tersebut.

1.2  Rumusan Masalah
Dengan adanya demokrasi rakyat bebas menentukan pilihannya untuk memilih pemimpin seperti apa dan mau hidup seperti apa, mereka bebas menentukan sikap dan tujuan masing-masing. Rumusan masalah merupakan bagian pokok  dari kegiatan penelitian, sehingga perumusannya perlu tegas dan jelas agar proses penelitian bisa benar-benar terarah dan terfokus ke permasalahan yang jelas. Rumusan masalah juga diperlukan untuk mempermudah menginterpretasikan data dan fakta yang diperlukan dalam suatu penelitian. Salah satu contoh adanya demokrasi ditingkat lokal adalah PILKADES, yang dapat diartikan sebagai kemajuan partisipasi politik ditingkat desa.

Dari pernyataan diatas, penulis merumuskan masalah dalam penelitian ini sebagai berikut ;
Faktor-faktor apa saja yang mempengaruhi Munculnya Golongan Putih di Desa Gunung Agung Kecamatan Terusan Nunyai pada Pilkades 2012.”

1.3  Tujuan Penelitian

Tujuan penelitian ini adalah untuk :
Mengetahui dan menganalisis faktor-faktor apa sajakah yang mempengaruhi Munculnya Golongan Putih di Desa Gunung Agung Kecamatan Terusan Nunyai pada Pilkades 2012.

1.4 Manfaat Penelitian
 Sedangkan manfaat dari penelitian ini adalah:
1.  Bagi penulis, untuk mengembangkan kemampuan berpikir penulis melalui karya ilmiah dan sebagai penerapan dari berbagai teori yang penulis dapatkan selama dalam masa perkuliahan.
2.  Memberikan bahan masukan kepada pengambil kebijakan Pemerintah dalam hal ini Komisi Pemilihan Umum, Departemen Dalam Negeri dan Pemerintahan Daerah dalam kaitannya dengan perilaku pemilih.
3. Menambah wawasan pembaca terhadap perilaku golput dalam PILKADES, penelitian ini juga dapat digunakan untuk kajian akademik terutama jurusan ilmu politik dalam memprediksi kemenangan calon pilkades.
4.  Untuk menambah referensi mengenai Golongan Putih. 
BAB II
KERANGKA TEORI

Secara umum pendekatan perilaku pemilih dalam ilmu politik terbagi ke dalam tiga garis besar pendekatan/ model. Pertama, pendekatan yang sangat psikologis yang disebut identifikasi partai (party identification). Kedua, pendekatan yang menganggap individu memiliki kapasitas rasional untuk menentukan pilihan-pilihannya (rational choice). Pemilih dianggap memahami, mengapa ia memilih, apa dampak dari pilihannya itu dan ia sadar betul pilihan yang diambil adalah instrumen penting bagi artikulasi kepentingan politiknya. Lalu pendekatan yang terakhir, adalah pendekatan secara sosiologis (sociological approach). Pendekatan ini melihat pentingnya basis sosial dalam menentukan perilaku memilih. Misalkan, identitas sosial seperti agama, kelas sosial, dan suku bangsa menjadi alasan utama seseorang memilih sebuah partai atau seorang kandidat. Sekarang mari kita bahas secara singkat pendekatan-pendekatan ini, dan memutuskan mana yang paling mungkin untuk menjelaskan fenomena PILKADES.

Pendekatan party identification menekankan pentingnya keluarga dalam sosialisasi politik terhadap anak, hingga mentransmisikan apa yang disebut dengan psychological attachment (kedekatan psikologis) antargenerasi. Pendekatan antar generasi yang dimaksud adalah nilai-nilai kesetiaan terhadap partai politik, figur yang akan diwariskan orang tua kepada anaknya, usia anak yang masih belia sampai dewasa akan selalu dijejali informasi politik yang dianut oleh orang tuanya.
Sehingga ketia dewasa kelak, si anak akan berperilaku memilih dan pilihan politik demikian.

Sementara itu pendekatan rational choices menganggap pemilih merupakan individu bebas. Individu memilih bukan karena adanya kedekatan psikologis dengan calon atau partai tertentu. Seseorang menentukan pilihan politiknya tidak berdasarkan latar belakang keluarga, budaya maupun kelas sosial di mana dia berada. Pilihan-pilihan politik tersebut murni sebagai pencerminan kepentingan pribadinya. Seluruh pemilih dalam pendekatan ini dianggap memahami benar makna pilihannya dan dampaknya bagi dirinya. Masalahnya, pendekatan ini hanya mampu memahami individu dengan ukuran-ukuran tertentu. Misalnya, si pemilih harus berpendidikan tinggi, tingat ekonomi yang mumpuni dan sebagainya. Pra-syarat ini sepertinya yang harus dipenuhi terlebih dulu, jika ingin menganggap individu menjadi rasional dalam memilih. 

Pendekatan sosiologis melihat pentingnya basis sosial seseorang di masyarakat. Basis sosial diartikan beragam, misalnya mulai dari agama, suku, dan kelas sosial yang dimiliki seseorang. Kalau saya sebagai pemilih, maka pendekatan ini akan memulai analisanya dari faktor-faktor tersebut. Sebagai contohnya, kalau saya beragama Islam, maka ada kemungkinan besar saya akan memilih partai Islam.
Ian Mc Allister (1992) dalam bukunya, Political Behaviour: Citizen, Parties, and Elites in Australia, mencatat ada perilaku pemilih Australia yang konsen pada faktor struktural (memilih berdasarkan kedekatan kelas sosial-ekonomi, desa-kota,) dan faktor ekologi (memilih berdasar pada kedekatan karakterisik wilayah pedalaman, pesisir, pertanian, perkebunan.

Unsur penelitian yang paling besar peranannya dalam penelitian adalah teori karena dengan unsur inilah peneliti mencoba menerangkan fenomena sosial atau fenomena alami yang menjadi pusat perhatiannya. Teori adalah serangkaian asumsi, konsep, konstrak, defenisi, dan proposisi untuk menerangkan suatu fenomena sosial secara sistematis dengan cara merumuskan hubungan antar konsep.
Oleh karena itu, dalam kerangka teori ini penulis akan memaparkan teori-teori yang merupakan landasan berpikir dalam menggambarkan masalah penelitian yang sedang disoroti.  Teori-teori yang relevan dengan masalah penelitian ini antara lain:                                             
2.1  Partisipasi Politik
Partisipasi merupakan salah satu aspek penting demokrasi. Partisipasi merupakan taraf partisipasi politik warga masyarakat dalam kegiatan-kegiatan politik baik yang  bersifat aktif maupun pasif dan bersifat langsung maupun yang bersifat tidak langsung guna mempengaruhi kebijakan pemerintah. Wahyudi Kumorotomo mengatakan, “Partisipasi adalah berbagai corak tindakan massa maupun individual yang memperlihatkan adanya hubungan timbal balik antara pemerintah dan warganya.”
“Partisipasi adalah kegiatan warga yang bertindak sebagai pribadi-pribadi, yang dimaksud untuk mempengaruhi pembuatan keputusan oleh pemerintah, partisipasi bisa bersifat pribadi-pribadi atau kolektif, terorganisir atau spontan, mantap atau sporadis, secara damai atau dengan kekerasan, legal atau ilegal, efektif atau tidak efektif.”
Lebih jauh dia mengingatkan bahwa secara umum corak partisipasi warga negara dibedakan menjadi empat macam, yaitu : pertama, partisipasi dalam pemilihan (electoral participation), kedua, partisipasi kelompok (group participation), ketiga, kontak antara warga negara dengan warga pemerintah (citizen government contacting) dan keempat, partisipasi warga negara secara langsung.

Sedangkan Ramlan Surbakti mendefinisikan, partisipasi politik adalah kegiatan warga negara biasa dalam mempengaruhi pembuatan dan pelaksanaan kebijakan umum dan dalam ikut menentukan pemimpin pemerintah.
Pengertian Hutington dan Nelson mengenai partisipasi politik dibatasi beberapa hal, yaitu : pertama, Hutington dan Nelson mengartikan partisipasi politik hanyalah mencakup kegiatan-kegiatan dan bukan sikap-sikap. Dalam hal ini, mereka tidak memasukkan komponen-komponen subjektif seperti pengetahuan tentang politik, keefektifan politik, tetapi yang lebih ditekankan adalah agaimana berbagai sikap dan perasaan tersebut berkaitan dengan bentuk tindakan politik. Kedua, yang dimaksud dengan partisipasi politik adalah warga negara biasa, bukan pejabat-pejabatpemerintah. Hal ini didasarkan pada pejabat-pejabat yang mempunyai pekerjaan professional di bidang itu, padahal justru kajian ini pada warga negar biasa. Ketiga, kegiatan olitik adalah kegiatan yang dimaksud untuk mempengaruhi keputusan pemerintah. Kegiatan yang dimaksudkan misalnya membujuk atau menekan pejabat pemerintah untuk bertindak dengan cara-cara tertentu untuk menggagalkan keputusan, bahkan dengan cara  mengubah aspek-aspek sistem politik. Dengan itu protes-protes, demonstrasi, kekerasan bahkan bentuk kekerasan pembrontak untuk mempengaruhi kebijakan pemerintah dapat disebut sebagai partisipasi politik. Keempat, partisipasi juga mencakup semua kegiatan yang mempengaruhi pemerintah, terlepas tindakan itu efektif atau tidak, berhasil atau gagal. Kelima, partisipasi politik dilakukan langsung atau tidak langsung, artinya langsung oleh pelakunya sendiri tanpa menggunakan perantara, tetapi ada pula yang tidak  langsung melalui orang-orang yang dianggap dapat menyalurkan ke pemerintah. Perilaku politik seseorang dapat dilihat dari bentuk partisipasi politik yang dilakukannya.

Bentuk partisipasi politik dilihat dari segi kegiatan dibagi menjadi dua, yaitu:
a.       Partisipasi aktif, bentuk partisipasi ini berorientasi kepada segi masukan dan keluaran suatu sistem politik. Misalnya, kegiatan warga negara mengajukan usul mengenai suatu kebijakan umum, mengajukan alternatif kebijakan umum yang berbeda dengan kebijakan pemerintah, mengajukan kritik dan saran perbaikan untuk meluruskan kebijaksanaan, membayar pajak, dan ikut srta dalam kegiatan pemilihan pimpinan pemerintahan. 
b.      Partisipasi pasif, bentuk partisipasi ini berorientasi kepada segi keluaran suatu sistem politik.  Misalnya, kegiatan mentaati peraturan/perintah, menerima, dan melaksanakan begitu saja setiap keputusan pemerintah.

Selain kedua bentuk partisipasi diatas tetapi ada sekelompok orang yang menganggap masyarakat dan sistem politik yang ada dinilai telah menyinggung dari apa yang dicita-citakan sehingga tidak ikut serta dalam politik.  Orang-orang yang tidak ikut dalam politik mendapat beberapa julukan, seperti apatis, sinisme, alienasi, dan anomie. 
1.  Apatis (masa bodoh) dapat diartikan sebagai tidak punya minat atau tidak punya perhatian terhadap orang lain, situasi, atau gejala-gejala.
2.  Sinisme menurut Agger diartikan sebagai kecurigaan yang busuk dari manusia, dalam hal ini dia melihat bahwa politik adalah urusan yang kotor, tidak dapat dipercaya, dan menganggap  partisipasi politik dalam bentuk apa pun sia-sia dan tidak ada hasilnya.
3.  Alienasi menurut Lane sebagai perasaan keterasingan seseorang dari politik dan pemerintahan masyarakat dan kecenderungan berpikir mengenai pemerintahan dan politik bangsa yang dilakukan oleh orang lain untuk orang lain tidak adil.
4.  Anomie, yang oleh Lane diungkapkan sebagai suatu perasaan kehidupan nilai dan ketiadaan awal dengan kondisi seorang individu mengalami perasaan ketidakefektifan  dan bahwa para penguasa bersikap tidak peduli yang mengakibatkan devaluasi dari tujuan-tujuan dan hilangnya urgensi untuk bertindak.
Menurut Rosenberg ada 3 alasan mengapa orang enggan sekali berpartisipasi politik:
Pertama bahwa individu memandang aktivitas politik merupakan ancaman terhadap beberapa aspek kehidupannya. Ia beranggapan bahwa mengikuti kegiatan politik dapat merusak hubungan sosial, dengan lawannya dan dengan pekerjaannya karena kedekatannya dengan partai-partai politik tertentu.  Kedua,  bahwa konsekuensi yang ditanggung dari suatu aktivitas politik mereka sebagai pekerjaan sia-sia. Mungkin disini individu merasa adanya jurang pemisah antara cita-citanya dengan realitas politik. Karena jurang pemisah begitu besarnya sehingga dianggap tiada lagi aktifitas politik  yang kiranya dapat menjembatani.  Ketiga,  beranggapan bahwa memacu diri untuk tidak terlibat atau sebagai perangsang politik adalah sebagai faktor yang sangat penting untuk mendorong aktifitas politik.
Maka dengan tidak adanya perangsang politik yang sedemikian, hal itu membuat atau mendorong kearah perasaan yang semakin besar bagi dorongan apati.  Disini individu merasa bahwa kegiatan bidang politik diterima sebagai yang bersifat pribadi sekali daripada sifat politiknya. Dan dalam hubungan ini, individu merasa bahwa kegiatan-kegiatan politik tidak dirasakan secara langsung menyajikan kepuasan yang relative kecil. Dengan demikian partisipasi politik diterima sebagai suatu hal yang sama sekali tidak dapat dianggap sebagai suatu yang dapat memenuhi kebutuhan pribadi dan kebutuhan material individu itu.

2.2  Masalah Golput
Menjelang pemilihan umum tahun 1977 timbul suatu gerakan di antara beberapa kelompok generasi muda, terutama mahasiswa, untuk memboikot pemilihan umum karena dianggap  kurang memenuhi syarat yang diperlukan  untuk melaksanakan pemilihan umum secara demokratis. Yang  disebut antara lain ialah kkurang adanya kebebasan-kebebasan (civil liberties) yang merupakan prasyarat bagi suatu pemilihan yang jujur dan adil. Untuk melaksanakan sikap ini mereka bertekad untuk mengunjungi masing-masing tempat pemilihan umum (TPS). Mereka menamakan dirinya Golongan Putih atau Golput.
            Banyak media massa kemudian mempunyai keinginan untuk mengukur pengaruh dari Golput ini atas pemilihan umum. Perlu diperhatikan bahwa ada beberapa kategori pemilih resmi yang ditentukan oleh pemerintah. Diantaranya ada dua kategori yang relevan, yaitu kategori suara tak sah dan kategori yang tak menggunakan hak pilih. Dalam banyak media massa dua kategori ini dijadikan satu, dan Golput dinyatakan termasuk didalamnya. Pengelompokan itu memang menghasilkan angka yang cukup tinggi yaitu 6,6% (1971), 9,1% (1977), 8,5% (1982), 8,7% (1987), dan 9,1% (1992).
            Pandangan ini dapat diragukan kebenarannya karena secara teoritis Golput tidak termasuk kategori suara tidak sah, kecuali diantara mereka ada yang dengan sengaja merusak kertas pemilihan. Lebih besar kemungkinan Golput termasuk kategori yang tak menggunakan hak pilih. Jumlah kategori ini (termasuk golput) adalah 0,7% (1971), 3,5% (1977), 4,8% (1982), 3,8% (1987), dan 4,9% (1992) jelas lebih rendah.
            Mengenai kategori tidak menggunakan hak pilih perlu disadari bahwa kategori ini sukar dihitung karena tidak hanya mencakup Golput namun juga menyangkut orang yang tidak datang ke TPS karena sakit, atau sedang dalam perjalanan, atau yang tidak perduli. Sekalipun demikian, harus diakui bahwa angka dari mereka yang “tak menggunakan hak pilih” dalam pemilihan umum 1977 dan pemulihan umum berikutnya, menunjukan kenaikan dibanding dengan hasil pemilihan umum 1971. Bagaimanapun juga Golput telah menunjuk pada salah satu kelemahan dari rezim Orde Baru dan hal itu patut dihargai.
2.3  Faktor-faktor Yang Mempengaruhi Munculnya Golput
1.  Faktor Sosial Ekonomi
Menempatkan variabel status sosial-ekonomi sebagai variabel penjelasan perilaku  non-voting  selalu mengandung makna ganda. Pada satu sisi, variabel status sosial ekonomi memang dapat diletakkan sebagai variabel independen untuk menjelaskan perilaku non-voting  tersebut.
            Namun, pada sisi lain, variabel tersebut juga dapat digunakan sebagai indikator untuk mengukur karakteristik pemilih  non-voting  itu sendiri. Setidaknya ada empat indikator yang bisa digunakan mengukur variabel status sosial ekonomi, yaitu tingkat pendidikan, tingkat pendapatan, pekerjaan dan pengaruh keluarga.  Lazimnya, variabel status sosial-ekonomi digunakan untuk menjelaskan perilaku memilih. Namun dengan menggunakan proporsi yang berlawanan, pada saat yang sama variabel tersebut sebenarnya juga dapat digunakan untuk menjelaskan perilaku  non-voting. Artinya, jika tinggi tingkat pendidikan berhubungan dengan kehadiran memilih, itu berarti rendahnya tingkat pendidikan berhubungan dengan ketidakhadiran pemilih.
            Ada beberapa alasan mengapa tingkat  status sosial-ekonomi berkorelasi dengan kehadiran atau ketidakhadiran pemilih, yaitu :
a.       Pekerjaan-pekerjaan tertentu lebih mengahargai partisipasi warga.
Para pemilih yang bekerja di lembaga-lembaga sektor-sektor yang berkaitan langsung dengan kebijakan pemerintah cenderung lebih tinggi tingkat kehadiran dalam pemilu dibanding para pemilih yang bekerja pada lembaga-lembaga atau sektor-sektor yang tidak mempunyai kaitan langsung dengan kebijakan-kebijakan pemerintah. Para pegawai negeri atau pensiunan, menunjukkan tingkat kehadiran memilih lebih tinggi dibanding dengan yang lain. Sebab, mereka sering terkena langsung dengan kebijakan pemerintah, seperti misalnya kenaikan gaji, pemutusan hubungan kerja, dan sebagainya. Begitu pula para pensiunan yang sangat berkepentingan langsung dengan berbagai kebijakan pemerintah, khususnya tentang besarnya tunjangan pensiun kesehatan, kesejahteraan atau tunjangan-tunjangan lainnya.
b.      Tingkat pendidikan
Tingkat pendidikan dapat dikatakan turut mempengaruhi perilaku pemilih masyarakat di desa Gunung Agung Kecamatan Terusan Nunyai. Faktor pendidikan merupakan hal yang sangat penting untuk diperhatikan, sebab pendidikan sebagai suatu kegiatan yang dapat meningkatkan kemampuan seseorang dalam menganalisa teori serta mampu untuk menentukan keputusan dalam persoalan-persoalan untuk mencapai tujuan menjadi faktor yang penting bagi masyarakat sebagai pelaku partisipasi aktif dalam pemilihan. Karena semakin tinggi pendidikan seseorang, maka ketajaman dalam menganalisa informasi tentang politik dan persoalan-persoalan sosial yang diterima semakin meningkat dan menciptakan minat dan kemampuannya dalam berpolitik.
c.       Pengaruh Keluarga
Keluarga juga memberikan pengaruh yang cukup besar pada masyarakat desa Gunung Agung Kecamatan Terusan Nunyai dalam hal tidak ikut memilih pada Pilkades, kuatnya pengaruh pimpinan keluarga (ayah) dalam menentukan pilihan politik keluarga. Secara umum apabila kepala keluarga (ayah) tidak ikut memilih akan memberikan pengaruh kepada anggota keluarga lainnya untuk tidak ikut memilih.
2.   Faktor Psikologis
Penjelasan nonvoting dari faktor psikologis pada dasarnya dikelompokkan dalam dua kategori. Pertama, berkaitan dengan ciri-ciri kepribadian seseorang. Kedua, berkaitan dengan orientasi kepribadian.  Penjelasan pertama melihat bahwa perilaku  nonvoting    disebabkan oleh kepribadian yang tidak toleran, otoriter, tak acuh, perasaan tidak aman, perasaan khawatir, kurang mempunyai tanggung jawab secara pribadi, dan semacamnya. Orang yang mempunyai kepribadian yang tidak toleran atau tak acuh cenderung untuk tidak memilih. Sebab, apa yang diperjuangkan kandidat  atau partai politik tidak selalu sejalan dengan kepentingan peroragan secara langsung, betapapun mungkin hal itu menyangkut kepentingan umum yang lebih luas. Dalam konteks semacam ini, para pemilih  yang mempunyai kepribadian tidak toleran atau tak acuh cenderung menarik diri dari percaturan politik langsung, karena tidak berhubungan dengan kepentingannya. Ciri-ciri kepribadian ini umumnya diperoleh sejak lahir bahkan lebih bersifat keturunan dan muncul secara konsisten dalam setiap perilaku.
Faktor lain yang dapat digunakan untuk menandai ciri kepribadian ini adalah kefektifan personal (personal effectiveness), yaitu kemampuan atau ketidakmampuan seseorang untuk memimpin lingkungan di sekitarnya. Misalnya, seberapa jauh seseorang merasa mampu memimpin teman-teman sepermainan, organisasi-organisasi sosial, profesi atau okupasi di mana mereka bekerja, dan sebagainya. Sementara itu, penjelasan kedua lebih menitikberatkan faktor orientasi kepribadian. Penjelasan kedua ini melihat bahwa perilaku  nonvoting disebakan oleh orientasi kepribadian pemilih, yang secara konseptual menunjukkan karakteristik apatis, anomi, dan alienasi. Secara teoritis, perasaan apatis  sebenarnya merupakan jelmaan atau pengembangan lebih jauh dari kepribadian otoriter, yang secara sederhana ditandai dengan tiadanya minat terhadap persoalan-persoalan politik.
Hal ini bisa disebabkan oleh rendahnya sosialisasi atau rangsangan (stimulus) politik, atau adanya perasaan (anggapan) bahwa aktivitas politik tidak menyebabkan perasaan kepuasan atau hasil secara langsung. Anomi merujuk pada perasaan tidak berguna. Mereka melihat bahwa aktivitas politik sebagai sesuatu yang sia-sia, karena mereka merasa tidak mungkin mampu mempengaruhi peristiwa atau kebijaksanaan politik. Bagi para pemilih semacam ini, memilih atau tidak memilih tidak mempunyai pengaruh apa-apa, karena keputusan-keputusan politik seringkali berada diluar kontrol para pemilih. Sebab, para terpilih biasanya menggunakan logika-logikanya sendiri dalam mengambil berbagai keputusan politik, dan dalam banyak hal mereka berada jauh di luar jangkauan para pemilih.
Perasaan  powerlessness  inilah yang disebut sebagai anomi. Sedangkan alienasi berada di luar apatis dan anomi. Alienasi merupakan perasaan keterasingan secara aktif. Seseorang merasa dirinya tidak terlibat dalam banyak urusan politik. Pemerintah dianggap tidak mempunyai pengaruh terutama pengaruh baik terhadap kehidupan seseorang. Bahkan pemerintah dianggap sebagai sesuatu yang mempunyai konsekuensi jahat terhadap kehidupan manusia. Jika perasaan alienasi ini memuncak, mungkin akan mengambil bentuk alternatif aksi politik, seperti melalui  kerusuhan, kekacauan, demonstrasi dan semacamnya.
3.   Faktor Pilihan Rasional
Faktor pilihan rasional melihat kegiatan memilih sebagai produk kalkulasi untung dan rugi. Yang dipertimbangkan tidak hanya “ongkos” memilih dan kemungkinan suaranya dapat  mempengaruhi hasil yang diharapkan, tetapi juga perbedaan dari alternatif berupa pilihan yang ada. Pertimbangan ini digunakan pemilih dan kandidat yang hendak mencalonkan diri untuk terpilih sebagai wakil rakyat atau pejabat pemerintah. Bagi pemilih, pertimbangan untung dan rugi digunakan untuk membuat keputusan tentang partai dan kandidat yang dipilih, terutama untuk membuat keputusan apakah ikut memilih atau tidak ikut memilih. Pada kenyataannya, ada sebagian pemilih yang mengubah pilihan politiknya dari  satu pemilu ke pemilu lainnya. Ini disebabkan oleh ketergantungan  pada peristiwa-peristiwa politik tertentu yang bisa saja mengubah preferensi pilihan politik seseorang. Hal ini berarti ada variabel-variabel lain yang ikut menentukan dalam mempengaruhi perilaku politik seseorang. Ada faktor-faktor situasional yang ikut berperan dalam mempengaruhi pilihan politik seseorang dalam pemilu. Dengan begitu, pemilih bukan hanya pasif melainkan juga individu yang aktif. Ia tidak terbelenggu oleh karakteristik sosiologis, melainkan bebas bertindak. Faktor-faktor situasional, bisa berupa isu-isu politik atau kandidat yang dicalonkan, seperti ketidakpercayaan dengan pemilihan yang bisa membawa perubahan yang lebih baik. Atau ketidakpercayaan masalah akan bisa diselesaikan jika pemimpin baru terpilih, dan sebagainya. Pemilih yang tidak percaya dengan pemilihan akan menciptakan keadaan lebih baik, cenderung untuk tidak ikut memilih. 
Berdasarkan pendekatan ini Him Helwit mendefinisikan perilaku pemilih sebagai pengambilan  keputusan yang bersifat instant, tergantung pada situasi sosial politik tertentu, tidak berbeda dengan pengambilan keputusan lain. Jadi tidak tertutup kemungkinan adanya pengaruh dari faktor tertentu dalam mempengaruhi keputusannya.“Partai politik adalah suatu kelompok yang terorganisir yang anggota-anggotanya mempunyai orientasi, nilai-nilai dan cita-cita yang sama. Tujuan kelompok ini adalah untuk memperoleh kekuasaan politik dan merebut kedudukan politik (biasanya) dengan cara konstitusional untuk melaksanakan kebijaksanaan-kebijaksanaan mereka.

2.4  Perilaku Golongan Putih (Golput)
Istilah golput muncul pertama kali menjelang pemilu pertama zaman Orde Baru tahun 1971. Pemrakarsa sikap untuk tidak memilih itu, antara lain Arief Budiman, Julius Usman dan almarhum Imam Malujo Sumali. Langkah mereka didasari pada pandangan bahwa aturan main berdemokrasi tidak ditegakkan, cenderung diinjak-injak. Bukan hanya memproklamasikan diri sebagai kelompok putih yang tidak memilih, mereka bahkan mengajukan tanda gambar segilima hitam dengan dasar putih. Namun pemilu 1971 menurut versi pemerintahan, diikuti oleh 95 persen pemilih.
Satu hal yang mencuat dari kemunculan fenomena golput adalah merebaknya protes atau ketidakpuasan kelompok masyarakat tertentu terhadap tidak tegaknya prinsip-prinsip demokrasi atau penentangan langsung terhadap eksistensi rezim Orde Baru pimpinan Soeharto. Menjelang Pemilu 1992, golput marak lagi sehingga bayangan kekuatannya diidentikkan sebagai partai keempat, di samping PPP, Golkar dan PDI. Namunn jumlah pemilih pada Pemilu 1992, kembali menurut versi pemerintah, di atas 90 persen, persisnya 91 persen. Sepekan menjelang Pemilu 29 Mei 1997, Ketua Umum Dewan Pimpinan Pusat Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan Megawati Soekarnoputri, selaku pribadi, mengumumkan untuk tidak menggunakan hak politiknya untuk memilih. Pernyataannya ini lalu dianggap sebagai kampanye terselubung kepada massa pendukungnya untuk memboikot pemilu, meski hal itu dibantah Megawati. Meski ada aksi PDI Perjuangan itu, jumlah pemilih pada Pemilu 1997 dilaporkan mencapai 90,58 persen.Sikap orang-orang golput, menurut Arbi Sanit dalam memilih memang berbeda dengan kelompok pemilih lain atas dasar cara penggunaan hak pilih.
Apabila pemilih umumnya menggunakan hak pilih sesuai peraturan yang berlaku atau tidak menggunakan hak pilih karena berhalangan di luar kontrolnya, kaum golput menggunakan hak pilih dengan tiga kemungkinan.  Pertama,  menusuk lebih dari satu gambar partai.  Kedua ,menusuk bagian putih dari kartu suara. Ketiga, tidak mendatangi kotak suara dengan kesadaran untuk tidak menggunakan hak pilih. Bagi mereka, memilih dalam pemilu sepenuhnya adalah hak. Kewajiban mereka dalam kaitan dengan hak pilih ialah menggunakannya secara Angka 90 persen itu memang diakui merupakan angka semu. Karena pemilu-pemilu zaman Soeharto-disebut banyak pihak-identik dengan kecurangan demi untuk memenangkan Golkar. Angka adalah bagian dari rekayasa yang sangat menentukan dan bertanggungjawab dengan menekankan kaitan penyerahan suara kepada tujuan pemilu, tidak  hanya membatasi pada penyerahan suara kepada salah satu kontestan pemilu.
Jadi berdasarkan hal di atas, golput adalah mereka yang dengan sengaja dan dengan suatu maksud dan tujuan yang jelas menolak memberikan suara dalam pemilu. Dengan demikian, orang-orang yang berhalangan hadir di Tempat Pemilihan Suara (TPS) hanya karena alasan teknis, seperti jauhnya TPS atau terluput dari pendaftaran, otomatis dikeluarkan dari kategori golput. Begitu pula persyaratan yang diperlukan untuk menjadi golput bukan lagi sekedar memiliki rasa enggan atau malas ke TPS tanpa maksud yang jelas. Pengecualian kedua golongan ini dari istilah golput tidak hanya memurnikan wawasan mengenai kelompok itu, melainkan juga sekaligus memperkecil kemungkinan terjadinya pengaburan makna, baik di sengaja maupun tidak.
Kedua, golput pragmatis, yakni golput yang berdasarkan kalkulasi rasional betapa ada atau tidak ada pemilu, ikut atau tidak ikut memilih, tidak akan ,  Indra J. Piliang menyatakan bahwa golongan putih (golput) dianggap sebagai bentuk perlawanan atas partai-partai politik dan calon presiden-wakil presiden yang tidak sesuai dengan aspirasi orang-orang yang kemudian golput. Dia membagi golput menjadi 3 bagian yaitu:  Pertama,  golput ideologis, yakni segala jenis penolakan atas apa pun produk sistem ketatanegaraan hari ini. Golput jenis ini mirip dengan golput era 1970-an, yakni semacam gerakan anti-state,  ketika  state  dianggap hanyalah bagian korporatis dari sejumlah elite terbatas yang tidak punya legitimasi kedaulatan rakyat. Bagi golput jenis ini, produk UU sekarang, termasuk UU pemilu, hanyalah bagian dari rekayasa segolongan orang yang selama ini mendapatkan keistimewaan dan hak-hak khusus. Sistem Pemilu 1999, sebagaimana diketahui, hanyalah memilih tanda gambar sehingga rakyat tidak bisa memilih orang. Demokrasi berlangsung dalam wilayah abu-abu dan semu. berdampak atas diri si pemilih. Sikap mereka setengah-setengah memandang proses pemilihan suara pada hari H, antara percaya dan tidak percaya. Ketiga, golput politis, yakni golput yang dilakukan akibat pilihan-pilihan politik. Kelompok ini masih percaya kepada negara, juga percaya kepada pemilu, tetapi memilih golput akibat preferensi politiknya berubah atau akibat sistemnya secara sebagian merugikan mereka. Sedangkan menurut Novel Ali, di Indonesia terdapat dua kelompok golput.
Pertama,  adalah kelompok golput awam. Yaitu mereka yang tidak mempergunakan hak pilihnya bukan karena alasan politik, tetapi karena alasan ekonomi, kesibukan dan sebagainya. Kemampuan politik kelompok ini tidak sampai ke tingkat analisis, melainkan hanya sampai tingkat deskriptif saja. Kedua, adalah kelompok golput pilihan. Yaitu mereka yang tidak bersedia menggunakan hak pilihnya dalam pemilu benar-benar karena alasan  politik. Misalnya tidak puas dengan kualitas partai politik yang ada. Atau karena mereka menginginkan adanya satu organisasi politik lain yang sekarang belum ada. Maupun karena mereka mengkehendaki pemilu atas dasar sistem distrik, dan berbagai alasan lainnya. Kemampuan analisis politik mereka jauh lebih tinggi disbanding golput awam. Golput pilihan ini memiliki kemampuan analisis politik yang tidak cuma berada pada tingkat deskripsi saja, tapi juga pada tingkat evaluasi.
2.5  Fenomena Golongan Putih dan Pengaruhnya Terhadap Kesuksesan Pemilihan Kepala Desa Di Desa Gunung Agung Kecamatan Terusan Nunyai Kabupaten Lampung Tengah
Golput (non-voting behaviour) dipahami sebagai bentuk partisipasi politik warga negara yang muncul karena beragam latar belakang. Memilih adalah hak (right) politik warga negara yang by its nature mengandung arti legal or moral entitlement (authority to act), yang mengandung kebebasan pemilik hak itu untuk menggunakan atau tidak menggunakannya.
Karena esensi filosofis inilah maka demokrasi memberi ruang bagi pilihan untuk golput secara setara dengan pilihan untuk memilih. Golput diberi ruang dalam demokrasi, guna meluruskan demokrasi, meluruskan politik dan pemerintahan yang korup melalui gerakan moral. Bagi kalangan pendukung golput, golput diancangkan sebagai gerakan check and balances yang dalam demokrasi dibutuhkan.
Disisi lain, eskalasi golput juga sangat menghawatirkan perkembangan demokrasi yang berkualitas karena merosotnya kredibilitas kinerja partai politik sebagai mesin pembangkit partisipasi politik. Kehawatiran ini juga dikemukan Anthony Giddens “haruskah kita menerima lembaga-lembaga demokrasi tersingkir dari titik di mana demokrasi sedang marak”. Demokrasi identik dengan kebebasan dan partisipasi dari semua kekuatan demokrasi. Kekuatan demokrasi dimaksud di dalamnya termasuk masyarkat, selain juga partai politik dan organisasi masyarkat.
Partisipasi politik yang meluas merupakan ciri dari modernisasi politik. Sikap dan persepsi bagian penting dari pesta demokrasi. Maka tingginya angka golput menandakan sistem politik dan sistem pemilu yang sedang dijalankan belum berada dalam ruang demokrasi sesungguhnya. Huntington dan Nelson memaknai partisipasi politik sebagai: partisipasi politik adalah kegiatan warga negara yang bertindak sebagai pribadi-pribadi, yang dimaksud untuk mempengaruhi pembuatan keputusan oleh Pemerintah.
Partisipasi biasa bersifat individual atau kolektif, terorganisir atau spontan, mantap atau sporadik, secara damai atau dengan kekerasan, legal atau illegal, efektif atau
tidak efektif. Dengan demikian, partisipasi politik lebih berfokus pada kegiatan politik rakyat secara pribadi dalam proses politik, seperti memberikan hak suara atau kegiatan politik lain (golput) yang dipandang dapat mempengaruhi pembuatan kebijakan politik oleh pemerintah. Partisipasi politik tidak mencakup kegiatan pejabat-pejabat birokrasi, pejabat partai, dan lobbyist professional yang bertindak dalam konteks jabatan yang diembannya.
Sementara Budiardjo memaknai partisipasi politik sebagai: Kegiatan seseorang atau kelompok orang untuk ikut serta secara aktif dalam kehidupan politik, yaitu dengan jalan memilih pimpinan negara dan secara langsung atau tidak langsung, mempengaruhi kebijakan Pemerintah (public policy). Kegiatan ini mencakup tindakan seperti memberikan suara dalam pemilihan umum menghadiri rapat umum, menjadi anggota suatu partai atau kelompok kepentingan, mengadakan hubungan (contacting) dengan pejabat pemerintah atau dengan anggota parlemen, dan sebagainya. Merujuk pemikiran politik tersebut dalam konteks sejarah penyelenggaraan pemilihan umum sebagai pesta demokrasi, secara empirik dapat dicermati tingkat partisipasi politik dan perkembangan golput di Indonesia.
Tingginya partisipasi rakyat pada penyelenggaraan pemilu masa Orde Baru bukan berdasarkan apa yang dikatakan Budiharjo sebagai kesukarelaan, melainkan mobilisasi massa yang sengaja digerakkan. Maka partisipasi demikian merupakan partisipasi semu, partisipasi yang didasarkan pada harmonisasi dan suatu waktu akan menjadi ledakan emosi seperti lahirnya gelombang golput di era reformasi.
Penilaian Hantington dapat menjelaskan dengan cermat tentang hal tersebut yang menyatakan: “Beberapa studi secara eksplisit tidak menganggap tindakan yang dimobilisasikan atau yang dimanipulasikan sebagai partisipasi politik, yaitu lebih menekankan sifat sukarela dari partisipasi dengan argumentasi bahwa menjadi anggota organisasi atau menghadiri rapat-rapat umum atas perintah pemerintah tidak termasuk partisipasi politik”. Lebih lanjut Hantington membedakan partisipasi politik ke dalam dua karakter, yaitu:
a. Partisipasi yang demokratis dan otonom adalah bentuk partisipasi politik    yang sukarela
b. Partisipasi yang dimanipulasi, diarahkan, dan disponsori oleh pemerintah adalah bentuk partisipasi yang dimobilisasikan.
Oleh karenanya, tingginya angka golput dapatlah dirumuskan bagian dari kesadaran perilaku politik. Dalam tahapan demokrasi elektoral atau demokrasi prosedural, golput adalah manifestasi politik, dimana rakyat tidak berpartisipasi politik (menggunakan hak pilihnya) secara sukarela dalam pemilihan umum sebagai pesta demokrasi. Secara faktual fenomena golput tidak hanya terjadi di negara demokrasi yang sedang berkembang, di negara yang sudah maju dalam berdemokrasipun juga menghadapi fenomena golput, seperti di Amerika Serikat yang capaian angka partisipasi politik pemilihnya berkisar antara 50% s/d 60%, begitu pula di Perancis dan Belanda yang angka pencapaian partisipasi politik pemilihnya berkisar 86%. Karenanya fenomena Golput menjadi pembelajaran bagi partai politik dan penguasa untuk meningkatkan kinerjanya sebagai mesin kerja demokrasi yang efektif dan memiliki komitmen yang kuat, mewujudkan good public governance.
Ketidakmampuan partai politik dan pemerintah menampilkan kinerja tersebut, maka fenomena Golput akan mengkristal menjadi faktor internal demokrasi yang potensial menimbulkan pembusukan demokrasi atau pembusukan politik (Political Decay), sehingga akan berimplikasi melumpuhkan demokrasi, dimana partai politik sebagai mesin pembangkit partisipasi politik dalam demokrasi secara moral ikut bertanggungjawab. Kiranya perlu mendapatkan apresiasi dan solusi oleh para aktor-aktor pemerintahan (penyelenggara negara) agar pesta demokrasi lebih efisien dan berkualitas secara sistemik, baik dalam tataran input, process, dan output, dan malah bukan bersifat kontra produktif dalam berdemokrasi.
Sebab bagaimanapun juga golput merupakan bagian dari indikator keberhasilan pemilu yang demokratis. Artinya kehadiran golput justru mendorong peningkatan kualitas proses dan bangunan demokrasi itu sendiri. Dengan demikian, golput dapat diletakkan bagian dari gerakan sosial yang menghendaki adanya perubahan sosial, politik, ekonomi dan sebagainya. Salah satu pendekatan teori-teori ilmu sosial yang justru melihat
gerakan sosial sebagai “fenomena positif”, atau sebagai sarana konstruktif bagi perubahan sosial.
Berdasarkan kuisioner yang telah dibagikan kepada informan, angka Golput pada pemilihan kepala desa di Desa Gunung Agung Kecamatan Terusan Nunyai mencapai angka 37% yaitu 1002 penduduk dari jumlah penduduk terdaftar yaitu sebanyak 2703 penduduk. Berdasarkan penelitian yang dilakukan oleh penulis, fenomena golput yang terjadi di desa Gunung Agung terjadi karena mereka dengan sengaja dan dengan suatu maksud dan dengan tujuan yang jelas menolak memberikan suara dalam pilkades. Mereka tidak memilih karena ada alasan politik yaitu karena mereka tidak puas dengan kualitas kandidat yang ada. Dan ada juga yang dengan sengaja tidak menggunakan hak pilihnya karena menginginkan sosok pemimpin baru yang benar-benar dapat mereka percaya untuk membangun masyarakat.
Masyarakat memilih golput pada pilkades di desa Gunung Agung karena dilatar belakangi oleh faktor Sosial-Ekonomi yaitu faktor pendidikan. Faktor pendidikan merupakan hal yang sangat penting untuk diperhatikan, karena semakin tinggi pendidikan yang dimiliki oleh seseorang, maka semakin tinggi pula kemampuan seseorang untuk menganalisa informasi tentang politik dan persoalan-persoalan yang bersangkutan  serta mampu untuk menentukan keputusan dalam berpolitik.
Prosentase golput pada pemilihan kepala desa di desa Gunug Agung yang mencapai 37% berpengaruh pada perolehan suara., yaitu calon bisa menang hanya dengan perolehan suara rendah atau hanya mempunyai basis massa sedikit. Ini tentu mengakibatkan legitimasi kekuasaan calon terpilih berkurang. Dalam pemilihan secara langsung yang telah dilaksanakan, maka calon terpilih merasa bahwa ia adalah pilihan rakyat dan keadaan seperti ini dikhawatirkan akan menyebabkan calon terpilih menyalahgunakan kewenangannya.
Gambaran Umum Obyek Penelitian
Di lihat dari faktor demografi Desa Gunung Agung memiliki komposisi penduduk  berjumlah 2.703 jiwa,  yaitu penduduk laki-laki terdiri dari 1.502 jiwa dan penduduk perempuan 1.201 jiwa.
Penduduk Desa Gunung Agung sebagian besar bermata pencaharian sebagai petani, hal ini dikarenakan faktor geografis yang memadai untuk mengembangkan hasil pertanian. Padi sebagai produk unggulan desa Gunung Agung menjadi prioritas pemerintah desa untuk terus ditingkatkan kualitasnya. Disamping penduduk berprofesi sebagai petani, ada juga yang menggeluti bidang usaha lain seperti pedagang, PNS, dan usaha dibidang Jasa.
Pelaksanaan pemilihan Kepala Desa Gunung Agung langsung pada tanggal 25 November 2012. Dan pada tahap pendaftaran sampai penutupan tercatat ada 4 orang calon yang mendaftarkan diri yaitu Bpk. Riyadi, Bpk. Kuswanto, Bpk. Sugiharto, dan Bpk. Handoko Dari data tersebut nampak nya suara masyarakat akan banyak terpecah mengingat banyaknya pilihan calon kades.

BAB III
METODE PENELITIAN

3.1 Tipe Penelitian 
Metode penelitian deskriptif dapat diartikan sebagai prosedur pemecahan masalah yang diselidiki dengan menggambarkan atau melukiskan subjek atau objek penelitian seseorang, lembaga, masyarakat dan lain-lain pada saat sekarang berdasarkan fakta-fakta yang  tampak atau sebagaimana adanya. Penelitian deskriptif melakukan analisis dan menyajikan data-data dan fakta-fakta secara sistematis sehingga dapat dipahami dan disimpulkan.
Tujuan penelitian deskriptif analisis adalah untuk membuat gambaran secara sistematis, faktual dan akurat mengenai fakta-fakta dan sifat-sifat populasi atau daerah tertentu. Disamping itu penelitian ini juga menggunakan teori-teori, data-data dan konsep-konsep sebagai kerangka acuan untuk menjelaskan hasil penelitian, menganalisis dan sekaligus menjawab persoalan yang diteliti.  Oleh karena itu jenis penelitian ini adalah penelitian kualitatif.
3.2 Fokus Penelitian
Fokus penelitian adalah tingkat golongan putih pada pemilihan Kepala Desa di desa Gunung Agung Kecamatan Terusan Nunyai.
3.3  Lokasi Penelitian
Penelitian ini mengambil lokasi penelitian pada Desa Gunung Agung Kecamatan Terusan Nunyai.
3.4  Penentuan Informan
Informan diambil dari sebagian warga desa Gunung Agung yang memilih golput pada pemilihan kepala desa di desa Gunung Agung Kecamatan Terusan Nunyai.
3.5 Teknik Pengumpulan Data
Dalam mengumpulkan data dan informasi yang dibutuhkan maka penulis melakukan teknik pengumpulan data sebagai berikut:
a.  Data primer yang didasarkan pada peninjauan langsung pada objek yang diteliti untuk memperoleh data-data yang dibutuhkan. Studi lapangan yang dilakukan dengan dating langsung ke lokasi penelitian dengan cara menyebarkan angket/kuesioner kepada responden yang dijadikan sebagai sampel penelitian. Responden menjawab dengan memilih pilihan jawaban yang telah disediakan dalam daftar pertanyaan.
b.  Data sekunder yaitu dengan mencari sumber data dan informasi melalui buku-buku,  jurnal, internet dan lain-lain yang berkaitan dengan penelitian ini.
3.6 Teknik Analisa Data
Data yang telah dikumpulkan kemudian disusun, dianalisa dan disajikan untuk memperoleh gambaran sistematis tentang kondisi dan situasi yang ada. Data-data tersebut diolah dan dieksplorasi secara mendalam yang selanjutnya akan menghasilkan kesimpulan yang menjelaskan masalah yang diteliti.

Komentar

Postingan Populer