Contoh Proposal Penelitian Sosial
BAB I
PENDAHULUAN
1.1
Latar Belakang Masalah
Setiap pelaksanaan pemilu, baik pemilu legislatif, Pilpres ataupun
pemilu kepala daerah (Pilkada) selalu diwarnai dengan munculnya golongan putih
atau Golput. Entah kenapa golongan yang satu ini selalu menjadi ‘’sosok’’ yang
mengkhawatirkan dan menakutkan. Disebut mengkhawatirkan karena golongan ini
dinilai ‘’sosok’’ yang tidak mendukung pesta demokrasi yang sudah berjalan
puluhan di negeri ini.
Pada Pilkada di sejumlah daerah Golput dinilai sebagai pemenang
pilkada. Di Jawa Timur contohnya, jumlah Golput mencapai 40,42 persen.
Sedangkan pada pilkada Sumatera Utara jumlah Golput terus meningkat mencapai 43
persen. Golput mencatat angka terbesar pada pilkada di Kalimantan Timur yang
mencapai 50persen. Terlepas dari siapa sebenarnya sosok Golput tersebut, ada
baiknya kita mempertanyakan kembali kenapa banyak warga yang enggan
menyukseskan pilkada? Jawabannya tentu beragam. Yang paling general adalah
bahwa masih banyak warga yang bersikap apatis terhadap pelaksanaan pemilu
ataupun pilkada.
Bagi pemerintah dan penyelenggara pemilu atau pilkada, Golput juga
harus dilihat sebagai pendidikan politik bagi masyarakat. Tujuannya untuk
membuat orang berpikir kritis. Penguasa tidak berhak memaksakan rakyat untuk
menggunakan hak suaranya. Pendirian yang berlainan dengan pendirian penguasa
harus dilindungi supaya tradisi berdemokrasi yang sehat senantiasa terpelihara.
Pada pemilu mendatang tentu saja pemerintah berharap jumlah Golput bisa terus
menipis. Namun harapan itu tentunya mesti dibarengi dengan sikap pemerintah
yang bisa menjamin terselenggaranya pemilu yang jujur dan adil. Jika rakyat
masih merasa curiga dengan banyaknya pelanggaran dalam pemilu atau pilkada maka
tidak heran jika mereka akan terus bersikap apatis terhadap penyelenggaraan
pesta demokrasi tersebut.
Partisipasi
politik dalam negara demokrasi merupakan indikator implementasi penyelenggaraan
kekuasaaan negara tertinggi yang absah oleh rakyat (kedaulatan rakyat), yang
dimanifestasikan keterlibatan mereka dalam pesta demokrasi (Pemilu).
Semakin tinggi tingkat
partisipasi politik mengindikasikan bahwa rakyat mengikuti dan memahami
serta melibatkan diri dalam kegiatan kenegaraan. Sebaliknya tingkat partisipasi
politik yang rendah pada umumnya mengindikasikan bahwa rakyat kurang menaruh
apresiasi atau minat terhadap masalah atau kegiatan kenegaraan. Rendahnya
tingkat partisipasi politik rakyat direfleksikan dalam sikap golongan putih (golput)
dalam pemilu.
Sebagai
konsekuensi negara demokrasi, Indonesia telah menyelenggarakan sepuluh kali
pemilihan umum (Pemilu) secara reguler, yaitu Tahun 1955, 1971, 1977, 1982,
1987, 1992, 1997, 1999, 2004 dan 2009 untuk pemilihan calon legislatif (Pileg)
dan pemilihan calon presiden dan wakil presiden (Pilpres). Secara spesifik
dunia internasional memuji, bahwa Pemilu
Tahun 1999 sebagai Pemilu pertama di era Reformasi yang telah berlangsung
secara aman, tertib, jujur, dan adil
dipandang memenuhi standar demokrasi global dengan tingkat partisipasi
politik 92,7%, sehingga Indonesia dinilai telah melakukan lompatan demokrasi.
Namun
jika dilihat dari aspek partisipasi politik dalam sejarah pesta demokrasi di
Indonesia, Pemilu tahun 1999 merupakan awal dari penurunan tingkat partisipasi
politik pemilih, atau mulai meningkatnya golongan putih (golput), dibandingkan
dengan Pemilu sebelumnya dengan tingkat partisipasi politik pemilih tertinggi
96,6% pada Pemilu tahun 1971. dengan penyelenggaraan Pilkada (Pemilihan Kepala
Daerah) sebagai bagian dari Pemilu yang telah berlangsung di beberapa daerah,
terutama di wilayah Jawa sebagai konsentrasi mayoritas penduduk Indonesia juga
menunjukkan potensi Golput yang besar berkisar 32% sampai 41,5%.
Realitas
tersebut mengindikasikan bahwa telah terjadi apatisme di kalangan pemilih, di
saat arus demokratisasi dan kebebasan berpolitik masyarakat sedang
marak-maraknya. Fenomena tersebut sepertinya menguatkan pernyataan Anthony
Giddens (1999) dalam bukunya Runaway
World, How Globalisation is Reshaping Our Lives. “haruskah kita menerima lembaga-lembaga
demokrasi tersingkir dari titik di mana demokrasi sedang marak”. Tentunya
potensi Golput dalam pesta demokrasi nasional maupun lokal tersebut kiranya
cukup mengkhawatirkan bagi perkembangan demokrasi yang berkualitas.
Sebab
potensi Golput yang menunjukkan eskalasi peningkatan dapat berimplikasi
melumpuhkan demokrasi, karena merosotnya kredibilitas kinerja partai politik
sebagai mesin pembangkit partisipasi politik. Partisipasi politik yang meluas
merupakan ciri khas modernisasi politik. Istilah partisipasi politik telah digunakan dalam berbagai pengertian
yang berkaitan dengan perilaku, sikap dan persepsi yang merupakan syarat mutlak
bagi partisipasi politik. Huntington dan Nelson dalam bukunya Partisipasi
Politik di Negara Berkembang memaknai partisipasi politik sebagai : Partisipasi
politik adalah kegiatan warga Negara yang bertindak sebagai pribadi-pribadi,
yang dimaksud untuk mempengaruhi pembuatan keputusan oleh Pemerintah.
Partisipasi
bisa bersifat individual atau kolektif, terorganisir atau spontan, mantap atau
sporadik, secara damai atau dengan kekerasan, legal atau ilegal, efektif atau tidak efektif. Dalam definisi tersebut partisipasi politik
lebih berfokus pada kegiatan politik rakyat secara pribadi dalam proses
politik, seperti memberikan hak suara atau kegiatan politik lain yang dipandang
dapat mempengaruhi pembuatan kebijakan politik oleh Pemerintah dalam konteks
berperan serta dalam penyelenggaraan pemerintahan. Dengan demikian partisipasi
politik tidak mencakup kegiatan pejabat-pejabat birokrasi, pejabat partai, dan
lobbyist professional yang bertindak dalam konteks jabatan yang diembannya.
Dalam
perspektif lain McClosky dalam International Encyclopedia of the Social Science
menyatakan bahwa : Kegiatan seseorang
atau kelompok orang untuk ikut serta secara aktif dalam kehidupan politik,
yaitu dengan jalan memilih pimpinan Negara dan secara langsung atau tidak
langsung, mempengaruhi kebijakan Pemerintah (public policy). Kegiatan ini
mencakup tindakan seperti memberikan suara dalam pemilihan umum menghadiri
rapat umum, menjadi anggota suatu partai atau kelompok kepentingan, mengadakan
hubungan (contacting) dengan pejabat Pemerintah atau anggota parlemen, dan
sebagainya. Partisipasi politik adalah kegiatan-kegiatan sukarela dari warga
masyarakat melalui makna mereka mengambil bagian dalam proses pemilihan
penguasa dan secara langsung atau tidak langsung, dalam proses pembentukan
kebijakan umum.
Dalam
perspektif pengertian yang generik, Budiardjo
memaknai partisipasi politik adalah: Merujuk pemikiran politik tersebut dalam
konteks sejarah penyelenggaraan pemilihan umum sebagai pesta demokrasi, secara
empirik dapat dicermati tingkat partisipasi politik dan perkembangan golput di
Indonesia. Salah satu yang terjadi dari Pemilihan Umum hingga saat ini adalah
tingginya angka golput dimana-mana. Berbagai definisi partisipasi politik dari
para pakar ilmu politik tersebut diatas, secara eksplisit mereka memaknai
partisipasi politik bersubstansi core
political activity yang bersifat
personal dari setiap warga negara secara
sukarela untuk berperan serta dalam
proses pemilihan umum untuk memilih para pejabat publik, baik secara langsung
maupun tidak langsung dalam proses penetapan kebijakan publik.
Tingkat
partisipasi politik pada Pemilu rezim Orde Lama (1955), rezim Orde Baru
(1971-1997) dan Orde Reformasi (periode awal 1999) cukup tinggi, yaitu
rata-rata diatas 90%, diiringi dengan tingkat Golput yang relatif rendah, yaitu dibawah 10% (masih dalam batas
kewajaran). Tingkat partisipasi poitik pemilih dalam Pemilu di Indonesia pada
Pemilu tahun 1955 mencapai 91,4 % dan jumlah Golput mencapai 8,6%, pada Pemilu
1971 tingkat partisipasi politik pemilih 96,6% dan jumlah Golput mencapai 3,4
%, Pemilu 1977 dan Pemilu 1982 tingkat partisipasi politik pemilih 96,5% dan
jumlah Golput mencapai 3,5%, pada Pemilu 1987 tingkat partisipasi politik
pemilih mencapai 96,4% dan jumlah Golput 3,6%, pada Pemilu 1992 tingkat
partisipasi politik pemilih mencapai 95,1% dan jumlah Golput mencapai 4,9%,
pada Pemilu 1997 tingkat partisipasi politik pemilih mencapai 93,6% dan jumlah
Golput mencapai 6,4%, pada Pemilu 1999 tingkat partisipasi politik pemilih
mencapai 92,6% dan jumlah Golput 7,3%,
pada Pemilu Legislatif tahun 2004 tingkat partisipasi politik pemilih mencapai
84,1% dan jumlah Golput 15,9%, pada Pilpres putaran pertama tingkat partisipasi
politik pemilih mencapai 78,2% dan jumlah Golput 21,8%, sedangkan pada Pilpres
putaran kedua tingkat partisipasi politik pemilih mencapai 76,6% dan jumlah
Golput 23,4%. Pada Pemilu Legislatif tahun 2009 tingkat partisipasi politik
pemilih semakin menurun yaitu hanya mencapai 70,9% dan jumlah Golput semakin
meningkat yaitu 29,1% dan pada Pilpres 2009 tingkat partisipasi politik pemilih
mencapai 71,7% dan jumlah Golput mencapai 28,3%.
Selanjutnya
secara eksplisit, Huntington dan Nelson
membedakan partisipasi politik kedalam dua karakter, yaitu:
a.
Partisipasi yang demokratis dan otonom adalah bentuk partisipasi politik yang
sukarela
b. Partisipasi yang dimanipulasi,
diarahkan, dan disponsori oleh Pemerintah adalah bentuk partisipasi yang
dimobilisasikan.
Di
era Orde Baru partisipasi politik yang dimobilisasikan merupakan kontribusi
hasil mobilisasi politik yang dilakukan oleh jaringan aparat birokrasi
pemerintahan Orde Baru, bersinergi dengan dukungan pengaruh para tokoh-tokoh
masyarakat karismatik sebagai panutan yang telah dikooptasi oleh birokrasi
pemerintahan sebagai wasit, namun ikut bermain politik sebagai orang Golkar.
Kinerja kolaboratif tersebut membuktikan mampu menekan presentase tingkat
Golput.
Secara
prediktif jika kondisi politik dan ekonomi kurang kondusif, maka penyelenggaraan Pileg dan
Pilpres 2009 nampaknya juga akan menghadapi realitas kondisional, yaitu di satu
sisi penurunan partisipasi politik pemilih, dan di sisi lain meningkatnya
jumlah golput, sehingga akan timbul apatisme politik, seperti dikemukakan oleh
McClosky bahwa: Ada yang tidak ikut
pemilihan karena sikap acuh tak acuh dan tidak tertarik oleh ,asalah
pemerintahan, atau kurang paham mengenai, masalah politik. Ada juga karena
tidak yakin bahwa usaha untuk mempengaruhi kebijakan Pemerintah akan berhasil
dan ada juga yang sengaja tidak memanfaatkan kesempatan memilih karena
kebetulan berada dalam lingkungan dimana ketidaksertaan merupakan hal yang
terpuji.
Banyak
pandangan tentang pilihan Golput tersebut dan semakin banyaknya masyarakat yang tidak menggunakan hak pilihnya dalam
pemilu atau biasa disebut sebagai kelompok golput. Setidak-tidaknya ada
beberapa hal penting tentang kenapa harus menggunaan hak pilihnya dengan baik.
Pertama, pilihan untuk tidak memilih (golput) merupakan bentuk pemborosan
terhadap anggaran belanja Negara (untuk pemilu) dan APB daerah (untuk pilkada).
Padahal, dalam momentum pemilu maupun pilkada, tidak sedikit dana yang
dikeluarkan. Kedua, golput juga akan menguntungkan calon yang belum tentu
berkualitas atau disukai.
Artinya,
calon bisa menang hanya dengan perolehan suara rendah atau hanya mempunyai
basis massa sedikit karena lebih banyak masyarakat yang golput. Ini
mengakibatkan legitimasi kekuasaan calon terpilih akan berkurang. Dalam
pemilihan secara langsung seperti saat ini, maka calon yang terpilih akan
merasa bahwa ia pilihan “rakyat” dan bebas melakukan apa yang
dikehendakinya. Justru hal ini menjadi
bumerang bagi golput. Sehingga, hal yang perlu dilakukan agar dapat mencegah
golput yaitu : yang penting adalah melakukan gerakan kultural untuk
mengembalikan semangat memilih, menggunakan hak pilih dalam pemilu maupun pilkada untuk melawan
budaya golput. Bisa dilakukan kampanye besar-besaran, melibatkan semua kelompok
dalam masyarakat. Dan perlunya adanya pendidikan dan sosialisasi politik kepada
pemilih, khususnya bagi pemula untuk tidak menjadi golput dan memahami arti
pentingnya partisipasi masyarakat dalam Pemilu.
Pada masa reformasi sekarang ini
pemaknaan istilah golput telah mengalami pergeseran. Hal itu tidak terlepas
adanya perubahan paradigma bahwa memilih bukanlah seperti yang terjadi pada
masa orde baru melainkan hak pemilih untuk ikut atau tidak dalam
pemilu/pilkada. Seiring dengan perubahan paradigma tersebut istilah golput pada
saat ini merupakan penyebutan untuk orang-orang yang tidak ikut dalam pemilu
atau pilkada. Dengan hanya melihat hasil pemilu atau pilkada maka golput tidak
mungkin terdeteksi dengan baik. Sebab hasil pemilu tidak pernah disertai
informasi alasan mengapa pemilih ikut memilih, tidak ikut memilih, atau memilih
secara salah.
Meskipun
tingginya angka golput menjadi gejala umum dalam Pemilu Legislatif di banyak
wilayah dan kemungkinan fenomena Golput ini juga akan menjadi gejala umum Pemilu
Presiden di masa mendatang, hingga saat ini belum ada penjelasan yang memadai
apa yang menyebabkan seorang pemilih memilih tidak menggunakan hak pilihnya. Berbagai penjelasan mengenai golput
di Indonesia hingga saat ini masih didasarkan pada asumsi dan belum didasarkan
pada riset yang kokoh. Pengamat dan penyelenggara Pemilu memang kerap
melontarkan pendapat tentang penyebab rendahnya tingkat partisipasi pemilih.
Tetapi berbagai penjelasan itu didasarkan pada pengamatan dan bukan berdasarkan
hasil riset.
Hingga
saat ini, ada sejumlah penjelasan yang dikemukakan oleh para pengamat atau
penyelenggara Pemilu tentang penyebab adanya Golput. Pertama, administratif.
Seorang pemilih tidak ikut memilih karena terbentur dengan prosedur
administrasi seperti tidak mempunyai kartu pemilih, tidak terdaftar dalam
daftar pemilih dan sebagainya. Kedua, teknis. Seseorang memutuskan tidak ikut
memilih karena tidak ada waktu untuk memilih seperti harus bekerja di hari
pemilihan, sedang ada keperluan, harus ke luar kota di saat hari pemilihan dan
sebagainya. Ketiga, rendahnya keterlibatan atau ketertarikan pada politik (political
engagement). Seseorang tidak memilih karena tidak merasa tertarik dengan
politik, acuh dan tidak memandang Pemilu atau Pilkada sebagai hal yang penting.
Keempat, kalkulasi rasional. Pemilih memutuskan tidak menggunakan hak pilihnya
karena secara sadar memang memutuskan untuk tidak memilih. Pemilu legislatif
dipandang tidak ada gunanya, tidak akan membawa perubahan berarti atau tidak
ada calon kepala daerah yang disukai dan sebagainya.
Maka dari penjelasan di atas,
masyarakat golongan putih (golput) terbagi atas dua bagian, yaitu masyarakat
yang tidak terdaftar sebagai pemilih pada pemilihan dan masyarakat yang
terdaftar sebagai pemilih tetapi tidak menggunakan hak pilihnya pada pemilihan.
Dalam hal ini penulis akan meneliti masyarakat golongan putih yang telah
terdaftar sebagai pemilih tetapi tidak menggunakan hak pilihnya pada pemilu di
tingkat desa. Faktor-faktor apa yang mempengaruhi masyarakat tersebut sehingga
tidak menggunakan hak pilihnya pada pemilu di tingkat desa. Mana penjelasan
yang lebih cocok untuk fenomena ini, hal ini menjadi latar belakang peneliti
untuk fenomena golput sehingga dapat mengetahui apa yang menyebabkan pemilih
tidak menggunakan hak pilihnya. Faktor-faktor apa sajakah yang menimbulkan
perilaku ini yang akan menjadi fokus dalam penelitian ini.
Pilkades
secara langsung pada tanggal 25 November 2012 berlangsung di desa Gunung Agung Kecamatan
Terusan Nunyai. Desa Gunung Agung yang merupakan salah satu desa di kecamatan
Terusan Nunyai melaksanakan pilkades secara langsung. Dalam hasil pemilihan,
ternyata masih didapati jumlah masyarakat yang terdaftar sebagai pemilih tetapi
tidak menggunakan hak pilihnya pada pilkades yaitu sekitar 37%. Padahal jumlah
suara yang tidak ikut memilih cukup besar dan sangat berpengaruh pada hasil pilkades
tersebut.
1.2
Rumusan Masalah
Dengan adanya demokrasi rakyat bebas
menentukan pilihannya untuk memilih pemimpin seperti apa dan mau hidup seperti
apa, mereka bebas menentukan sikap dan tujuan masing-masing. Rumusan masalah merupakan bagian pokok dari kegiatan penelitian, sehingga
perumusannya perlu tegas dan jelas agar proses penelitian bisa benar-benar
terarah dan terfokus ke permasalahan yang jelas. Rumusan masalah juga
diperlukan untuk mempermudah menginterpretasikan data dan fakta yang diperlukan
dalam suatu penelitian. Salah satu contoh adanya demokrasi ditingkat
lokal adalah PILKADES, yang dapat diartikan sebagai kemajuan partisipasi
politik ditingkat desa.
Dari pernyataan diatas, penulis merumuskan
masalah dalam penelitian ini sebagai berikut ;
“Faktor-faktor
apa saja yang
mempengaruhi Munculnya Golongan Putih di Desa Gunung
Agung Kecamatan Terusan Nunyai pada Pilkades 2012.”
1.3
Tujuan Penelitian
Tujuan
penelitian ini adalah untuk :
Mengetahui dan menganalisis faktor-faktor apa
sajakah yang mempengaruhi Munculnya Golongan Putih di Desa Gunung
Agung Kecamatan Terusan Nunyai pada Pilkades 2012.
1.4 Manfaat Penelitian
Sedangkan manfaat dari penelitian ini adalah:
1. Bagi penulis, untuk mengembangkan kemampuan
berpikir penulis melalui karya ilmiah dan sebagai penerapan dari berbagai teori
yang penulis dapatkan selama dalam masa perkuliahan.
2. Memberikan bahan masukan kepada pengambil
kebijakan Pemerintah dalam hal ini Komisi Pemilihan Umum, Departemen Dalam
Negeri dan Pemerintahan Daerah dalam kaitannya dengan perilaku pemilih.
3. Menambah wawasan pembaca terhadap perilaku golput dalam
PILKADES, penelitian ini juga dapat digunakan untuk kajian akademik terutama jurusan
ilmu politik dalam memprediksi kemenangan calon pilkades.
4. Untuk menambah referensi mengenai Golongan
Putih.
BAB II
KERANGKA TEORI
Secara umum pendekatan perilaku pemilih dalam ilmu politik terbagi
ke dalam tiga garis besar pendekatan/ model. Pertama, pendekatan yang sangat psikologis yang
disebut identifikasi partai (party identification). Kedua, pendekatan
yang menganggap individu memiliki kapasitas rasional untuk menentukan
pilihan-pilihannya (rational choice). Pemilih dianggap memahami,
mengapa ia memilih, apa dampak dari pilihannya itu dan ia sadar betul pilihan
yang diambil adalah instrumen penting bagi artikulasi kepentingan politiknya.
Lalu pendekatan yang terakhir, adalah pendekatan secara sosiologis (sociological
approach). Pendekatan ini melihat pentingnya basis sosial dalam menentukan
perilaku memilih. Misalkan, identitas sosial seperti agama, kelas sosial, dan
suku bangsa menjadi alasan utama seseorang memilih sebuah partai atau seorang
kandidat. Sekarang mari kita bahas secara singkat pendekatan-pendekatan
ini, dan memutuskan mana yang paling mungkin untuk menjelaskan fenomena PILKADES.
Pendekatan party identification menekankan pentingnya
keluarga dalam sosialisasi politik terhadap anak, hingga mentransmisikan apa
yang disebut dengan psychological attachment (kedekatan psikologis)
antargenerasi.
Pendekatan antar generasi yang dimaksud adalah nilai-nilai kesetiaan terhadap
partai politik, figur yang akan diwariskan orang tua kepada anaknya, usia anak
yang masih belia sampai dewasa akan selalu dijejali informasi politik yang
dianut oleh orang tuanya.
Sehingga ketia dewasa kelak, si anak akan berperilaku memilih dan pilihan
politik demikian.
Sementara itu pendekatan rational choices menganggap
pemilih merupakan individu bebas. Individu memilih bukan karena adanya
kedekatan psikologis dengan calon atau partai tertentu. Seseorang menentukan
pilihan politiknya tidak berdasarkan latar belakang keluarga, budaya maupun
kelas sosial di mana dia berada. Pilihan-pilihan politik tersebut murni sebagai
pencerminan kepentingan pribadinya. Seluruh pemilih dalam pendekatan ini
dianggap memahami benar makna pilihannya dan dampaknya bagi dirinya.
Masalahnya, pendekatan ini hanya mampu memahami individu dengan ukuran-ukuran
tertentu. Misalnya, si pemilih harus berpendidikan tinggi, tingat ekonomi yang
mumpuni dan sebagainya. Pra-syarat ini sepertinya yang harus dipenuhi terlebih
dulu, jika ingin menganggap individu menjadi rasional dalam memilih.
Pendekatan sosiologis melihat pentingnya basis sosial seseorang di
masyarakat. Basis sosial diartikan beragam, misalnya mulai dari agama, suku,
dan kelas sosial yang dimiliki seseorang. Kalau saya sebagai pemilih, maka
pendekatan ini akan memulai analisanya dari faktor-faktor tersebut. Sebagai
contohnya, kalau saya beragama Islam, maka ada kemungkinan besar saya akan
memilih partai Islam.
Ian Mc Allister (1992)
dalam bukunya, Political Behaviour: Citizen, Parties, and Elites in
Australia, mencatat ada perilaku pemilih Australia yang konsen pada faktor
struktural (memilih berdasarkan kedekatan kelas sosial-ekonomi, desa-kota,) dan
faktor ekologi (memilih berdasar pada kedekatan karakterisik wilayah pedalaman,
pesisir, pertanian, perkebunan.
Unsur
penelitian yang paling besar peranannya dalam penelitian adalah teori karena
dengan unsur inilah peneliti mencoba menerangkan fenomena sosial atau fenomena
alami yang menjadi pusat perhatiannya. Teori adalah serangkaian asumsi, konsep,
konstrak, defenisi, dan proposisi untuk menerangkan suatu fenomena sosial
secara sistematis dengan cara merumuskan hubungan antar konsep.
Oleh
karena itu, dalam kerangka teori ini penulis akan memaparkan teori-teori yang
merupakan landasan berpikir dalam menggambarkan masalah penelitian yang sedang
disoroti. Teori-teori yang relevan
dengan masalah penelitian ini antara lain:
2.1 Partisipasi Politik
Partisipasi
merupakan salah satu aspek penting demokrasi. Partisipasi merupakan taraf
partisipasi politik warga masyarakat dalam kegiatan-kegiatan politik baik
yang bersifat aktif maupun pasif dan
bersifat langsung maupun yang bersifat tidak langsung guna mempengaruhi
kebijakan pemerintah. Wahyudi Kumorotomo mengatakan, “Partisipasi adalah
berbagai corak tindakan massa maupun individual yang memperlihatkan adanya
hubungan timbal balik antara pemerintah dan warganya.”
“Partisipasi
adalah kegiatan warga yang bertindak sebagai pribadi-pribadi, yang dimaksud
untuk mempengaruhi pembuatan keputusan oleh pemerintah, partisipasi bisa
bersifat pribadi-pribadi atau kolektif, terorganisir atau spontan, mantap atau
sporadis, secara damai atau dengan kekerasan, legal atau ilegal, efektif atau
tidak efektif.”
Lebih
jauh dia mengingatkan bahwa secara umum corak partisipasi warga negara
dibedakan menjadi empat macam, yaitu : pertama, partisipasi dalam pemilihan
(electoral participation), kedua, partisipasi kelompok (group participation),
ketiga, kontak antara warga negara dengan warga pemerintah (citizen government
contacting) dan keempat, partisipasi warga negara secara langsung.
Sedangkan
Ramlan Surbakti mendefinisikan, partisipasi politik adalah kegiatan warga
negara biasa dalam mempengaruhi pembuatan dan pelaksanaan kebijakan umum dan
dalam ikut menentukan pemimpin pemerintah.
Pengertian
Hutington dan Nelson mengenai partisipasi politik dibatasi beberapa hal, yaitu
: pertama, Hutington dan Nelson mengartikan partisipasi politik hanyalah
mencakup kegiatan-kegiatan dan bukan sikap-sikap. Dalam hal ini, mereka tidak
memasukkan komponen-komponen subjektif seperti pengetahuan tentang politik,
keefektifan politik, tetapi yang lebih ditekankan adalah agaimana berbagai
sikap dan perasaan tersebut berkaitan dengan bentuk tindakan politik. Kedua,
yang dimaksud dengan partisipasi politik adalah warga negara biasa, bukan
pejabat-pejabatpemerintah. Hal ini didasarkan pada pejabat-pejabat yang
mempunyai pekerjaan professional di bidang itu, padahal justru kajian ini pada
warga negar biasa. Ketiga, kegiatan olitik adalah kegiatan yang dimaksud untuk
mempengaruhi keputusan pemerintah. Kegiatan yang dimaksudkan misalnya membujuk
atau menekan pejabat pemerintah untuk bertindak dengan cara-cara tertentu untuk
menggagalkan keputusan, bahkan dengan cara
mengubah aspek-aspek sistem politik. Dengan itu protes-protes,
demonstrasi, kekerasan bahkan bentuk kekerasan pembrontak untuk mempengaruhi
kebijakan pemerintah dapat disebut sebagai partisipasi politik. Keempat,
partisipasi juga mencakup semua kegiatan yang mempengaruhi pemerintah, terlepas
tindakan itu efektif atau tidak, berhasil atau gagal. Kelima, partisipasi
politik dilakukan langsung atau tidak langsung, artinya langsung oleh pelakunya
sendiri tanpa menggunakan perantara, tetapi ada pula yang tidak langsung melalui orang-orang yang dianggap
dapat menyalurkan ke pemerintah. Perilaku politik seseorang dapat dilihat dari
bentuk partisipasi politik yang dilakukannya.
Bentuk
partisipasi politik dilihat dari segi kegiatan dibagi menjadi dua, yaitu:
a. Partisipasi
aktif, bentuk partisipasi ini berorientasi kepada segi masukan dan keluaran
suatu sistem politik. Misalnya, kegiatan warga negara mengajukan usul mengenai
suatu kebijakan umum, mengajukan alternatif kebijakan umum yang berbeda dengan
kebijakan pemerintah, mengajukan kritik dan saran perbaikan untuk meluruskan
kebijaksanaan, membayar pajak, dan ikut srta dalam kegiatan pemilihan pimpinan
pemerintahan.
b.
Partisipasi pasif, bentuk partisipasi
ini berorientasi kepada segi keluaran suatu sistem politik. Misalnya, kegiatan mentaati
peraturan/perintah, menerima, dan melaksanakan begitu saja setiap keputusan
pemerintah.
Selain
kedua bentuk partisipasi diatas tetapi ada sekelompok orang yang menganggap
masyarakat dan sistem politik yang ada dinilai telah menyinggung dari apa yang
dicita-citakan sehingga tidak ikut serta dalam politik. Orang-orang yang tidak ikut dalam politik
mendapat beberapa julukan, seperti apatis, sinisme, alienasi, dan anomie.
1. Apatis (masa bodoh) dapat diartikan sebagai tidak
punya minat atau tidak punya perhatian terhadap orang lain, situasi, atau
gejala-gejala.
2. Sinisme menurut Agger diartikan sebagai kecurigaan
yang busuk dari manusia, dalam hal ini dia melihat bahwa politik adalah urusan
yang kotor, tidak dapat dipercaya, dan menganggap partisipasi politik dalam bentuk apa pun
sia-sia dan tidak ada hasilnya.
3. Alienasi menurut Lane sebagai perasaan
keterasingan seseorang dari politik dan pemerintahan masyarakat dan
kecenderungan berpikir mengenai pemerintahan dan politik bangsa yang dilakukan
oleh orang lain untuk orang lain tidak adil.
4. Anomie, yang oleh Lane diungkapkan sebagai
suatu perasaan kehidupan nilai dan ketiadaan awal dengan kondisi seorang
individu mengalami perasaan ketidakefektifan
dan bahwa para penguasa bersikap tidak peduli yang mengakibatkan
devaluasi dari tujuan-tujuan dan hilangnya urgensi untuk bertindak.
Menurut
Rosenberg ada 3 alasan mengapa orang enggan sekali berpartisipasi politik:
Pertama
bahwa individu memandang aktivitas politik merupakan ancaman terhadap beberapa
aspek kehidupannya. Ia beranggapan bahwa mengikuti kegiatan politik dapat
merusak hubungan sosial, dengan lawannya dan dengan pekerjaannya karena kedekatannya
dengan partai-partai politik tertentu.
Kedua, bahwa konsekuensi yang
ditanggung dari suatu aktivitas politik mereka sebagai pekerjaan sia-sia.
Mungkin disini individu merasa adanya jurang pemisah antara cita-citanya dengan
realitas politik. Karena jurang pemisah begitu besarnya sehingga dianggap tiada
lagi aktifitas politik yang kiranya
dapat menjembatani. Ketiga, beranggapan bahwa memacu diri untuk tidak
terlibat atau sebagai perangsang politik adalah sebagai faktor yang sangat
penting untuk mendorong aktifitas politik.
Maka
dengan tidak adanya perangsang politik yang sedemikian, hal itu membuat atau
mendorong kearah perasaan yang semakin besar bagi dorongan apati. Disini individu merasa bahwa kegiatan bidang
politik diterima sebagai yang bersifat pribadi sekali daripada sifat
politiknya. Dan dalam hubungan ini, individu merasa bahwa kegiatan-kegiatan
politik tidak dirasakan secara langsung menyajikan kepuasan yang relative
kecil. Dengan demikian partisipasi politik diterima sebagai suatu hal yang sama
sekali tidak dapat dianggap sebagai suatu yang dapat memenuhi kebutuhan pribadi
dan kebutuhan material individu itu.
2.2 Masalah Golput
Menjelang
pemilihan umum tahun 1977 timbul suatu gerakan di antara beberapa kelompok
generasi muda, terutama mahasiswa, untuk memboikot pemilihan umum karena
dianggap kurang memenuhi syarat yang
diperlukan untuk melaksanakan pemilihan
umum secara demokratis. Yang disebut
antara lain ialah kkurang adanya kebebasan-kebebasan (civil liberties) yang
merupakan prasyarat bagi suatu pemilihan yang jujur dan adil. Untuk
melaksanakan sikap ini mereka bertekad untuk mengunjungi masing-masing tempat
pemilihan umum (TPS). Mereka menamakan dirinya Golongan Putih atau Golput.
Banyak media massa kemudian
mempunyai keinginan untuk mengukur pengaruh dari Golput ini atas pemilihan
umum. Perlu diperhatikan bahwa ada beberapa kategori pemilih resmi yang
ditentukan oleh pemerintah. Diantaranya ada dua kategori yang relevan, yaitu
kategori suara tak sah dan kategori yang tak menggunakan hak pilih. Dalam
banyak media massa dua kategori ini dijadikan satu, dan Golput dinyatakan
termasuk didalamnya. Pengelompokan itu memang menghasilkan angka yang cukup
tinggi yaitu 6,6% (1971), 9,1% (1977), 8,5% (1982), 8,7% (1987), dan 9,1%
(1992).
Pandangan ini dapat diragukan
kebenarannya karena secara teoritis Golput tidak termasuk kategori suara tidak
sah, kecuali diantara mereka ada yang dengan sengaja merusak kertas pemilihan.
Lebih besar kemungkinan Golput termasuk kategori yang tak menggunakan hak
pilih. Jumlah kategori ini (termasuk golput) adalah 0,7% (1971), 3,5% (1977),
4,8% (1982), 3,8% (1987), dan 4,9% (1992) jelas lebih rendah.
Mengenai kategori tidak menggunakan
hak pilih perlu disadari bahwa kategori ini sukar dihitung karena tidak hanya
mencakup Golput namun juga menyangkut orang yang tidak datang ke TPS karena
sakit, atau sedang dalam perjalanan, atau yang tidak perduli. Sekalipun
demikian, harus diakui bahwa angka dari mereka yang “tak menggunakan hak pilih”
dalam pemilihan umum 1977 dan pemulihan umum berikutnya, menunjukan kenaikan
dibanding dengan hasil pemilihan umum 1971. Bagaimanapun juga Golput telah
menunjuk pada salah satu kelemahan dari rezim Orde Baru dan hal itu patut
dihargai.
2.3 Faktor-faktor Yang Mempengaruhi
Munculnya Golput
1. Faktor Sosial Ekonomi
Menempatkan variabel
status sosial-ekonomi sebagai variabel penjelasan perilaku non-voting
selalu mengandung makna ganda. Pada satu sisi, variabel status sosial
ekonomi memang dapat diletakkan sebagai variabel independen untuk menjelaskan
perilaku non-voting tersebut.
Namun, pada sisi lain, variabel
tersebut juga dapat digunakan sebagai indikator untuk mengukur karakteristik
pemilih non-voting itu sendiri. Setidaknya ada empat indikator
yang bisa digunakan mengukur variabel status sosial ekonomi, yaitu tingkat
pendidikan, tingkat pendapatan, pekerjaan dan pengaruh keluarga. Lazimnya, variabel status sosial-ekonomi
digunakan untuk menjelaskan perilaku memilih. Namun dengan menggunakan proporsi
yang berlawanan, pada saat yang sama variabel tersebut sebenarnya juga dapat
digunakan untuk menjelaskan perilaku
non-voting. Artinya, jika tinggi tingkat pendidikan berhubungan dengan
kehadiran memilih, itu berarti rendahnya tingkat pendidikan berhubungan dengan
ketidakhadiran pemilih.
Ada
beberapa alasan mengapa tingkat status
sosial-ekonomi berkorelasi dengan kehadiran atau ketidakhadiran pemilih, yaitu
:
a. Pekerjaan-pekerjaan
tertentu lebih mengahargai partisipasi warga.
Para
pemilih yang bekerja di lembaga-lembaga sektor-sektor yang berkaitan langsung
dengan kebijakan pemerintah cenderung lebih tinggi tingkat kehadiran dalam
pemilu dibanding para pemilih yang bekerja pada lembaga-lembaga atau
sektor-sektor yang tidak mempunyai kaitan langsung dengan kebijakan-kebijakan
pemerintah. Para pegawai negeri atau pensiunan, menunjukkan tingkat kehadiran
memilih lebih tinggi dibanding dengan yang lain. Sebab, mereka sering terkena
langsung dengan kebijakan pemerintah, seperti misalnya kenaikan gaji, pemutusan
hubungan kerja, dan sebagainya. Begitu pula para pensiunan yang sangat
berkepentingan langsung dengan berbagai kebijakan pemerintah, khususnya tentang
besarnya tunjangan pensiun kesehatan, kesejahteraan atau tunjangan-tunjangan
lainnya.
b. Tingkat
pendidikan
Tingkat
pendidikan dapat dikatakan turut mempengaruhi perilaku pemilih masyarakat di desa
Gunung Agung Kecamatan Terusan Nunyai. Faktor pendidikan merupakan hal yang
sangat penting untuk diperhatikan, sebab pendidikan sebagai suatu kegiatan yang
dapat meningkatkan kemampuan seseorang dalam menganalisa teori serta mampu
untuk menentukan keputusan dalam persoalan-persoalan untuk mencapai tujuan
menjadi faktor yang penting bagi masyarakat sebagai pelaku partisipasi aktif
dalam pemilihan. Karena semakin tinggi pendidikan seseorang, maka ketajaman
dalam menganalisa informasi tentang politik dan persoalan-persoalan sosial yang
diterima semakin meningkat dan menciptakan minat dan kemampuannya dalam
berpolitik.
c. Pengaruh
Keluarga
Keluarga
juga memberikan pengaruh yang cukup besar pada masyarakat desa Gunung Agung Kecamatan
Terusan Nunyai dalam hal tidak ikut memilih pada Pilkades, kuatnya pengaruh
pimpinan keluarga (ayah) dalam menentukan pilihan politik keluarga. Secara umum
apabila kepala keluarga (ayah) tidak ikut memilih akan memberikan pengaruh
kepada anggota keluarga lainnya untuk tidak ikut memilih.
2. Faktor Psikologis
Penjelasan
nonvoting dari faktor psikologis pada dasarnya dikelompokkan dalam dua
kategori. Pertama, berkaitan dengan ciri-ciri kepribadian seseorang. Kedua,
berkaitan dengan orientasi kepribadian.
Penjelasan pertama melihat bahwa perilaku nonvoting
disebabkan oleh kepribadian yang tidak toleran, otoriter, tak acuh,
perasaan tidak aman, perasaan khawatir, kurang mempunyai tanggung jawab secara
pribadi, dan semacamnya. Orang yang mempunyai kepribadian yang tidak toleran atau
tak acuh cenderung untuk tidak memilih. Sebab, apa yang diperjuangkan
kandidat atau partai politik tidak
selalu sejalan dengan kepentingan peroragan secara langsung, betapapun mungkin
hal itu menyangkut kepentingan umum yang lebih luas. Dalam konteks semacam ini,
para pemilih yang mempunyai kepribadian
tidak toleran atau tak acuh cenderung menarik diri dari percaturan politik
langsung, karena tidak berhubungan dengan kepentingannya. Ciri-ciri kepribadian
ini umumnya diperoleh sejak lahir bahkan lebih bersifat keturunan dan muncul
secara konsisten dalam setiap perilaku.
Faktor
lain yang dapat digunakan untuk menandai ciri kepribadian ini adalah kefektifan
personal (personal effectiveness), yaitu kemampuan atau ketidakmampuan
seseorang untuk memimpin lingkungan di sekitarnya. Misalnya, seberapa jauh
seseorang merasa mampu memimpin teman-teman sepermainan, organisasi-organisasi
sosial, profesi atau okupasi di mana mereka bekerja, dan sebagainya. Sementara
itu, penjelasan kedua lebih menitikberatkan faktor orientasi kepribadian.
Penjelasan kedua ini melihat bahwa perilaku
nonvoting disebakan oleh orientasi kepribadian pemilih, yang secara
konseptual menunjukkan karakteristik apatis, anomi, dan alienasi. Secara
teoritis, perasaan apatis sebenarnya
merupakan jelmaan atau pengembangan lebih jauh dari kepribadian otoriter, yang
secara sederhana ditandai dengan tiadanya minat terhadap persoalan-persoalan
politik.
Hal
ini bisa disebabkan oleh rendahnya sosialisasi atau rangsangan (stimulus)
politik, atau adanya perasaan (anggapan) bahwa aktivitas politik tidak
menyebabkan perasaan kepuasan atau hasil secara langsung. Anomi merujuk pada
perasaan tidak berguna. Mereka melihat bahwa aktivitas politik sebagai sesuatu
yang sia-sia, karena mereka merasa tidak mungkin mampu mempengaruhi peristiwa
atau kebijaksanaan politik. Bagi para pemilih semacam ini, memilih atau tidak
memilih tidak mempunyai pengaruh apa-apa, karena keputusan-keputusan politik
seringkali berada diluar kontrol para pemilih. Sebab, para terpilih biasanya
menggunakan logika-logikanya sendiri dalam mengambil berbagai keputusan
politik, dan dalam banyak hal mereka berada jauh di luar jangkauan para
pemilih.
Perasaan powerlessness
inilah yang disebut sebagai anomi. Sedangkan alienasi berada di luar apatis
dan anomi. Alienasi merupakan perasaan keterasingan secara aktif. Seseorang
merasa dirinya tidak terlibat dalam banyak urusan politik. Pemerintah dianggap
tidak mempunyai pengaruh terutama pengaruh baik terhadap kehidupan seseorang.
Bahkan pemerintah dianggap sebagai sesuatu yang mempunyai konsekuensi jahat
terhadap kehidupan manusia. Jika perasaan alienasi ini memuncak, mungkin akan
mengambil bentuk alternatif aksi politik, seperti melalui kerusuhan, kekacauan, demonstrasi dan
semacamnya.
3. Faktor Pilihan Rasional
Faktor
pilihan rasional melihat kegiatan memilih sebagai produk kalkulasi untung dan
rugi. Yang dipertimbangkan tidak hanya “ongkos” memilih dan kemungkinan
suaranya dapat mempengaruhi hasil yang
diharapkan, tetapi juga perbedaan dari alternatif berupa pilihan yang ada.
Pertimbangan ini digunakan pemilih dan kandidat yang hendak mencalonkan diri
untuk terpilih sebagai wakil rakyat atau pejabat pemerintah. Bagi pemilih,
pertimbangan untung dan rugi digunakan untuk membuat keputusan tentang partai
dan kandidat yang dipilih, terutama untuk membuat keputusan apakah ikut memilih
atau tidak ikut memilih. Pada kenyataannya, ada sebagian pemilih yang mengubah
pilihan politiknya dari satu pemilu ke
pemilu lainnya. Ini disebabkan oleh ketergantungan pada peristiwa-peristiwa politik tertentu
yang bisa saja mengubah preferensi pilihan politik seseorang. Hal ini berarti
ada variabel-variabel lain yang ikut menentukan dalam mempengaruhi perilaku
politik seseorang. Ada faktor-faktor situasional yang ikut berperan dalam
mempengaruhi pilihan politik seseorang dalam pemilu. Dengan begitu, pemilih
bukan hanya pasif melainkan juga individu yang aktif. Ia tidak terbelenggu oleh
karakteristik sosiologis, melainkan bebas bertindak. Faktor-faktor situasional,
bisa berupa isu-isu politik atau kandidat yang dicalonkan, seperti
ketidakpercayaan dengan pemilihan yang bisa membawa perubahan yang lebih baik.
Atau ketidakpercayaan masalah akan bisa diselesaikan jika pemimpin baru
terpilih, dan sebagainya. Pemilih yang tidak percaya dengan pemilihan akan
menciptakan keadaan lebih baik, cenderung untuk tidak ikut memilih.
Berdasarkan pendekatan ini Him Helwit
mendefinisikan perilaku pemilih sebagai pengambilan keputusan yang bersifat instant, tergantung
pada situasi sosial politik tertentu, tidak berbeda dengan pengambilan
keputusan lain. Jadi tidak tertutup kemungkinan adanya pengaruh dari faktor
tertentu dalam mempengaruhi keputusannya.“Partai politik adalah suatu kelompok
yang terorganisir yang anggota-anggotanya mempunyai orientasi, nilai-nilai dan
cita-cita yang sama. Tujuan kelompok ini adalah untuk memperoleh kekuasaan
politik dan merebut kedudukan politik (biasanya) dengan cara konstitusional
untuk melaksanakan kebijaksanaan-kebijaksanaan mereka.
2.4 Perilaku Golongan Putih (Golput)
Istilah
golput muncul pertama kali menjelang pemilu pertama zaman Orde Baru tahun 1971.
Pemrakarsa sikap untuk tidak memilih itu, antara lain Arief Budiman, Julius
Usman dan almarhum Imam Malujo Sumali. Langkah mereka didasari pada pandangan
bahwa aturan main berdemokrasi tidak ditegakkan, cenderung diinjak-injak. Bukan
hanya memproklamasikan diri sebagai kelompok putih yang tidak memilih, mereka
bahkan mengajukan tanda gambar segilima hitam dengan dasar putih. Namun pemilu
1971 menurut versi pemerintahan, diikuti oleh 95 persen pemilih.
Satu
hal yang mencuat dari kemunculan fenomena golput adalah merebaknya protes atau
ketidakpuasan kelompok masyarakat tertentu terhadap tidak tegaknya
prinsip-prinsip demokrasi atau penentangan langsung terhadap eksistensi rezim
Orde Baru pimpinan Soeharto. Menjelang Pemilu 1992, golput marak lagi sehingga
bayangan kekuatannya diidentikkan sebagai partai keempat, di samping PPP,
Golkar dan PDI. Namunn jumlah pemilih pada Pemilu 1992, kembali menurut versi
pemerintah, di atas 90 persen, persisnya 91 persen. Sepekan menjelang Pemilu 29
Mei 1997, Ketua Umum Dewan Pimpinan Pusat Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan
Megawati Soekarnoputri, selaku pribadi, mengumumkan untuk tidak menggunakan hak
politiknya untuk memilih. Pernyataannya ini lalu dianggap sebagai kampanye
terselubung kepada massa pendukungnya untuk memboikot pemilu, meski hal itu
dibantah Megawati. Meski ada aksi PDI Perjuangan itu, jumlah pemilih pada
Pemilu 1997 dilaporkan mencapai 90,58 persen.Sikap orang-orang golput, menurut
Arbi Sanit dalam memilih memang berbeda dengan kelompok pemilih lain atas dasar
cara penggunaan hak pilih.
Apabila
pemilih umumnya menggunakan hak pilih sesuai peraturan yang berlaku atau tidak
menggunakan hak pilih karena berhalangan di luar kontrolnya, kaum golput
menggunakan hak pilih dengan tiga kemungkinan.
Pertama, menusuk lebih dari satu
gambar partai. Kedua ,menusuk bagian
putih dari kartu suara. Ketiga, tidak mendatangi kotak suara dengan kesadaran untuk
tidak menggunakan hak pilih. Bagi mereka, memilih dalam pemilu sepenuhnya
adalah hak. Kewajiban mereka dalam kaitan dengan hak pilih ialah menggunakannya
secara Angka 90 persen itu memang diakui merupakan angka semu. Karena
pemilu-pemilu zaman Soeharto-disebut banyak pihak-identik dengan kecurangan
demi untuk memenangkan Golkar. Angka adalah bagian dari rekayasa yang sangat
menentukan dan bertanggungjawab dengan menekankan kaitan penyerahan suara
kepada tujuan pemilu, tidak hanya
membatasi pada penyerahan suara kepada salah satu kontestan pemilu.
Jadi
berdasarkan hal di atas, golput adalah mereka yang dengan sengaja dan dengan
suatu maksud dan tujuan yang jelas menolak memberikan suara dalam pemilu.
Dengan demikian, orang-orang yang berhalangan hadir di Tempat Pemilihan Suara
(TPS) hanya karena alasan teknis, seperti jauhnya TPS atau terluput dari
pendaftaran, otomatis dikeluarkan dari kategori golput. Begitu pula persyaratan
yang diperlukan untuk menjadi golput bukan lagi sekedar memiliki rasa enggan atau
malas ke TPS tanpa maksud yang jelas. Pengecualian kedua golongan ini dari
istilah golput tidak hanya memurnikan wawasan mengenai kelompok itu, melainkan
juga sekaligus memperkecil kemungkinan terjadinya pengaburan makna, baik di
sengaja maupun tidak.
Kedua,
golput pragmatis, yakni golput yang berdasarkan kalkulasi rasional betapa ada
atau tidak ada pemilu, ikut atau tidak ikut memilih, tidak akan , Indra J. Piliang menyatakan bahwa golongan
putih (golput) dianggap sebagai bentuk perlawanan atas partai-partai politik
dan calon presiden-wakil presiden yang tidak sesuai dengan aspirasi orang-orang
yang kemudian golput. Dia membagi golput menjadi 3 bagian yaitu: Pertama,
golput ideologis, yakni segala jenis penolakan atas apa pun produk
sistem ketatanegaraan hari ini. Golput jenis ini mirip dengan golput era
1970-an, yakni semacam gerakan anti-state,
ketika state dianggap hanyalah bagian korporatis dari
sejumlah elite terbatas yang tidak punya legitimasi kedaulatan rakyat. Bagi
golput jenis ini, produk UU sekarang, termasuk UU pemilu, hanyalah bagian dari
rekayasa segolongan orang yang selama ini mendapatkan keistimewaan dan hak-hak
khusus. Sistem Pemilu 1999, sebagaimana diketahui, hanyalah memilih tanda
gambar sehingga rakyat tidak bisa memilih orang. Demokrasi berlangsung dalam
wilayah abu-abu dan semu. berdampak atas diri si pemilih. Sikap mereka
setengah-setengah memandang proses pemilihan suara pada hari H, antara percaya
dan tidak percaya. Ketiga, golput politis, yakni golput yang dilakukan akibat
pilihan-pilihan politik. Kelompok ini masih percaya kepada negara, juga percaya
kepada pemilu, tetapi memilih golput akibat preferensi politiknya berubah atau
akibat sistemnya secara sebagian merugikan mereka. Sedangkan menurut Novel Ali,
di Indonesia terdapat dua kelompok golput.
Pertama, adalah kelompok golput awam. Yaitu mereka
yang tidak mempergunakan hak pilihnya bukan karena alasan politik, tetapi
karena alasan ekonomi, kesibukan dan sebagainya. Kemampuan politik kelompok ini
tidak sampai ke tingkat analisis, melainkan hanya sampai tingkat deskriptif
saja. Kedua, adalah kelompok golput pilihan. Yaitu mereka yang tidak bersedia menggunakan
hak pilihnya dalam pemilu benar-benar karena alasan politik. Misalnya tidak puas dengan kualitas
partai politik yang ada. Atau karena mereka menginginkan adanya satu organisasi
politik lain yang sekarang belum ada. Maupun karena mereka mengkehendaki pemilu
atas dasar sistem distrik, dan berbagai alasan lainnya. Kemampuan analisis
politik mereka jauh lebih tinggi disbanding golput awam. Golput pilihan ini
memiliki kemampuan analisis politik yang tidak cuma berada pada tingkat
deskripsi saja, tapi juga pada tingkat evaluasi.
2.5
Fenomena Golongan Putih dan Pengaruhnya Terhadap Kesuksesan Pemilihan
Kepala Desa Di Desa Gunung Agung Kecamatan Terusan Nunyai Kabupaten Lampung
Tengah
Golput (non-voting behaviour) dipahami sebagai
bentuk partisipasi politik warga negara yang muncul karena beragam latar
belakang. Memilih adalah hak (right) politik warga negara yang by its nature
mengandung arti legal or moral entitlement (authority to act), yang mengandung
kebebasan pemilik hak itu untuk menggunakan atau tidak menggunakannya.
Karena esensi filosofis inilah maka demokrasi
memberi ruang bagi pilihan untuk golput secara setara dengan pilihan untuk
memilih. Golput diberi ruang dalam demokrasi, guna meluruskan demokrasi, meluruskan
politik dan pemerintahan yang korup melalui gerakan moral. Bagi kalangan
pendukung golput, golput diancangkan sebagai gerakan check and balances yang
dalam demokrasi dibutuhkan.
Disisi lain, eskalasi golput juga sangat
menghawatirkan perkembangan demokrasi yang berkualitas karena merosotnya
kredibilitas kinerja partai politik sebagai mesin pembangkit partisipasi
politik. Kehawatiran ini juga dikemukan Anthony Giddens “haruskah kita menerima
lembaga-lembaga demokrasi tersingkir dari titik di mana demokrasi sedang
marak”. Demokrasi identik dengan kebebasan dan partisipasi dari semua kekuatan
demokrasi. Kekuatan demokrasi dimaksud di dalamnya termasuk masyarkat, selain
juga partai politik dan organisasi masyarkat.
Partisipasi politik yang meluas merupakan ciri
dari modernisasi politik. Sikap dan persepsi bagian penting dari pesta
demokrasi. Maka tingginya angka golput menandakan sistem politik dan sistem
pemilu yang sedang dijalankan belum berada dalam ruang demokrasi sesungguhnya.
Huntington dan Nelson memaknai partisipasi politik sebagai: partisipasi politik
adalah kegiatan warga negara yang bertindak sebagai pribadi-pribadi, yang
dimaksud untuk mempengaruhi pembuatan keputusan oleh Pemerintah.
Partisipasi biasa bersifat individual atau
kolektif, terorganisir atau spontan, mantap atau sporadik, secara damai atau
dengan kekerasan, legal atau illegal, efektif atau
tidak efektif. Dengan demikian, partisipasi politik lebih berfokus pada kegiatan politik rakyat secara pribadi dalam proses politik, seperti memberikan hak suara atau kegiatan politik lain (golput) yang dipandang dapat mempengaruhi pembuatan kebijakan politik oleh pemerintah. Partisipasi politik tidak mencakup kegiatan pejabat-pejabat birokrasi, pejabat partai, dan lobbyist professional yang bertindak dalam konteks jabatan yang diembannya.
tidak efektif. Dengan demikian, partisipasi politik lebih berfokus pada kegiatan politik rakyat secara pribadi dalam proses politik, seperti memberikan hak suara atau kegiatan politik lain (golput) yang dipandang dapat mempengaruhi pembuatan kebijakan politik oleh pemerintah. Partisipasi politik tidak mencakup kegiatan pejabat-pejabat birokrasi, pejabat partai, dan lobbyist professional yang bertindak dalam konteks jabatan yang diembannya.
Sementara Budiardjo memaknai partisipasi politik
sebagai: Kegiatan seseorang atau kelompok orang untuk ikut serta secara aktif
dalam kehidupan politik, yaitu dengan jalan memilih pimpinan negara dan secara
langsung atau tidak langsung, mempengaruhi kebijakan Pemerintah (public
policy). Kegiatan ini mencakup tindakan seperti memberikan suara dalam
pemilihan umum menghadiri rapat umum, menjadi anggota suatu partai atau
kelompok kepentingan, mengadakan hubungan (contacting) dengan pejabat
pemerintah atau dengan anggota parlemen, dan sebagainya. Merujuk pemikiran politik
tersebut dalam konteks sejarah penyelenggaraan pemilihan umum sebagai pesta
demokrasi, secara empirik dapat dicermati tingkat partisipasi politik dan
perkembangan golput di Indonesia.
Tingginya partisipasi rakyat pada
penyelenggaraan pemilu masa Orde Baru bukan berdasarkan apa yang dikatakan
Budiharjo sebagai kesukarelaan, melainkan mobilisasi massa yang sengaja
digerakkan. Maka partisipasi demikian merupakan partisipasi semu, partisipasi
yang didasarkan pada harmonisasi dan suatu waktu akan menjadi ledakan emosi
seperti lahirnya gelombang golput di era reformasi.
Penilaian Hantington dapat menjelaskan dengan
cermat tentang hal tersebut yang menyatakan: “Beberapa studi secara eksplisit
tidak menganggap tindakan yang dimobilisasikan atau yang dimanipulasikan
sebagai partisipasi politik, yaitu lebih menekankan sifat sukarela dari partisipasi
dengan argumentasi bahwa menjadi anggota organisasi atau menghadiri rapat-rapat
umum atas perintah pemerintah tidak termasuk partisipasi politik”. Lebih lanjut
Hantington membedakan partisipasi politik ke dalam dua karakter, yaitu:
a.
Partisipasi yang demokratis dan otonom adalah bentuk partisipasi politik yang sukarela
b.
Partisipasi yang dimanipulasi, diarahkan, dan disponsori oleh pemerintah adalah
bentuk partisipasi yang dimobilisasikan.
Oleh karenanya, tingginya
angka golput dapatlah dirumuskan bagian dari kesadaran perilaku politik. Dalam
tahapan demokrasi elektoral atau demokrasi prosedural, golput adalah
manifestasi politik, dimana rakyat tidak berpartisipasi politik (menggunakan
hak pilihnya) secara sukarela dalam pemilihan umum sebagai pesta demokrasi.
Secara faktual fenomena golput tidak hanya terjadi di negara demokrasi yang
sedang berkembang, di negara yang sudah maju dalam berdemokrasipun juga
menghadapi fenomena golput, seperti di Amerika Serikat yang capaian angka
partisipasi politik pemilihnya berkisar antara 50% s/d 60%, begitu pula di
Perancis dan Belanda yang angka pencapaian partisipasi politik pemilihnya
berkisar 86%. Karenanya fenomena Golput menjadi pembelajaran bagi partai
politik dan penguasa untuk meningkatkan kinerjanya sebagai mesin kerja
demokrasi yang efektif dan memiliki komitmen yang kuat, mewujudkan good public governance.
Ketidakmampuan partai
politik dan pemerintah menampilkan kinerja tersebut, maka fenomena Golput akan
mengkristal menjadi faktor internal demokrasi yang potensial menimbulkan
pembusukan demokrasi atau pembusukan politik (Political Decay), sehingga akan
berimplikasi melumpuhkan demokrasi, dimana partai politik sebagai mesin
pembangkit partisipasi politik dalam demokrasi secara moral ikut
bertanggungjawab. Kiranya perlu mendapatkan apresiasi dan solusi oleh para
aktor-aktor pemerintahan (penyelenggara negara) agar pesta demokrasi lebih
efisien dan berkualitas secara sistemik, baik dalam tataran input, process, dan
output, dan malah bukan bersifat kontra produktif dalam berdemokrasi.
Sebab bagaimanapun juga
golput merupakan bagian dari indikator keberhasilan pemilu yang demokratis.
Artinya kehadiran golput justru mendorong peningkatan kualitas proses dan
bangunan demokrasi itu sendiri. Dengan demikian, golput dapat diletakkan bagian
dari gerakan sosial yang menghendaki adanya perubahan sosial, politik, ekonomi
dan sebagainya. Salah satu pendekatan teori-teori ilmu sosial yang justru
melihat
gerakan sosial sebagai “fenomena positif”, atau sebagai sarana konstruktif bagi perubahan sosial.
gerakan sosial sebagai “fenomena positif”, atau sebagai sarana konstruktif bagi perubahan sosial.
Berdasarkan kuisioner yang telah dibagikan kepada informan, angka
Golput pada pemilihan kepala desa di Desa Gunung Agung Kecamatan Terusan Nunyai
mencapai angka 37% yaitu 1002 penduduk dari jumlah penduduk terdaftar yaitu
sebanyak 2703 penduduk. Berdasarkan penelitian yang dilakukan oleh penulis,
fenomena golput yang terjadi di desa Gunung Agung terjadi karena mereka dengan
sengaja dan dengan suatu maksud dan dengan tujuan yang jelas menolak memberikan
suara dalam pilkades. Mereka tidak memilih karena ada alasan politik yaitu
karena mereka tidak puas dengan kualitas kandidat yang ada. Dan ada juga yang dengan
sengaja tidak menggunakan hak pilihnya karena menginginkan sosok pemimpin baru
yang benar-benar dapat mereka percaya untuk membangun masyarakat.
Masyarakat memilih golput pada pilkades di desa Gunung Agung
karena dilatar belakangi oleh faktor Sosial-Ekonomi yaitu faktor pendidikan.
Faktor pendidikan merupakan hal yang sangat penting untuk diperhatikan, karena
semakin tinggi pendidikan yang dimiliki oleh seseorang, maka semakin tinggi
pula kemampuan seseorang untuk menganalisa informasi tentang politik dan
persoalan-persoalan yang bersangkutan serta
mampu untuk menentukan keputusan dalam berpolitik.
Prosentase golput pada pemilihan kepala desa di desa Gunug Agung
yang mencapai 37% berpengaruh pada perolehan suara., yaitu calon bisa menang
hanya dengan perolehan suara rendah atau hanya mempunyai basis massa sedikit.
Ini tentu mengakibatkan legitimasi kekuasaan calon terpilih berkurang. Dalam
pemilihan secara langsung yang telah dilaksanakan, maka calon terpilih merasa
bahwa ia adalah pilihan rakyat dan keadaan seperti ini dikhawatirkan akan
menyebabkan calon terpilih menyalahgunakan kewenangannya.
Gambaran
Umum Obyek Penelitian
Di
lihat dari faktor demografi Desa Gunung Agung memiliki komposisi penduduk berjumlah 2.703 jiwa, yaitu
penduduk laki-laki terdiri dari 1.502 jiwa dan penduduk perempuan 1.201 jiwa.
Penduduk
Desa Gunung Agung sebagian besar
bermata pencaharian sebagai petani, hal ini dikarenakan faktor geografis yang
memadai untuk mengembangkan hasil pertanian. Padi sebagai produk unggulan desa Gunung Agung menjadi prioritas
pemerintah desa untuk terus ditingkatkan kualitasnya. Disamping penduduk
berprofesi sebagai petani, ada juga yang menggeluti bidang usaha lain seperti
pedagang, PNS, dan usaha dibidang Jasa.
Pelaksanaan
pemilihan Kepala Desa Gunung Agung langsung pada tanggal 25 November 2012. Dan
pada tahap pendaftaran sampai penutupan tercatat ada 4 orang calon yang mendaftarkan diri
yaitu Bpk. Riyadi, Bpk. Kuswanto, Bpk. Sugiharto,
dan Bpk. Handoko
Dari data tersebut nampak nya suara masyarakat akan banyak terpecah mengingat
banyaknya pilihan calon kades.
BAB III
METODE PENELITIAN
METODE PENELITIAN
3.1 Tipe Penelitian
Metode
penelitian deskriptif dapat diartikan sebagai prosedur pemecahan masalah yang
diselidiki dengan menggambarkan atau melukiskan subjek atau objek penelitian
seseorang, lembaga, masyarakat dan lain-lain pada saat sekarang berdasarkan
fakta-fakta yang tampak atau sebagaimana
adanya. Penelitian deskriptif melakukan analisis dan menyajikan data-data dan
fakta-fakta secara sistematis sehingga dapat dipahami dan disimpulkan.
Tujuan
penelitian deskriptif analisis adalah untuk membuat gambaran secara sistematis,
faktual dan akurat mengenai fakta-fakta dan sifat-sifat populasi atau daerah
tertentu. Disamping itu penelitian ini juga menggunakan teori-teori, data-data
dan konsep-konsep sebagai kerangka acuan untuk menjelaskan hasil penelitian,
menganalisis dan sekaligus menjawab persoalan yang diteliti. Oleh karena itu jenis penelitian ini adalah
penelitian kualitatif.
3.2 Fokus Penelitian
Fokus
penelitian adalah tingkat golongan putih pada pemilihan Kepala Desa di desa
Gunung Agung Kecamatan Terusan Nunyai.
3.3 Lokasi Penelitian
Penelitian
ini mengambil lokasi penelitian pada Desa Gunung Agung Kecamatan Terusan Nunyai.
3.4 Penentuan Informan
Informan
diambil dari sebagian warga desa Gunung Agung yang memilih golput pada
pemilihan kepala desa di desa Gunung Agung Kecamatan Terusan Nunyai.
3.5 Teknik Pengumpulan Data
Dalam
mengumpulkan data dan informasi yang dibutuhkan maka penulis melakukan teknik
pengumpulan data sebagai berikut:
a. Data primer yang didasarkan pada peninjauan
langsung pada objek yang diteliti untuk memperoleh data-data yang dibutuhkan.
Studi lapangan yang dilakukan dengan dating langsung ke lokasi penelitian
dengan cara menyebarkan angket/kuesioner kepada responden yang dijadikan
sebagai sampel penelitian. Responden menjawab dengan memilih pilihan jawaban
yang telah disediakan dalam daftar pertanyaan.
b. Data sekunder yaitu dengan mencari sumber
data dan informasi melalui buku-buku,
jurnal, internet dan lain-lain yang berkaitan dengan penelitian ini.
3.6 Teknik Analisa Data
Data
yang telah dikumpulkan kemudian disusun, dianalisa dan disajikan untuk memperoleh
gambaran sistematis tentang kondisi dan situasi yang ada. Data-data tersebut
diolah dan dieksplorasi secara mendalam yang selanjutnya akan menghasilkan
kesimpulan yang menjelaskan masalah yang diteliti.
Komentar
Posting Komentar