Mahkamah Konstitusi
Abstrak: “Pembentukan Mahkamah
Konstitusi bertujuan untuk melindungi konstitusi. Mahkamah Konstitusi merupakan
lembaga arbitrase final antara pemerintah dengan warga negara dalam pelanggaran
hak konstitusi. Mahkamah Konstitusi mereview semua produk legislatif yang
merupakan instrument hukum tertentu yang spesifik di lingkunan hukum dan
politik. Putusan Mahkamah Konstitusi memiliki sifat khusus dan ekslusif yang
akan menimbulkan dampak/efek ke depannya. Lembaga ini khusus dibentuk dan
terletak di luar badan peradilan biasa yang sepenuhnya independent dari cabang
lain dan dari otoritas publik.”
A. PENDAHULUAN
Penafsiran
konstitusi dapat dilakukan oleh siapa pun, tidak terkecuali warga negara secara
individu. Setiap lembaga negara memiliki otoritas untuk melakukan penafsiran
konstitusi dengan ruang lingkup kewenangan yang dimilikinya. Kedudukan lembaga
negara adalah equal dan hal ini membuat penafsiran yang dilakukan oleh suatu
lembaga negara hanya mengikat ke lembaga itu sendiri.
Penafsiran
yang dilakukan oleh badan peradilan berbeda, karena kekuasaan yudisiil yang
melekat dengannya membuat penafsirannya tentang konstitusi yang dituangkan
dalam bentuk putusan, memiliki kekuatan mengikat. Dengan demikian badan
yudisiil, dalam hal ini badan peradilan, diberi wewenang untuk mengawal dan
menafsirkan konstitusi.
Hans Kelsen
menyatakan bahwa pelaksanaan aturan konstitusional tentang legislasi dapat
secara efektif dijamin hanya jika suatu organ selain badan legislatif diberikan
tugas untuk menguji apakah suatu produk hukum itu konstitusional atau tidak,
dan tidak memberlakukannya jika menurut organ ini produk hukum tersebut tidak
konstitusional. Untuk itu dapat diadakan organ khusus seperti pengadilan khusus
yang disebut mahkamah konstitusi (constitutional court), atau kontrol
terhadap konstitusionalitas undang-undang (judicial review) diberikan
kepada pengadilan biasa, khususnya mahkamah agung seperti di Amerika Serikat.
Organ khusus yang mengontrol tersebut dapat menghapuskan secara keseluruhan
undang-undang yang tidak konstitusional sehingga tidak dapat diaplikasikan oleh
organ lain.[1]
George
Jellinek pada akhir abad ke-19 mengembangkan gagasan agar kewenangan judicial
review tersebut diterapkan di Austria, seperti yang telah diterapkan oleh
John Marshal di Amerika. Pada 1867, Mahkamah Agung Austria mendapatkan
kewenangan menangani sengketa yuridis terkait dengan perlindungan hak-hak
politik berhadapan dengan pemerintah. Pemikiran Kelsen yang telah diungkapkan
di atas, mendorong dibentuknya suatu lembaga yang diberi nama “Verfassungsgerichtshoft”
atau Mahkamah Konstitusi (Constitutional Court) yang berdiri sendiri
di luar Mahkamah Agung, sehingga model ini sering disebut sebagai “The
Kelsenian Model[2]”.
Gagasan ini
diajukan ketika Kelsen diangkat sebagai anggota lembaga pembaharu Konstitusi
Austria (Chancelery) pada tahun 1919 – 1920 dan diterima dalam
Konstitusi Tahun 1920. Inilah Mahkamah Konstitusi pertama di dunia. Model ini
menyangkut hubungan antara prinsip supremasi konstitusi (the principle of
the supremacy of the Constitution) dan prinsip supremasi parlemen (the
principle of the supremacy of the Parliament). Mahkamah konstitusi ini
melakukan pengujian baik terhadap norma-norma yang bersifat abstrak (abstract
review) dan juga memungkinkan pengujian terhadap norma kongkrit (concrete
review). Pengujian biasanya dilakukan secara “a posteriori”,
meskipun tidak menutup kemungkinan dilakukan pengujian “a priori”.[3]
Kekuasaan
ini dijalankan oleh lembaga pelaksana kekuasaan kehakiman yang dapat berdiri
sendiri terpisah dari Mahkamah Agung atau dilekatkan menjadi bagian dari fungsi
Mahkamah Agung. Namun, jika berdiri sendiri, lembaga itu sering disebut Mahkamah
Konstitusi. Keberadaan lembaga Mahkamah Konstitusi merupakan fenomena baru
dalam dunia ketatanegaraan. Sebagian besar negara demokrasi yang sudah mapan,
tidak mengenal lembaga Mahkamah Konstitusi yang berdiri sendiri. Sampai
sekarang baru ada 78 negara yang membentuk mahkamah ini secara tersendiri.[4]
Fungsinya biasanya dicakup dalam fungsi Supreme Court yang ada di setiap
negara. Salah satu contohnya ialah Amerika Serikat. Fungsi-fungsi yang dapat
dibayangkan sebagai fungsi Mahkamah Konstitusional seperti judicial review
dalam rangka menguji konstitusionalitas suatu undang-undang, baik dalam arti
formil ataupun dalam arti pengujian materiel, dikaitkan langsung dengan
kewenangan Mahkamah Agung (Supreme Court).[5]
Konstitusional/judicial
review memiliki beraneka ragam model dan varian. Keanekaragaman tersebut
dilihat dari fungsi sebagai “penjaga konstitusi” itu diberikan kepada lembaga
khusus yaitu mahkamah konstitusi (constitutionsl court) atau dilekatkan
pada lembaga peradilan biasa yang telah ada, mahkamah agung (supreme court)
atau mungkin diberikan pada lembaga independen di luar cabang kekuasaan
yudisiil. Konstitusional review diadopsi dan diperkenalkan dalam keadaan yang
berbeda, tergantung sistem ketatanegaraan masing-masing negara.
Mahkamah
Konstitusi memiliki beraneka ragam model dan varian. Adapun faktor pembeda yang
menjadi variabel dalam keanekaragaman model dan varian bentuk suatu mahkamah
konstitusi antara lain :
a. Kelembagaan/instansi, yang
dimaksud adalah, Mahkamah Konstitusi sebagai organisasi yang memiliki fungsi
sebagai penjaga konstitusi. Sebagai suatu organisasi tentu saja memiliki
struktur organisasi dalam melaksanakan tupoksi organisasi tersebut. Sistem
tertentu dapat diklasifikasikan dengan model yang umum struktur mahkamah
konstitusional berdasarkan komponen berikut :
1 Komposisi hakim
· Jumlah hakim
· Pemilihan/pengangkatan,
adalah sistem yang berlaku dalam pengajuan dan pengangkatan hakim konstitusi,
serta penetapan pihak yang memiliki kewenangan untuk mengajukan calon hakim
konstitusi.
· Masa jabatan hakim
konstitusi, apakah ada perbadaan anatara ketua Mahkamah Konstitusi dengan
anggota Mahkamah Konstitusi atau tidak.
· Persyaratan yang diperlukan
hakim konstitusi, dalam hal ini juga kemungkinan adanya variable, yaitu
persyaratan hakim konstitusi yang diajukan oleh masing-masing pihak memiliki
pesyaratan khusus atau persyaratan dari pihak-pihak tersebut sama, tidak ada
syarat tambahan atau syarat khusus.
· Kekebalan, hal ini sehubungan
jabatannya sebagai hakim konstitusi dan status jabatannya tersebut dalam
konstitusi.
2 Hukum acara, pada umumnya
adalah sidang pleno dengan menetapkan kuorum hakim konstitusi dalam setiap
sidang. Selain itu, mengatur pula tentang hukum acara tersendiri mulai dari
pendaftaran berkas sampai putusan. Putusan Mahkamah Konstitusi biasanya diambil
berdasarkan permufakatan dengan berdasarkan “dissenting/concurring opinion”
3 Organisasi, dalam hal ini,
ditinjau dari struktur organisasinya. Suatu organisasi memiliki sekretariat
yang menjalankan otonomi administrasi, menyusun dan melaksanakan anggaran,
melakukan pelayanan administrasi serta pelayanan khusus. Tentu saja semua ini
tidak dilakukan oleh hakim konstitusi melainkan staf di Mahkamah Konstitusi.
Berdasarkan kelembagaannya,
dapat dibedakan model konstitusional/judisiil review sebagai berikut :
ð Model Amerika Serikat, “Judisiil
review”, berdasarkan kasus “Marburry 1803 yang ditangani oleh “Supreme
Court” Amerika Serikat dan adanya doktrin John Marshall, dimana permasalahan
duan konstitusional menjadi wewenang badan peradilan biasa dan prinsip
putusannya adalah deklaratur dan bersifat ex-tunc.
ð Model Persemakmuran Inggris,
pengaduan konstitusional terkonsentrasi di bawah yurisdiksi supreme court yang
terdiri dari beberapa hakim biasa tanpa nominasi politik. Pengujian lebih pada
pengujian preventif meskipun dimungkinkan juga adanya pengujian represif.
Putusan yang diambil bersifat erga omnes.
ð Model Austria, model Kelsen
1920, melibatkan supremasi konstitusi dan supremasi parlemen. Masalah
konstitusional harus ditangani oleh lembaga khusus, yaitu Mahkamah Konstitusi,
Arbitrase Mahkamah Konstitusi atau Dewan Konstitusi yang memiliki kualifikasi
khusus dalam penentuan hakim dan hukum acaranya. Putusannya bersifat erga
omnes.
ð Model Perancis, conseil
constitutionnel, memiliki karakter preventif, yaitu pengujian RUU yang akan
disahkan bukan pengujian represif terhadap UU. Adapun pengujian represif di
Perancis hanya untuk permasalahan pemilihan umum.
ð Tanpa sistem
konstitusional/judisiil review.
ð Lembaga peradilan internasional
yang memiliki fungsi konstitusional review.
ð Model Campuran, yaitu
menggabungkan dari beberapa model yang ada dan disesuaikan dengan kondisi dan
sistem ketatanegaraan yang dianutnya.
b. Kedudukan Mahkamah
Konstitusi dalam konstitusi, sebagai organ utama atau organ tambahan, serta
kedudukannya dengan lembaga negara yang lain, apakah equal atau tidak.
c. Sifat dan prinsip mahkamah,
hal ini merupakan dampak dari kelembagaan Mahkamah Konstitusi. Model pranata
judicial /constitutional review mempengaruhi sifat putusan dan dampak yang
timbul akibat putusan tersebut. Adapun sifat dan prinsip mahkamah memiliki
varian yang beragam, antara lain :
ð Finalitas;
ð Kekuatan mengikat, dalam hal
ini terdapat 2 (dua) macam, yaitu : erga omnes dan inter partes;
ð Ex officio;
ð Pembatalan seluruhnya atau
sebagian;
ð Konsekuensi putusan dan ganti
rugi;
ð Inkonstitusional atau tidak
sah atau tidak mengikat; atau
ð Bentuk lain putusan
Selain itu, mahkamah konstitusi
harus mempublikasikan setiap putusannya melalui berita resmi, jurnal hukum,
media elektronik atau bentuk lainnya.
d. Kewenangan
ð Kewenangan inti, yaitu “constitutional
review” baik itu preventif maupun a posteriori review.
ð Kewenangan lain : pengaduan
konstitusional, sengketa pemiihan umum, sengketa antar lembaga atau partai
politik, atau lainnya yang menjadi kewenangan Mahkamah Konstitusi yang
diberikan oleh konstitusi.
Chili,
adalah sebuah di Amerika Serikat yang sering mengalami konflik internal
menyangkut permasalahan politik dan sosial. Namun, Chili memiliki sistem
peradilan terbaik di Amerika Latin. Chili dengan Konstitusi 1925 telah
memperkenalkan reformasi yang diarahkan pada depolitisasi dan pengembangan dari
sistem peradilan yang memberikan jaminan terhadap kemerdekaan ke kuasaan kehakiman. Namun, pada
Konstitusi 1980 Pengadilan menjadi alat politik dalam proses pemerintahan junta
militer Jenderal Augusto Pinochet, sehingga depolitisasi dan pengembangan dari
sistem peradilan yang memberikan jaminan terhadap kemerdekaan kekuasaan
kehakiman menjadi semu.
Dan
tahun 2004, Chili mengamandemen Konstitusi 1980 menjadi Konstitusi 2004, dengan
alasan Konstitusi 1980 tidak mencerminkan semangat demokrasi karena Konstitusi
1980 dibuat pada masa pemerintahan junta militer.
Bentuk
negara Chili adalah kesatuan, yang terdiri dari 13 (tiga belas) daerah dengan
40 (empat puluh) propinsi yang dipimpin oleh gubernur yang ditunjuk oleh
presiden. Chili menganut sistem desentralisasi dan merupakan Negara yang
menganut sistem presidensiil dengan multi-partai.
Beberapa
kondisi yang memiliki kesamaan dengan Indonesia inilah yang menjadi alasan
dalam penulisan “PERBANDINGAN
MAHKAMAH KONSTITUSI INDONESIA DENGAN CHILI”. Pembahasan pun akan dibatasi
dengan rumusan masalah sebagai berikut :
1. Model dan kewenangan Mahkamah
Konstitusi di Indonesia.
2. Model dan kewenangan
Mahkamah Konstitusi di Chili.
B. PEMBAHASAN
1. Mahkamah Konstitusi di
Indonesia
Ide pembentukan mahkamah konstitusi yang merupakan salah satu
perkembangan pemikiran hukum dan kenegaraan yang muncul pada abad ke-20 ini.
Ide tersebut diadopsi pada amandemen ketiga UUD 1945 tahun 2001.
Mahkamah
Konstitusi Indonesia, ditinjau dari aspek-aspek berikut ini :
a. Kelembagaan
Fungsi penjaga konstitusi diberikan kepada lembaga khusus di luar
badan peradilan biasa dan independen tapi masih termasuk dalam badan cabang
kekuasaan yudisiil yang diwujudkan dalam suatu bentuk mahkamah, yaitu Mahkamah
Konstitusi. Kelembagaan Mahkamah Konstitusi mulai terbentuk pada tahun 2003
dengan disahkannya UU Nomor 24 Tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi. Namun,
sebelum lembaga Mahkamah Konstitusi terbentuk maka semua fungsinya dilaksanakan
sementara oleh Mahkamah Agung.
Mahkamah Konstitusi sebagai kelembagaan dilihat dari 3 (tiga) aspek,
yaitu :
1. Komposisi Hakim
Jumlah hakim : 9 hakim
Pemilihan/pengangkatan :
3 orang diajukan oleh Mahkamah Agung;
3 orang diajukan oleh DPR;
3 orang diajukan oleh presiden.
Tidak ada
pembedaan/diskriminasi, persyaratan yang tercantum pada pasal 16 UU Nomor 24
Tahun 2003 berlaku untuk semua calon yang diajukan baik itu hakim atau pun
praktisi hukum.
Konfigurasi
sumber rekrutmen hakim konstitusi dari tiga cabang kekuasaan negara tersebut
mencerminkan keseimbangan dan keterwakilan tiga cabang kekuasaan negara (trias
politica, yaitu : legislatif, eksekutif dan yudisiil) di dalam tubuh
Mahkamah Konstitusi sebagai penjaga konstitusi dan lembaga pelaksana kekuasaan
kehakiman yang memperkuat sistem checks and balances antarcabang
kekuasaan negara.
Masa jabatan : 5 tahun
2. Hukum Acara
Mahkamah Konstitusi memeriksa, mengadili dan memutuskan dalam sebuah
sidang pleno Mahkamah Konstitusi dengan 9 (sembillan) hakim konstitusi, kecuali
dalam keadaan luar biasa dengan 7 (tujuh) hakim konstitusi. Adapun keadaan luar
biasa ditetapkan oleh Mahkamah Konstitusi.
3. Organisasi
Mahkamah Konstitusi, di luar hakim konstitusi, memiliki sekretariat
dan kepaniteraan yang menjalankan otonomi administrasi, anggaran, layanan
administrasi, layanan khusus seperti pusat informasi hukum, perpustakaan hukum
dan penasehat hukum.
b. Kedudukan
Mahkamah Konstitusi merupakan salah satu lembaga Negara yang
melakukan kekuasaan kehakiman yang merdeka untuk menyelenggarakan peradilan
dalam menegakkan hukum dan keadilan.
c. Sifat dan Prinsip Mahkamah
Putusan maupun pendapat Mahkamah adalah final, adapun sifat final
yang terdapat pada pasal 10 ayat (1) dan (2) UU No. 24 Tahun 2003 merupakan
pemberian opini dalam perbedaan pendapat. Hal ini berkaitan dengan fungsi utama
dari Mahkamah Konstitusi yang diberikan kewenangan untuk menafsirkan UUD 1945
dan memastikan tidak adanya pelanggaran terhadap UUD 1945. Sedangkan untuk
pasal 10 ayat (3) dan (4) UU No. 24 Tahun 2003 dikarenakan dalam
penyelesaiannya dibutuhkan waktu yang singkat. Hal ini dikarenakan kemanfaatan
dari putusan tersebut yang dibatasi oleh waktu, yaitu 5 (lima) tahun setelah
itu apapun putusannya tidak akan mempunyai kemanfaatan lagi.
Putusan tersebut harus dipublikasikan melalui berita resmi, jurnal
hukum dan media elektronik. Hal ini bertujuan agar masyarakat dapat mengetahui
dan mengakses putusan tersebut
d. Kewenangan
Mahkamah Konstitusi Indonesia mempunyai 4 (empat) kewenangan dan 1
(satu) kewajiban. Mahkamah Konstitusi berwenang mengadili pada tingkat pertama
dan terakhir pada putusannya yang bersifat final untuk :
1. Menguji UU terhadap UUD 1945;
2. Memutus sengketa kewenangan lembaga negara yang kewenangannya
diberikan oleh UUD 1945;
3. Memutus pembubaran partai politik; dan
4. Memutus perselisihan tentang hasil pemilihan umum.
Selain itu,
Mahkamah Konstitusi wajib memberikan putusan atas pendapat DPR mengenai
impeachment presiden/wakil presiden.
Berdasarkan 4 (empat) wewenang dan 1 (satu) kewajiban yang dimiliki
tersebut, Mahkamah Konstitusi memiliki fungsi sebagai penjaga konstitusi (the
guardian of the constitution). Hal tersebut sesuai dengan dasar
keberadaannya untuk menjaga pelaksanaan konstitusi. Fungsi tersebut membawa
konsekuensi Mahkamah Konstitusi juga memiliki fungsi lain, yaitu sebagai
penafsir konstitusi yang bersifat final (the final interpreter of the
constitution).
Selain itu, sesuai dengan materi muatan UUD 1945 yang meliputi
aturan dasar kehidupan bernegara berdasarkan prinsip demokrasi dan jaminan
terhadap perlindungan hak asasi manusia, Mahkamah Konstitusi juga memiliki
fungsi sebagai pengawal demokrasi (the guardian of the democracy by
protecting minority rights), pelindung hak konstitusional warga negara (the
protector of the citizen’s constitutional rights), serta pelindung hak
asasi manusia (the protector of human rights).[6]
2. Mahkamah Konstitusi di Chili
Chili, dalam sistem hukum dan peradilannya banyak terinspirasi hukum
Romawi dan Spanyol, juga dari tradisi-tradisi Perancis, khususnya Kode Napoleon. Konstitusi Chili yang terbaru
adalah Konstitusi 2004.
Namun, dikarenakan naskah Konstitusi 2004 masih belum dapat
diperoleh, sehingga dalam perbandingan ini tidak memungkinkan untuk dapat
dikaji, khususnya mengenai kekuasaan yudisiil, yaitu Mahkamah Konstitusi.
Dengan demikian, Konstitusi 1980 digunakan sebagai dasar hukum dalam kajian
Mahkamah Konstitusi Chili dalam perspektif perbandingan dengan Mahkamah
Konstitusi Indonesia.
Berdasarkan
Konstitusi 1980, Mahkamah Konstitusi Chili memiliki karakteristik sebagai
berikut :
a. Kelembagaan
Konstitusi 1980, kelembagaan Mahkamah Konstitusi mulai terbentuk.
Mahkamah Konstitusi Chili sebagai kelembagaan dilihat dari 3 (tiga) aspek,
yaitu :
1. Komposisi Hakim
Jumlah hakim : 7 hakim
Pemilihan/pengangkatan :
3 hakim dipilih dari Mahkamah Agung berdasarkan suara terbanyak;
1 praktisi hukum ditunjuk oleh presiden;
2 praktisi hukum ditunjuk Dewan Keamanan Nasional;
1 praktisi hukum ditunjuk oleh Senat.
Syarat untuk
praktisi hukum:
Memiliki kinerja yang sangat baik di dalam universitas ataupun
suatu kegiatan umum
Tidak memiliki halangan yang menyebabkan mereka tidak dapat
menjalankan fungsi dan tugasnya selaku hakim konstitusi
Syarat
tambahan untuk praktisi hukum yang diusulkan oleh presiden dan senat adalah
sebelumnya pernah aktif di dalam MA (bukan sebagai hakim) sedikitnya dalam
jangka waktu 3 tahun berturut-turut.
Masa jabatan : 8 tahun
2. Hukum Acara
Setiap sesi persidangan yang digelar oleh Mahkamah Konstitusi harus
memenuhi kuorum sedikitnya 5 hakim konstitusi dan putusan yang dikeluarkan oleh
Mahkamah Konstiusi tidak dapat diajukan banding.
3. Organisasi
Sama halnya dengan Mahkamah Konstitusi Indonesia, Mahkamah
Konstitusi Chili juga memiliki sekretariat dan kepaniteraan yang menjalankan
otonomi administrasi, anggaran, layanan administrasi, layanan khusus seperti
pusat informasi hukum, perpustakaan hukum dan penasehat hukum.
b. Kedudukan
Kedudukan Mahkamah Konstitusi Chili, sama halnya dengan Mahkamah
Konstitusi Indonesia, merupakan salah satu lembaga Negara yang melakukan
kekuasaan kehakiman yang merdeka untuk menyelenggarakan peradilan dalam
menegakkan hukum dan keadilan.
c. Sifat dan Prinsip Mahkamah
Putusan maupun pendapat Mahkamah adalah final, tidak dapat diganggu
gugat dan mengikat semua lembaga. Putusan tersebut harus dipublikasikan melalui
berita resmi.
d. Kewenangan
Kewenangan Mahkamah Konstitusi Chili lebih banyak daripada Mahkamah
Konstitusi Indonesia. Adapun kewenangannya (pasal 82 Konstitusi 1980) antara
lain :
1. Melakukan pengawasan agar pembuatan UU yang dibuat oleh kongres
tidak bertentangan dengan konstitusi;
2. Menyelesaikan permasalahan yang terkait dengan konstitusi di
dalam pembuatan suatu UU ataupun di dalam proses amandemen UUD dan juga
menyelesaikan permasalahan yang terkait dengan konstitusi atas segala
perjanjian internasional yang perlu persetujuan oleh kongres;
3. Menyelesaikan permasalahan yang terkait dengan konstitusi di
dalam segala penetapan atau pun putusan yang memiliki kekuatan hukum;
4. Menyelesaikan sengketa pemilihan umum, sehubungan dengan putusan
yang telah dikeluarkan oleh Elections Qualifying Court;
5. Menyelesaikan tuntutan yang timbul apabila presiden tidak
mengeluarkan suatu peraturan dimana seharusnya peraturan tersebut dikeluarkan
atau apabila presiden mengeluarkan suatu peraturan yang bertentangan dengan
konstitusi;
6. Memutuskan (apabila diminta oleh presiden) mengenai persesuaian
dengan pasal 88 Konstitusi 1980 tentang suatu putusan yang dikeluarkan oleh
presiden tentang anggaran negara yang dinyatakan oleh comptroller general
bertentangan dengan konstitusi;
7. Menyatakan apabila suatu organisasi, pergerakan atau partai
politik dinyatakan bertentangan dengan konstitusi sesuai dengan pasal 8
Konstitusi Chile yaitu organisasi, pergerakan atau partai politik yang
melakukan propaganda politik, melakukan tindakan kekerasan sehingga harus
dibubarkan;
8. Menyatakan apabila seseorang dianggap bertanggung jawab atas
tindakan yang bertentangan dengan perintah yang dikeluarkan oleh negara,
apabila orang tersebut adalah Presiden Republik Chile, maka akan dibutuhkan
persetujuan dari Senat;
9. Memberikan laporan kepada Senat sehubungan dengan kasus yang
sedang ditangani oleh chambers of deputies mengenai dugaan adanya
pelanggaran hukum yang dilakukan oleh pemerintah;
10. Menyelesaikan permasalahan yang terkait dengan konstitusi
sehubungan dengan larangan bagi seseorang untuk ditunjuk sebagai Menteri
Negara, ataupun apakah seorang Menteri Negara masih dapat menduduki jabatannya,
serta dapat atau tidaknya Menteri Negara menjalankan fungsi di luar fungsi yang
dimilikinya secara serentak atau berbarengan;
11. Menetapkan mengenai ketidakmampuan dan/atau tidak lagi memenuhi
syarat serta alasan diberhentikannya anggota kongres;
12. Memutuskan bertentangan atau tidaknya putusan tertinggi yang
dikeluarkan oleh presiden sehubungan dengan kewenangannya, dimana putusan
tersebut dikeluarkan berdasarkan amanat dari konstitusi.
Mahkamah Konstitusi Chili hanya bisa melakukan pengujian dari RUU
sebelum disahkan menjadi UU atau Perjanjian Internasional sebelum diratifikasi,
hal ini serupa dengan kewenangan yang dimiliki oleh conseil constitutionnel
di Perancis. Sedangkan untuk Perjanjian Internasional sudah diratufikasi atau
RUU sebelum disahkan menjadi UU maka hak pengujian tidak lagi menjadi
kewenangan Mahkamah Konstitusi melainkan Mahkamah Agung.
Terkait dengan hal ini, Mahkamah Konstitusi, pada tanggal 18 April
2002 telah membuat putusan yang kontroversial, yaitu dalam perkara “Landmark
case”. Mahkamah Konstitusi memutuskan Perjanjian Internasional mengenai Statuta
Roma adalah inkonstitusional. Padahal Perjanjian Internasional tersebut telah
diratifikasi oleh chambers of deputies pada tanggal 22 Januari 2002.
Mahkamah Konstitusi menyatakan inkonstitusional Statuta Roma yang
telah diratifikasi. Dalam putusannya, Mahkamah Konstitusi menyatakan bahwa
berdasarkan konstitusi, kedaulatan terletak pada negara. Yurisdiksi dari ICC
tidak bersifat atau berfungsi melengkapi dari peradilan Chili akan tetapi sifat
dan fungsinya adalah substitusi dari peradilan Chili. Permohonan tersebut
diajukan oleh oposisi sayap kanan yang tidak menginginkan Pinochet diadili di
ICC.
Hal ini dikarenakan tidak berselang lama dari ratifikasi tersebut,
Pinochet ditangkap di London dan diadili oleh ICC. Terlepas dari alasan
tersebut, yang menjadi kontroversial adalah berdasarkan Konstitusi 1980,
Mahkamah Konstitusi hanya memiliki kewenangan untuk menyatakan suatu perjanjian
internasional adalah inkonstitusional apabila perjanjian internasional tersebut
belum diratifikasi. Sedangkan Statuta Roma yang dinyatakan inkonstitusional
tersebut, telah diratifikasi oleh chambers of deputies. Seharusnya
Mahkamah Konstitusi tidak berwenang dalam masalah ini dan yang berwenang adalah
Mahkamah Agung.
Peradilan Chili, sepanjang sejarahnya, sangat jarang dapat
memisahkan antara permasalahan politik dan konstitusional. Ini pula lah yang
menyebabkan perlunya amandemen Konstitusi 1980.
C. KESIMPULAN
Berdasarkan
uraian tersebut di atas, pada dasarnya banyak terdapat kesamaan antara
Indonesia dengan Chili dalam hal konstitusional review, yaitu dengan adanya
sebuah Mahkamah Konstitusional. Mahkamah Konstitusional Indonesia dengan Chili,
pada dasarnya memiliki beberapa kesamaan.
Perbedaan
yang sangat signifikan terletak pada kewenangan Mahkamah Konstitusi Chili yang
hanya bisa melakukan pengujian terhadap perjanjian internasional yang belum
diratifikasi atau RUU sebelum disahkan menjadi UU. Hal ini serupa dengan
kewenangan yang dimiliki oleh conseil constitutionnel di Perancis.
Sedangkan pengujian perjanjian internasional yang telah diratifikasi atau UU
merupakan kewenangan dari Mahkamah Agung.
Mahkamah
Konstitusi Indonesia memiliki kewenangan konstitusional review dalam
permasalahan pengujian UU yang dianggap inkonstitusional. Sedangkan Mahkamah
Agung hanya memiliki kewenangan judicial review, yaitu untuk produk peraturan
perundang-undangan di bawah UU dengan pembandingnya tentu saja UU.
DAFTAR PUSTAKA
Buku
Asshiddiqie,
Jimly. Konstitusi & Konstitusionalisme Indonesia. Edisi Revisi.
Jakarta: Konstitusi Press, 2005.
-----------------------.
Model-Model Pengujian Konstitusional Di Berbagai Negara. Jakarta:
Konstitusi Press, 2005.
-----------------------. Hukum Acara Pengujian Undang-Undang.
Jakarta
Konstitusi Press. 2006
Kelsen, Hans. General Theory of Law and State. translated by:
Anders Wedberg. New York: Russell & Russell, 1961.
Lijphart, Arend. Patterns of Democracy: Government Forms and
Performance in Thirty-Six Countries. New Heaven and London: Yale University
Press, 1999.
Makalah
Asshiddiqie, Jimly. Gagasan Dasar tentang Konstitusi dan Mahkamah
Konstitusi.
Jakarta : Konstitusi Press
-----------------------. Mahkamah Konstitusi dalam Sistem
Ketatanegaraan
Republik Indonesia. Jakarta : Konstitusi Press.
Haberle, Peter. Role and Impact of Constitutional Courts in a
Comparative
Perspective. Bayreuth
Peraturan perundang-undangan
UUD 1945
UU Nomor 24 Tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi
Constitution of Chile 1980
[1] Hans Kelsen, General Theory of Law and
State, translated by: Anders Wedberg, (New York: Russell & Russell,
1961), hal 157.
[2] Disebut juga dengan “the centralized
system of judicial review”. Lihat Arend Lijphart, Patterns of Democracy:
Government Forms and Performance in Thirty-Six Countries, (New Heaven and
London: Yale University Press, 1999), hal. 225.
[3] Jimly Asshiddiqie, Model-Model Pengujian
Konstitusional Di Berbagai Negara, (Jakarta: Konstitusi Press, 2005), hal.
28, 29, 64 – 66, 108 dan 109. Terhadap peran Kelsen dalam hal ini masih ada
perbedaan pandangan antara mana yang lebih penting perannya antara Georg
Jellinek dan Adolf Merkl atau Hans Kelsen. Lihat end note bagian pertama
halaman 51 nomor 32.
[4] Indonesia merupakan negara ke-78 yang
membentuk lembaga ini dan merupakan negara pertama di dunia pada abad ke-21
yang membentuknya. Uraian lengkap mengenai MK di 78 negara dapat dibaca dalam
Jimly Asshiddiqie dan Mustafa Fakhri, Mahkamah Konstitusi, Kompilasi
Ketentuan Konstitusi, Undang-Undang dan Peraturan di 78 Negara, Jakarta:
Pusat Studi Hukum Tata Negara Fakultas Hukum Universitas Indonesia dan Asosiasi
Pengajar Hukum Tata Negara dan Hukum Administrasi Negara Indonesia.
[5] Pembahasan secara komprehensif mengenai
pengujian konstitusional dapat dibaca dalam Jimly Asshiddiqie, Model-model
Pengujian Konstitusional di Berbagai Negara, Jakarta: Konstitusi Press,
2005.
"Zapplerepair pengerjaan di tempat. Zapplerepair memberikan jasa service onsite home servis pengerjaan di tempat khusus untuk kota Jakarta, Bandung dan Surabaya dengan menaikan level servis ditambah free konsultasi untuk solusi di bidang data security, Networking dan performa yang cocok untuk kebutuhan anda dan sengat terjangkau di kantong" anda (http://onsite.znotebookrepair.com)
BalasHapusTIPS DAN TRICK UNTUK PENGGUNA SMARTPHONE”