Perbandingan Model Pengujian Konstitusional Antara Indonesia Dengan Amerika Serikat
Saiful Abdullah, S.H., M.H.
Abstract
The attendance of the
Constitutional Court in line with Indonesia as a state of law that uphold the establishment of a democratic
and constitutional
life.
Democratization and
constitutionalism
are part
of the spirit in the life of
nation and state.
The attendance of
the Constitutional
Court
is within the framework of
creating
a democratic
government, checks
and balances,
and as an institution that
has the
authority to
conduct
judicial
control
of the
implementation of the
State.
Keynote : checks and balances,
Comparative of constoitutional review model, Constitutional
Court
A.
PENDAHULUAN
Keberadaan MK
adalah sejalan dengan Indonesia sebagai Negara hukum yang menjunjung tinggi
terwujudnya kehidupan yang demokratis dan konstitusional. Demokratisasi dan
konstitusionalisme adalah merupakan bagian dari semangat dalam kehidupan
berbangsa dan bernegara. Untuk dapat mewujudkan hal tersebut, maka adanya
perubahan terhadap sistem ketatanegaraan atau konstitusi merupakan suatu
keniscayaan. Salah satunya adalah adanya lembaga baru dalam sistem ketatanegaraan
kita yaitu MK. Kehadiran lembaga MK ini adalah dalam kerangka menciptakan
pemerintahan yang demokratis, check and
balances, dan sebagai lembaga yang memiliki kewenangan untuk melakukan
control yudisial terhadap penyelenggaraan Negara.
Dalam perkembangan
gagasan pengujian konstitusional (constitutional
review), dalam berbagai Negara mengalami suatu perkembangan yang sangat
pesat dengan tahapan-tahapan yang beragam dan berbeda antar satu Negara dengan Negara
lainnya. Hal ini tentu saja tidak terlepas dari politik dalam berbagai Negara tersebut. Ada yang
melembagakan fungsi pengujian konstitusional itu dalam bentuk lembaga yang
mandiri bernama Mahkamah Konstitusi, ada pula yang mengaitkan fungsi pengujian
kepada lembaga yang sudah ada, misalnya Mahkamah Agung. Ada pula yang
memberikan tugas dalam menjalankan fungsi pengujian konstitusional kepada
lembaga-lembaga atau badan-badan khusus, misalnya badan pengadilan yang sudah
ada. Disamping itu juga, ada Negara-negara yang tidak dapat menerima adanya
fungsi pengujian semacam itu sama sekali.
Hans Kelsen
menyatakan bahwa pelaksanaan konstitusional tentang legislasi dapat secara
efektif dijamin hanya jika suatu organ selain badan legislatif diberikan tugas
untuk menguji apakah suatu produk hukum itu konstitusional atau tidak, dan
tidak memberlakukannya jika menurut organ ini produk hukum tersebut tidak
konstitusional. Untuk itu dapat diadakan organ khusus seperti pengadilan khusus
yang disebut mahkamah konstitusi (constitutional
court), atau kontrol terhadap konstitusionalitas undang-undang (judicial review) diberikan kepada
pengadilan biasa, khususnya mahkamah agung. Organ khusus yang mengontrol
tersebut dapat menghapuskan secara keseluruhan undang-undang yang tidak
konstitusional sehingga tidak dapat diaplikasikan oleh organ lain. Sedangkan
jika sebuah pengadilan biasa memiliki kompetensi menguji konstitusionalitas
undang-undang, mungkin hanya dalam bentuk menolak untuk menerapkannya dalam
kasus konkret ketika menyatakan bahwa undang-undang tersebut tidak
konstitusional sedangkan organ lain tetap diwajibkan menerapkannya[1]. George Jellinek pada
akhir abad ke-19 mengembangkan gagasan agar kewenangan judicial review tersebut diterapkan di Austria, seperti yang telah
diterapkan oleh John Marshal di Amerika. Pada tahun 1867, Mahkamah Agung
Austria mendapatkan kewenangan menangani sengketa yuridis terkait dengan
perlindungan hak-hak politik berhadapan dengan pemerintah.
Pemikiran Kelsen
yang telah diungkapkan di atas, mendorong dibentuknya suatu lembaga yang diberi
nama Verfassungsgerichtshoft atau
Mahkamah Konstitusi (Constitutional
Court) yang berdiri sendiri di luar Mahkamah Agung, sehingga model ini
sering disebut sebagai “The Kelsenian
Model[2]”.
Gagasan ini diajukan ketika Kelsen diangkat sebagai anggota lembaga pembaharu
Konstitusi Austria (Chancelery) pada
tahun 1919 – 1920 dan diterima dalam Konstitusi Tahun 1920. Inilah Mahkamah
Konstitusi pertama di dunia. Model ini menyangkut hubungan antara prinsip
supremasi konstitusi (the principle of
the supremacy of the Constitution) dan prinsip supremasi parlemen (the principle of the supremacy of the
Parliament). Mahkamah konstitusi ini melakukan pengujian baik terhadap
norma-norma yang bersifat abstrak (abstract
review) dan juga memungkinkan pengujian terhadap norma kongkrit (concrete review). Pengujian biasanya
dilakukan secara a posteriori,
meskipun tidak menutup kemungkinan dilakukan pengujian a priori.[3]
Pengalaman-pengalaman
di berbagai Negara tentu saja memperlihatkan bahwa tradisi yang mereka ikuti
tidak sama dari satu Negara ke Negara lainnya. Tulisan ini bertujuan mengkaji
hal-hal yang berkaitan dengan model pengujian konstitusional atau judicial
review dalam sistem ketatanegaraan antara Indonesia dengan Negara Amerika
Serikat.
B. PEMBAHASAN
1.
Beberapa Model Pengujian
Konstitusional
Di berbagai Negara sejarah
institusi, pengujian konstitusional (constitutional
review) mengalami perkembangan yang sangat pesat. Ada yang melembagakan
fungsi pengujian konstitusional itu secara mandiri dan ada pula yang mengaitkan
fungsi pengujian konstitusional itu kepada lembaga yang sudah ada yaitu
Mahkamah Agung, serta ada pula yang terkait dengan fungsi badan-badan yang
sudah ada. Berbagai macam model pengujian konstitusional itu menggambarkan
bahwa metode dan prosedur dalam pengujian itu banyak macam dan coraknya.
Kewenangan menguji
(constitutional review) dalam
pelaksanaannya adalah meliputi semua produk legislative (legislative act) yang merupakan perangkat hukum yang mempunyai
kedudukan tertinggi dalam setiap sistem politik dibawah UUD. Kewenagan
pengujian konstitusional semacam ini dipusatkan hanya pada satu-satunya lembaga
yang diberi kewenangan khusus sebagai lembaga penafsir konstitusi (the soul and the highest interpreter of the
constitution).
Melihat pada
besarnya peran dan fungsi serta kedudukan sistem pengujian konstitusional dalam
sistem ketatanegaraan suatu Negara, maka di beberapa Negara di bentuk lembaga
tersendiri yang bersifat diluar cabang-cabang kekuasaan public yang sudah ada
dan Negara pertama yang melakukan hal itu adalah Austria yang membentuk
Mahkamah Konstitusi (Verfassungsgerichtsshoft)
yang keberadaannya tersendiri diluar Mahkamah Agung. Model pengujian
konstitusional Austria ini berbeda dengan model pengujian yang berkembang di Negara
Amerika Serikat. Negara Paman Sam inilah sebenarnya sebagai Negara pelopor
dalam hal pengujian konstitusional di dunia. Di Amerika Serikat yang dilatar
belakangi tradisi hukum “common law”
dalam sistem kelembagaannya, model pengujian konstitusional tidak terpisah dari
lembaga Mahkamah Agung atau lazim kita kenal dengan sebutan “The Guardian of American Constitution”.
2.
Model Pengujian Konstitusional
Indonesia menurut UUD 1945
Pada awal bergulirnya era
reformasi pada tahun 1998, dimulailah babak baru dalam sistem ketatanegaraan
kita Indonesia, salah satunya ditandai dengan lahirnya lembaga baru dalam sistem
kehakiman sebagai lembaga yudisial, yaitu lembaga Mahkamah Konstitusi atau “Constitutional Court”. Fenomena baru lembaga ini diatur sepenuhnya dalam UUD 1945 amandemen.
Keberadaan lembaga MK ini diharapkan tidak hanya sekedar merubah paradigma
struktur ketatanegaraan Indonesia atau sistem pemerintahan, melainkan
diharapkan mampu menjadi lembaga penyeimbang atau lembaga pengawas yang meampu
melaksanakan prinsip checks and balances,
dan disamping itu bahwa lembaga MK mempunyai kewenangan mengawasi terhadap
penyelenggaraan Negara atau pemerintahan. Di
Indonesia, pengujian konstitusional ini kemudian dikenal dengan “Judicial Review”.
Peristilahan
“judicial review” dapat dibedakan dengan istilah “constitutional review” atau
pengujian konstitusional. Pembedaan dilakukan sekurang-kurangnya karena dua
alasan. Pertama, “constitutional review” selain dilakukan oleh hakim dapat pula
dilakukan oleh lembaga selain hakim atau pengadilan, tergantung kepada lembaga
mana UUD memberikan kewenangan untuk melakukannya. Kedua, dalam konsep “judicial
review” terkait pula pengertian yang lebih luas objeknya, misalnya mencakup
soal legalitas peraturan di bawah Undang-Undang terhadap Undang-Undang,
sedangkan “constitutional review” hanya menyangkut pengujian
konstitusionalitasnya, yaitu terhadap UUD.
Konsep
“constitutional review” itu dapat dilihat sebagai hasil perkembangan gagasan
modern tentang sistem pemerintahan demokratis yang didasarkan atas ide-ide negara
hukum (rule of law), prinsip pemisahan kekuasaan (separation of powers), serta
perlindungan dan pemajuan hak asasi manusia (the protection of fundamental
rights). Dalam sistem ‘constitutional review’ itu tercakup 2 (dua) tugas pokok.
Pertama, menjamin berfungsinya sistem demokrasi dalam hubungan perimbangan
peran atau interplay antara cabang kekuasaan legislatif, eksekutif, dan lembaga
peradilan (judiciary).
Dengan
kata lain, “constitutional review” dimaksudkan untuk mencegah terjadinya
pendayagunaan kekuasaan oleh satu cabang kekuasaan sedemikian rupa sehingga
cabang kekuasaan lainnya; Kedua, melindungi setiap individu warga negara dari
penyalahgunaan kekuasaan oleh lembaga negara yang merugikan hak-hak fundamental
mereka yang dijamin dalam konstitusi.
Di
dunia saat ini, sejarah institusi yang berperan melakukan kegiatan
“constitutional review” berkembang pesat melalui tahap-tahap pengalaman yang
beragam di setiap negara. Ada yang melembagakan fungsi pengujian konstitusional
itu dalam lembaga yang tersendiri bernama Mahkamah Konstitusi. Ada pula yang
mengaitkan fungsi pengujian itu kepada lembaga yang sudah ada, yaitu Mahkamah
Agung. Ada pula yang memberikan tugas untuk menjalankan fungsi pengujian itu
kepada badan-badan khusus dalam kerangka lembaga-lembaga lain seperti
badan-badan pengadilan yang sudah ada; dan ada pula yang tidak menerima adanya
fungsi pengujian semacam itu sama sekali. Pengalaman di berbagai negara di
dunia memperlihatkan bahwa tradisi yang mereka ikuti tidak sama dari satu negara
ke negara yang lain.
Bagi
Indonesia kehadiran lembaga MK ini dimulai dan muncul pada saat adanya
perdebatan tentang impeachment yang
mengiringi perdebatan pemberhentian Presiden Abdurrahman Wahid, oleh karena itu
maka Pasal 7A dan Pasal 7B UUD 1945 tentang pemberhentian Presiden terpisah
dengan rumusan Pasal 24 C ayat (1) UUD 1945 mengenai kewenangan MK[4].
Adanya
perubahan mendasar dalam sistem ketatanegaraan dalam perspektif UUD 1945 yang
ditandai dengan lahirnya lembaga MK, menunjukkan adanya keseriusan pemerintah
dalam melembagakan MK sebagai lembaga yang mempunyai kewenangan pengujian
konstitusional yang sekaligus menjadi lembaga control atau pengawas terhadap
penyelenggaraan Negara atau pemerintahan atau sebagai lembaga yang mengemban
prinsip checks and balances. Asas
atau prinsip checks and balances yang
melahirkan lembaga MK dimaksudkan berfungsi untuk menegakkan
konstitusionalisme, karena pada satu pihak hukum harus dapat membatasi
kekuasaan (agar tidak menjadi sewenang-wenang), dan pada pihak lain bahwa
kekuasaan merupakan suatu jaminan bagi berlakunya hukum, oleh karena hukum
bukanlah merupakan kaidah-kaidah yang dengan sendirinya mempunyai kekuatan
berlaku.
Disisi
lain, bahwa dengan lahirnya lembaga MK menjadi titik balik tumbuh dan
berkembangnya negara hukum modern, yang mengusung prinsip perlindungan segenap
bangsa, mensejahterakan dan mencerdaskan bangsa dan ikut serta dalam perdamaian
atau ketertiban dunia yang merdeka, bersatu berdaulat adil dan makmur.
Berangkat
dari gambaran tersebut diatas, maka dapat penulis simpulkan bahwa kehadiran
lembaga MK menurut UUD 1945 tidak hanya berfungsi sebagai lembaga yang
mempunyai kewenangan menguji undang-undang, tetapi juga berfungsi sebagai
pengawal konstitusi, sebagai penafsir konstitusi, sebagai penegak demokrasi,
dan sebagai penjaga hak asasi manusia (HAM). Untuk lebih jelasnya bagaimana dan
seperti apa struktur, fungsi dan kedudukan lembaga MK dalam sistem ketatanegaraan
Indonesia dalam perspektif UUD 1945, penulis jelaskan pada sub bab pembahasan
berikut ini.
3. Fungsi Mahkamah Konstitusi
Gagasan pembentukan lembaga MK
adalah tidak lain merupakan dorongan dalam penyelenggaraan kekuasaan dan system
ketatanegaraan Indonesia yang lebih baik. Menurut Fatkhurohman, et al. (2004) bahwa paling tidak ada 4
(empat) hal yang melatarbelakangi dan menjadi pijakan dalam pembentukan lembaga
MK, yaitu :
a. Merupakan implikasi dari paham
konstitusionalisme
b. Mekanisme check and balances
c. Penyelenggaraan Negara yang
bersih dan
Dalam
UUD 1945 dan Undang-undang Nomor 24 Tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi, tidak
terdapat rumusan tentang fungsi MK, tetapi dalam Penjelasan Umum UU MK tersebut
dijelaskan bahwa fungsi MK adalah untuk mewujudkan Negara hukum dan demokrasi.
Berdasarkan
pada fungsi lembaga MK tersebut, ada beberapa unsur tentang penegakan
konstitusi atau konstitusionalisme yang sangat relevan kaitannya dengan fungsi
MK yang dikemukakan oleh Andrews sebagaimana dikutip oleh Abdul Latif (2007),
yaitu :
a. The general goals of society or general acceptance of the same
philosophy of government (kesepakatan tentang tujuan atau cita-cita bersama tentang
pemerintahan) ;
b. The rule of law or the basis of government (kesepakatan tentang Negara
hukum sebagai landasan pemerintahan atau penyelenggaraan negara) ;
c. The form of institutions and procedures (kesepakatan tentang bentuk
institusi-institusi dan prosedur-prosedur ketatanegaraan)[6].
Dari pemahaman tersebut, maka
fungsi MK dalam system ketatanegaraan Indonesia dalam perspektif UUD 1945,
dapat dilakukan melalui penedekatan dimaksud. Dan hal ini dapat terwujud
manakala fungsi MK sejalan dengan tujuan Negara sebagai cita hukum yang telah
digariskan dalam Pembukaan dan diaktualisasikan ke dalam UUD 1945, sebagai
kesepakatan bersama sebagaimana yang telah disebutkan diatas.
Dari penjelasan yang telah
dipaparkan diatas, menunjukkan bahwa fungsi MK adalah untuk menegakkan
konstitusi atau UUD 1945 sebagai supreme dalam system ketatanegaraan Indonesia.
Fungsi penegakan konstitusionalisme adalah selain pembatasan kekuasaan juga
untuk mengatur hubungan antara warga Negara dan organ Negara, agar kekuasaan
pemerintahan berjalan dengan tertib. Oleh karena itu, tujuan hukum adalah untuk
mencapai kedamaian dengan mewujudkan kepastian dan keadilan di dalam
masyarakat, salah satunya melalui pengujian konstitusionalitas undang-undang terhadap
UUD guna untuk menegakkan konstitusi (sebagaimana diamanahkan kepada lembaga
MK).
Disamping fungsi-fungsi
sebagaimana tersebut diatas, dalam konteks fungsi MK untuk mewujudkan Negara
hukum demokratis, maka terdapat beberapa fungsi lain sebagai berikut : Fungsi
sebagai penafsir konstitusi, Fungsi sebagai penjaga hak asasi manusia, Fungsi sebagai pengawal
konstitusi, Fungsi sebagai penegak demokrasi.
4. Model Pengujian Konstitusional Negara Amerika
Serikat
Tradisi
Amerika Serikta sebagai Negara yang mewarisi tradisi hukum common law, Amerika Serikta tidak memerlukan lembaga tersendiri
seperti halnya yang berlaku dalam Eropa Kontinental, misalnya Indonesia. Di
America Serikat fungsi lembaga MK langsung melekat dan menjadi kewenangan
Mahkamah Agung (supreme court) yang
disebut dengan “The Guardian of American
Constitution”. Hal ini didasarkan pada beberapa alasan : (a). bahwa
kekuasaan untuk melakukan pengujian konstitusional itu langsung berada dan
melekat pada Mahkamah Agung itu sendiri, oleh karenanya di Amerika Serikat,
kewenagan yang demikian disebut dengan “The
Guardian of American Constitution”. (b). bahwa doktrin atau ajaran dalam
pengujian konstitusional yang dikembangkan adalah dilakukan oleh semua
pengadilan biasa melalui prosedur yang dinamakan dengan “Pengujian Terdesentralisasi” atau pengujian yang tersebar dan
diperiksa di pengadilan biasa (Pengadilan yang ada di Negara bagian/Mahkamah
Agung Federal). Dengan kata lain, bahwa pengujian konstitusional itu tidak
bersifat institusional sebagai perkara khusus yang berdiri sendiri, melainkan
termasuk di dalam perakara umum yang diperiksa oleh hakim dalam semua lapisan
pengadilan yang ada.
Disisi
lain, bahwa Negara Amerika Serikat sebagai Negara yang menganut tradisai Common Law dalam sistem peradilannya tidak
membedakan anatara perkara atau sengketa hukum public dengan perkara atau
sengketa hukum privat, sehingga tidak memerlukan pengadilan khusus untuk
menangani perkarara-perkara hukum ketatanegaraan. Sistem ini dapat dikatakan
konsisten dalam menerapkan salah satu prinsip unsure Negara hukum (Rule of Law), yaitu prinsip persamaan di
depan hukum.
5.
Kewenangan Mahkamah Agung
Amerika Serikat
Kewenangan Mahkamah
Agung termuat dalam Konstitusi Amerika Serikat yang termuat dalam Pasal III,
terdiri dari 3 (tiga) hal, sebagai berikut :
a. Memuat ketentuan dasar bahwa
kekuasaan kehakiman berada dalam sebuah Mahkamah Agung dan badan-badan
peradilan lain dibawah kekuasaan Mahkamah Agung, dimana peradilan-peradilannya
yang lebih rendah tersebut dapat dibentuk dan dibubarkan oleh Kongres sesuai
dengan kebutuhan dari waktu ke waktu.
b. Memuat
ketentuan mengenai jurisdiksi kekuasaan kehakiman dalam sistem ketatanegaraan
Amerika. Pasal III bagian 2, bahwa ketentuan pokok dari kekuasaan kehakiman
adalah bahwa kekuasaan kehakiman memiliki jurisdiksi yang meliputi semua
perkara, (yang menyangkut pelaksanaan) dalam hukum dan perangkat hukum lainnya,
perkara yang timbul dari Konstitusi ini, perakara yang menyangkut
perundang-undangan Amerika Serikat, serta traktat yang telah atau akan dibuat
pihak yang diberi kewenanagan berdasarkan konstitusi ini. Adapun perkara dimaksud adalah
sebagai berikut :
1) semua perkara yang melibatkan
duta besar, pejabat setingkat menteri, dan pejabat konsuler (negara lain) ;
2) semua perkara yang menyangkut
jurisdiksi di wilayah pantai, laut, dan perkapalan ;
3)
semua perselisihan dimana Amerika Serikat
menjadi salah satu pihaknya ;
4) semua perselisihan anatara dua
atau lebih Negara bagian dengan warga Negara bagian lain ;
5) perselisihan antara penduduk di
Negara bagian yang berbeda, natara penduduk di Negara bagian yang sama yang
menyangkut sengketa tanah di Negara bagian lain, serta antara Negara bagian
dengan Negara asing, penduduk atau subyek hukum di Negara asing.
c. Memuat tentang pasal-pasal yang
dapat dikategorikan sebagai tindak pidana pengkhianatan terhadap Negara, yang
terdiri dari tindakan berperang terhadap Amerika Serikat termasuk Negara-negara
bagiannya, tindakan tunduk terhadap musuh Amerika serikat, memberikan bantuan
dan kenyamanan bagi musuh. Dimana tidak ada seorang pun yang dapat dikenakan
tuduhan tindak pidana pengkhianatan terhadap Negara ini tanpa adanya kesaksian
dua saksi dalam perkara yang sama, atau pengakuan di pengadilan terbuka.
Sementara dalam kewenangan menyatakan hukuman atas tindak pidana dimaksud ini
diberikan kepada Kongres, yang hukumannya hanya bisa dikenakan selama orang
yang bersangkutan masih hidup.
Berdasarkan pada penjelasan
sebagaimana tersebut diatas, berkaitan dengan perbandingan model-model
pengujian konstitusional dalam sistem ketatanegaraan antara Indonesia dengan Negara
Amerika Serikat, berikut ini penulis akan menjelaskan hal-hal yang berhubungan
dengan persamaan maupun perbedaan diantara keduanya, sebagai berikut :
NO
|
PERBEDAAN
|
PERSAMAAN
|
1
|
Secara hirarki atau struktur kelembagaan kekuasaan kehakiman
berkaitan dengan pengujian konstitusionaldalam sistem ketatanegaraan antara
Indonesia dengan Amerika Serikat adalah berbeda. Di Indonesia, lembaga
pengujian konstitusional adalah lembaga yang mandiri, terpisah dari lembaga
Mahkamah Agung tetapi tetap berada dalam lingkungan kekuasaan kehakiman.
Lembaga ini kemudian dikenal dengan lembaga MK. Sedangkan di Amerika Serikat,
lembaga pengujian konstitusional tidak terpisah dari Mahkamah Agung dan
kewenangannya melekat di dalamnya (tidak mengenal istilah Mahkamah
Konstitusi), hal ini dikarenakan bahwa Amerika Serikat dipengaruhi oleh
tradisi hukum Common Law, yang
tidak memerlukan lembaga tersendiri tau berdiri sendiri diluar Mahkamah
Agung.
|
Bahwa kedua lembaga tersebut MK dan Mahkamah Agung adalah
mempunyai fungsi yang sama yaitu, fungsi pengujian konstitusional dalam sistem
ketatanegaraannya masing-masing.
|
2
|
Bahwa fungsi pengujian konstitusional bagai Negara Amerika Serikat
yang diberikan kepada Mahkamah Agung pada dasarnya tidak tercantum dalam
Konstitusi dan amandemen-amandemenya Amerika Serikat. Sedangkan bagi
Indonesia adanya lembaga pengujian konstitusional yang diberikan kepada
lembaga MK diatur dalam UUD 1945 dan undang-undang khusus yaitu Undang-undang
Nomor 24 Tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi.
|
Bahwa keberadaan fungsi pengujian konstitusional ini dimaksudkan
sebagai lembaga control terhadap penyelenggaraan Negara atau pemerintahan
agar tidak terjadi kesewenang-wenangan dalam menjalankan kekuasaan Negara.
Dan hal ini juga merupakan bagian dari prinsip Negara hukum demokratis yang
menjunjung tinggi hukum dan kedaulatan rakyat, serta hak asasi manusia.
|
C.
PENUTUP
Bahwa
berdasarkan ketentuan Pasal 24C ayat (1) dan (2) UUD 1945, maka ada beberapa
hal terkait dengan kewenangan MK sebagai lembaga pengujian konstitusional,
yaitu: menguji undang-undang terhadap UUD; memutus sengketa kewenangan lembaga Negara
yang kewenangannya diberikan undang-undang ; memutus pembubaran partai politik;
memutus perselisihan tentang hasil pemilihan umum; memberi putusan atas
pendapat DPR mengenai dugaan bahwa Presiden dan/atau Wakil Presiden telah
melakukan pelanggaran hukum. Sedangkan yang menjadi fungsi dari lembaga MK
dalam sistem ketatanegaraan Indonesia berdasarkan UUU 1945 adalah sebagai
berikut: Bahwa lembaga MK berfungsi membangun dan mewujudkan Negara hukum
Indonesia yang demokratis melalui pelaksanaan fungsinya untuk menegakkan konstitusi
dan konstitusionalisme; Fungsi sebagai penafsir konstitusi; Fungsi sebagai
penjaga hak asasi manusia; Fungsi sebagai pengawal konstitusi; Fungsi sebagai penegak
demokrasi.
Sedangkan
kewenangan konstitusional Mahkamah Agung dalam sistem ketatanegaraan Amerika
Serikat berdasarkan “The Guardian of
American Constitution”, adalah: Memuat ketentuan dasar bahwa kekuasaan
kehakiman berada dalam sebuah Mahkamah Agung dan badan-badan peradilan lain
dibawah kekuasaan Mahkamah Agung, dimana peradilan-peradilannya yang lebih
rendah tersebut dapat dibentuk dan dibubarkan oleh Kongres sesuai dengan
kebutuhan dari waktu ke waktu; Memuat ketentuan mengenai jurisdiksi kekuasaan
kehakiman dalam sistem ketatanegaraan Amerika. Pasal III bagian 2, bahwa
ketentuan pokok dari kekuasaan kehakiman adalah bahwa kekuasaan kehakiman
memiliki jurisdiksi yang meliputi semua perkara, (yang menyangkut pelaksanaan)
dalam hukum dan perangkat hukum lainnya, perkara yang timbul dari Konstitusi
ini, perakara yang menyangkut perundang-undangan Amerika Serikat, serta traktat
yang telah atau akan dibuat pihak yang diberi kewenanagan berdasarkan
konstitusi ini; Memuat tentang pasal-pasal yang dapat dikategorikan sebagai
tindak pidana pengkhianatan terhadap Negara, yang terdiri dari tindakan
berperang terhadap Amerika Serikat termasuk Negara-negara bagiannya, tindakan
tunduk terhadap musuh Amerika serikat, memberikan bantuan dan kenyamanan bagi
musuh. Dimana tidak ada seorang pun yang dapat dikenakan tuduhan tindak pidana
pengkhianatan terhadap Negara ini tanpa adanya kesaksian dua saksi dalam
perkara yang sama, atau pengakuan di pengadilan terbuka. Sementara dalam
kewenangan menyatakan hukuman atas tindak pidana dimaksud ini diberikan kepada
Kongres, yang hukumannya hanya bisa dikenakan selama orang yang bersangkutan
masih hidup. Adapun Mahkamah Agung dalam sistem ketatanegaraan Amerika Serikat
berfungsi sebagai pengujian materiil terhadap peraturan
perundang-undanga; Fungsi menginterpretasikan konstitusi ini kemudian
berkembang menjadi kewenangan untuk menyelesaikan sengketa kewenangan antar
lembaga Negara yang kewenangannya diberikan berdasarkan konstitusi Amerika
Serikat.
DAFTAR PUSTAKA
Abdul Latief, Mahkamah Konstitusi dalam Upaya Mewujudkan Negara
Hukum Demokratis, Kreasi Total Media Yogyakarta, 2007
Ralph C.Chandler, Richard A.
Enslen, and Peter G. Renstrom, The
Constitutional Law Dictionary, volume 2, dalam Jimly Asshiddiqie,
Model-model Pengujian Konstitusional di Bergai Negara, Konstitusi Press,
Jakarta, 2005
Fatkfurohman, et.al. Memahami Keberadaan Mahkamah
Konstitusi di Indonesia, Penerbit PT. Citra Aditia Bhakti, Bandung, 2004
Abdul Hakim G.M. “Mahkamah Konstitusi : Perspektif Politik dan
Hukum”, Kompas, 24 September 2002.
Abdul
Mukti Fadjar, Hukum Konstitusi dan
Mahkamah Konstitusi, Penerbit Konstitusi Press, Jakarta, 2006
Hans Kelsen, General Theory of Law and State, Russel
& Russel, New York, 1973.
Dahlan Thaib, Implementasi Sistem Ketatanegaraan menurut
UUD 1945, Penerbit Liberty, Yogyakarta, 1993.
Jimly Asshiddiqie, Model – Model Pengujian Konstitusional di
berbagai Negara, Penerbit Konstitusi Press, Jakarta, 2005
Zakaria Bangun, Sistem Ketatanegaraan Indonesia Pasca Amandemen UUD 1945, Konstitusi
dan Babakan Konstitusi Indonesia, Penerbit Bina Media Perintis, Medan, 2007
Kusnardi et al, Susunan Pembagian Kekuasaan Menurut Sistem Undang-undang Dasar
Jimly Asshiddiqie dan Mustafa
Fakhry, Mahkamah Konstitusi: Kompilasi
Ketentuan UUD, UU dan Peraturan di 78 Negara, (Jakarta: Pusat Studi Hukum
Tata Negara FH UI dan Asosiasi Pengajar HTN dan HAN Indonesia, 2002
[1] Hans Kelsen, General Theory of Law and State, (New
York: Russell & Russell, 1961), hal 157.
[2] Disebut juga
dengan “the centralized sistem of
judicial review”. Lihat Arend Lijphart, Patterns
of Democracy: Government Forms and Performance in Thirty-Six Countries,
(New Heaven and London: Yale University Press, 1999), hal. 225.
[3] Jimly Asshiddiqie, Model-Model
Pengujian Konstitusional di Berbagai Negara, (Jakarta: Konstitusi Press,
2005), hal. 28, 29, 64 – 66, 108 dan 109.
[4] Pasal 7 A berbunyi :
“Presiden dan/atau Wakil Presiden dapat diberhentikan dalam masa jabatannya oleh
Majelis Permusyawaratan Rakyat atas usul Dewan Perwakilan Rakyat, baik apabila
terbukti telah melakukan pelanggaran hukum…………..”. dan Pasal 7 B berbunyi : “
bahwa usul pemberhentian Presiden dan/atau Wakil Presiden dapat diajukan oleh
DPR kepada MPR dengan terlebih dahulu mengajukan permintaan kepada MK untuk
memeriksa, mengadili dan meutus pendapat DPR………………..”
[5]
Fatkfurohman, et.al. Memahami Keberadaan
Mahkamah Konstitusi di Indonesia, Penerbit PT. Citra Aditia Bhakti,
Bandung, 2004, hal, 77.
[6] Abdul Latief, Mahkamah
Konstitusi dalam Upaya Mewujudkan Negara Hukum Demokratis, Kreasi Total
Media Yogyakarta, 2007, hal, 128.
Komentar
Posting Komentar